Jumat, 31 Agustus 2012

Berburu Laba dari Sampah

Berburu Kertas dan Botol Bekas

Tak pernah terpikir oleh Irene akan menjadi pemilik dan pendiri PT. Recycle Indonesia Utama Mandiri (Recyclindo), perusahaan yang menyediakan solusi menciptakan lingkungan hidup yang bersih. Recyclindo menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis zero waste management. “Kalaupun mimpi punya bisnis, saya ingin berbisnis kuliner atau restoran, karena bidang saya F&B,” ujar wanita kelahiran 29 April 1974 ini.

Lantas, apa yang membuatnya tertarik pada masalah sampah hingga mau nyemplung dan menjadikannya sebagai ladang bisnis? Sejak lama ia prihatin melihat perilaku masyarakat yang cenderung cuek pada sampah. Kepeduliannya ini kemudian diwujudkan dengan membeli sampah dari staf housekeeping hotel, berupa kertas, botol, dan kaleng aluminium, untuk kemudian dijual lagi.

Irene lalu mulai belajar cara mengolah sampah dengan mengambil kursus 3 hari intensif mengenai zero waste management di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). “Dari kursus itu, wawasan saya makin terbuka tentang apa yang bisa saya lakukan pada sampah.”

Saat mengambil kursus itu, ada pengalaman yang membekas, antara lain kunjungan ke tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Bekasi, dan rumah jagal DKI di Cakung. Di Bantar Gebang, Irene tertegun melihat berbukit-bukit sampah. “Saya sempat ‘mabuk’, mungkin karena tidak terbiasa mencium bau sampah. Apalagi, saya alergi terhadap debu,” kenangnya.

Lain lagi pengalaman yang ia peroleh saat mendatangi rumah jagal DKI, tempat pemotongan hewan. Di dekat situ ada tempat pengomposan dari bahan sisa daging. “Ya, ampun, baunya tajam dan menyengat! Setelah kunjungan itu, saya langsung jatuh sakit. Tapi, dalam 3 hari itu banyak sekali pelajaran berharga yang saya peroleh,” tutur Irene.
Usahanya berjalan setahap demi setahap. Dari awalnya berburu sampah kering, naik truk dengan membawa tas kresek ke mana-mana, sampai akhirnya ia punya langganan pemasok. Ia mendapat kontrak untuk mengangkut sampah non-organik. Sisanya masih
dibuang ke tempat pembuangan milik Pemda.

Ia tak segan merogoh kocek Rp100 jutaan sebagai modal awal, antara lain untuk membeli truk second-hand dan menyewa lahan sebagai gudang. “Mengolah sampah organik itu tidak mudah. Untuk itu, kami perlu lahan lebih luas. Kalau salah, nanti bisa-bisa dikomplain tetangga,” ujar Irene, yang mengambil lokasi di kawasan Cinangka, Sawangan, Depok.

Irene mulai mencari lahan baru di daerah Parung, Bogor. Ia ingin lebih memaksimalkan pengolahan sampah. Sejak akhir 2009, di tempat barunya itu ia mulai mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. “Learning by doing. Kami hire konsultan untuk memastikan proses yang kami lakukan ini sudah benar. Misalnya, kompoisi dan kelelembapannya. Kompos harus selalu basah, supaya cepat busuk.”

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Harumkan Indonesia Dengan Kopi

Kebalikan dari berbagai kedai kopi ala luar negeri, ia justru ingin mengangkat kelezatan kopi dari penjuru negeri.
Mimpi dan cinta ternyata mampu mendatangkan kesuksesan ke atas pangkuan. Namun, dua ‘modal’ itu saja tak pernah cukup. Perlu bekal yang jauh lebih besar daripada itu. Begitulah yang dialami Rakhma Sinseria (32), pemilik Coffee Toffee. Cintanya pada kopi Indonesia dan mimpinya menyuguhkan kopi terbaik dari negeri sendiri, mengalahkan sakit luar biasa yang ia rasakan ketika bisnisnya jatuh.

Jatuh Sebelum Berdiri

Adagium bahwa di dunia bisnis tak ada yang pasti, sudah dibuktikan sendiri oleh Pemenang I Lomba Wanita Wirausaha Femina 2010 ini. Hanya dalam waktu satu tahun setelah pertama membuka Coffee Toffee, 10 gerai cabang pun berdiri tegak. Tak mengherankan,  rasa percaya diri Ria, demikian panggilannya, pun makin kuat. Namun, rasa itu tak bertahan lama. Karena, kurang dari setahun kemudian, semua gerai itu terpaksa ditutup. “Bisa dibilang, saya hampir bangkrut  karena salah perhitungan dan terlalu percaya diri. Saya sampai tidak bisa membayar karyawan selama 3 bulan,” tutur Ria, yang sempat berpikir untuk menutup bisnisnya.

Kesalahan pertama, diakuinya, terletak pada konsep yang kurang matang. Padahal, ia sangat percaya bisnis ini pasti berhasil. Belakangan, disadarinya bahwa ia kurang tajam membidik calon konsumen yang mana. Apalagi, karakter gerainya sendiri juga belum jelas, apakah  gerai take away, atau gerai yang dilengkapi tempat duduk. “Ibarat ABG, waktu itu kami seperti sedang mencari jati diri,” ungkap Ria, yang gerainya kini diramaikan oleh pelajar dan mahasiswa.

Pengetahuannya tentang akuntansi juga belum mencukupi, sehingga ia tak bisa meneliti dengan benar, apakah bisnisnya sehat atau tidak. “Ini saat-saat yang cukup menguras energi dan emosi. Tapi, saya berusaha tetap tenang dan berpikir positif, karena yakin bahwa kejatuhan ini adalah proses menuju kesuksesan. Saya menikmati setiap prosesnya,” kata Ria, yang kemudian melengkapi usahanya dengan orang yang ahli di bidangnya, misalnya di divisi marketing communications dan keuangan.

Ria meyakini, tak ada yang salah dengan kopi Indonesia. Itulah yang membuatnya bertahan. Karena tak punya rencana cadangan, perlu waktu cukup lama bagi Ria untuk bisa merangkak lagi. Ia mengevaluasi segala kesalahan dan segera memperbaikinya. Konsep, menu, harga, dan warna diubahnya. Semua masukan ia terima. Misalnya, tentang desain logo pada gelas yang awalnya kurang bagus, kemudian ia percantik. Ria juga menambahkan makanan pada menu.

Bagi Ria, ilmu matematika yang menyatakan bahwa setengah ditambah setengah sama dengan satu, tidak berlaku dalam kehidupan  berwirausaha. Setengah waktu yang ia habiskan untuk mengurus bisnis, ditambah setengah waktu untuk bekerja di perusahaan orang, tidak sama dengan target yang ingin ia capai. “Yang terjadi saat itu: keduanya tidak memenuhi target, sehingga saya harus segera memutuskan untuk menjalani yang mana,” kata Ria, yang akhirnya memilih keluar dari perusahaan dan mencurahkan seluruh waktunya untuk Coffee Toffee.

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Sukses Dengan Menganyam

Tak Cari Keuntungan Sendiri

Tas Gendhis yang dianyam dari berbagai tanaman yang tumbuh di Indonesia, tak hanya mengalirkan profit untuk Ferry, melainkan juga memberi keuntungan bagi para petani. Ketika model tas dengan bahan dasar tanaman mendong makin digemari, secara otomatis permintaan akan mendong juga meningkat. Begitu juga dengan tanaman rotan dan purun. “Dengan sentuhan kreativitas tinggi, kami menyulap tanaman tersebut menjadi tas-tas bernilai jual tinggi. Dampaknya, penghasilan petani pun bertambah,” kata Ferry, sambil menambahkan bahwa 70% bahan dasar tas Gendhis adalah bahan natural.

Ferry meyakini, kepandaiannya berkreasi adalah berkah. Karena itu, ia tidak mau pelit berbagi ilmu. Tak segan-segan ia menebarkan ilmunya kepada para supplier, agar mereka juga dapat lebih kreatif dan peka terhadap kemajuan zaman, bahkan dunia fashion. Meski tetap sibuk memenuhi berbagai pesanan, Ferry konsisten dengan misi sosialnya, yaitu mengadakan pelatihan di daerah. “Tujuan pertama kami adalah Kalimantan, karena bahan rotan berasal dari sana. Kami mengajarkan tentang pola anyam, cara mewarnai dengan bahan alami, cara mendesain dan mengemas, sampai cara membuat display produk,” kata Ferry, yang bercita-cita menggunakan bahan natural dari seluruh Indonesia. 

Seru, sekaligus mengharukan. Begitulah kesan Ferry tentang pelatihan itu. Mengharukan, karena saat ini jumlah petani rotan mulai menyusut, kalah dari upah mencari karet dan emas. Namun, Ferry tak henti-hentinya membakar semangat mereka, agar tetap mau menjadi petani rotan. “Saya membeli bahan baku langsung dari mereka. Selain itu, saya juga berusaha rutin mengambil barang setengah jadi yang sudah mereka anyam. Dengan demikian, mereka tetap semangat menanam rotan,” kata Ferry, sembari menegaskan, tanaman yang ia gunakan mudah dibudidayakan, sehingga tidak menyalahi aturan negara.
PR Ferry selanjutnya adalah menciptakan produk cantik dari bahan-bahan baku tersebut.

Tampaknya, itu bukan PR yang sulit. Buktinya, selama 3 tahun kerja sama itu telah terjalin dengan manis. “Kami sudah memasarkan produk rotan sampai ke mancanegara. Bahkan, hampir separuh produk kami didominasi oleh rotan,” tutur Ferry. Tak berhenti sampai di situ, Ferry juga mulai memikirkan branding untuk produk-produk mereka. “Ada satu kabupaten yang maju dengan pesat, karena bupatinya menyukai tas natural. Kami sedang mencari logo yang tepat, sekaligus menyiapkan strategi pemasarannya,” lanjut Ferry, yang juga berencana memberi pelatihan di daerah lain.

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Sukses Dengan Bisnis Batik

Berbekal juara runner up kontes Rencana Bisnis Kreatif yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan pada tahun 2010, Maretta Astri Nirmanda (26) bersama dua sahabatnya percaya diri mengembangkan bisnis mereka. Tak sampai 2 tahun, ia membuktikan bisnisnya mampu berkembang pesat dengan masa depan menjanjikan.

Segmen Anak Muda

Meski orang tuanya bekerja kantoran, darah bisnis ternyata mengalir deras dalam diri Retta, panggilan akrabnya. Di usia yang relatif muda, ia mantap memilih wirausaha sebagai jalur hidupnya.
Sejak kuliah di Jurusan Kriya Tekstil Institut Teknologi Bandung (ITB), Retta mengaku berkeinginan besar menjalankan bisnis bersama sahabatnya, Ivan Kurniawan (26). “Namun, saat itu, hanya sebatas ide tanpa ada tindak lanjut. Selepas kuliah pun kami langsung kerja kantoran di Jakarta,” ujar wanita kelahiran 22 Maret 1986 ini.

Ide bisnis kembali muncul saat Ivan mengontaknya pada Juli 2010, untuk ikut lomba Kontes Rencana Bisnis Kreatif 2010 yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan. Waktu itu, Retta langsung mengiyakan, dengan ide bisnis di bidang kuliner. Namun, karena kuliner belum masuk subsektor industri kreatif, ia pun harus mengganti idenya.
Retta teringat pada ide Gilang M. Iqbal (27), teman kuliahnya, yang membuat tugas akhir tentang batik on denim. “Ide ini menarik. Saat itu batik lagi booming dan batik di atas denim yang sifatnya komersial belum ada,” ujarnya. Bertiga, mereka maju  mempresentasikan business plan tentang ‘batik on denim’ tersebut.

“Segmen kami, mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Kami pilih denim karena bahan itu sangat identik dengan anak muda. Bisa dipakai setiap hari,” jelas Retta.
Tak disangka, business plan mereka keluar sebagai juara runner up. Atas kemenangan tersebut, mereka berhak memperoleh hadiah sebesar Rp10 juta. “Lalu, kami putuskan hadiah ini menjadi modal usaha,” ujar Retta.

Sebagai langkah awal memulai bisnis, mereka melakukan riset ulang, menghitung kembali biaya produksi sekaligus mempelajari teknik membuat batik di atas denim. “Butuh waktu 3 bulan untuk persiapan. Ternyata membatik di atas denim lebih sulit daripada di atas katun,” ungkap wanita yang pernah bekerja sebagai desainer grafis ini. Tak patah semangat, Retta akhirnya berhasil memproduksi beberapa pakaian. 

Memilih Resign untuk Bisnis

Saat barang sudah siap produksi, Retta mulai memikirkan rencana pemasaran. Karena targetnya anak muda, Retta memilih bazar di kampus sebagai langkah awal memperkenalkan produknya. “Tapi sayang, hanya terjual dua potong,” ujar Retta, yang mengaku sempat down

Semangatnya untuk berbisnis kembali muncul, ketika bulan November 2010 Retta dan timnya mendapat mentoring bisnis dari Kementerian Perdagangan. “Kami mendapat  arahan dari orang-orang yang sudah sukses di berbagai bidang, seperti Betty Alisjahbana, Rene Suhardono, dan Iim Fahima,” jelasnya.

Berbekal pengalaman tersebut, Retta dan timnya segera berbenah. Mereka serius membuat katalog produk dengan clothing line bernama Lazuli Sarae. “Lazuli diambil dari kata lazhward, bahasa Persia, yang artinya biru. Sementara sarae dalam bahasa Sunda yang berarti bagus. Jika digabungkan, nama ini terdengar seperti brand luar negeri, dengan tujuan produk kami goes global,” jelas Retta.

Tak hanya itu, Retta memutuskan untuk mendaftarkan bisnisnya sebagai badan usaha. “Meski menelan biaya belasan juta dari modal kami, dengan dikukuhkan sebagai badan usaha, akan mempermudah transaksi dan memperluas kesempatan bisnis,” ungkap Retta. Bulan Maret 2011, lahirlah CV Sarae.

Berangkat dari sini, Retta mulai fokus. Ia tidak mau setengah-setengah membesarkan bisnisnya. Ia dan Ivan pun sepakat berhenti dari pekerjaan masing-masing. Sayangnya, semangat Retta harus tertahan sementara karena ia terikat proyek dengan kantor lamanya. “Masa-masa itu, pikiran, waktu, dan tenaga saya benar-benar habis terkuras. Saya bekerja dan menjalankan bisnis bersamaan. Bolak-balik Jakarta-Bandung tiap minggu,” ujarnya.

Keputusan resign ini berat bagi Retta karena ia harus meyakinkan kedua orang tuanya dan menepis hal negatif yang dilontarkan teman-temannya. “Banyak yang bilang, membangun usaha tidak gampang. Namun, tekad saya sudah bulat untuk serius membesarkan usaha sendiri,” ungkapnya.

Setelah benar-benar total menjalankan bisnisnya, April 2011, Lazuli Sarae mendapat undangan dari Departemen Perdagangan untuk menjadi peserta di pameran Inacraft 2011. “Pameran ini memberi dampak sangat besar. Saya belajar banyak, terutama membaca keinginan pasar,” ujarnya.
Menurutnya, Inacraft membuka gerbang bisnisnya. “Produk kami  makin dikenal banyak orang. Dalam lima hari, omzet kami lebih dari 20 juta! Ini fantastis,” ungkap Retta.

Targetkan Ekspor ke Eropa

Perlahan namun pasti, brand Lazuli Sarae mulai dikenal banyak orang. Gencarnya promosi melalui website toko online (Multiply, Rakuten) dan media sosial (Facebook, Twitter, Yahoo Messenger), membuat nama brand ini populer di internet. “Internet sangat efektif karena sasaran kami anak muda yang setiap hari menggunakan internet,” ungkap wanita peraih Shell Start-up Award 2011 ini.

Melejitnya nama Lazuli Sarae tidak hanya mendatangkan keuntungan. Tak jarang kritik pedas menghadang, saat beberapa orang menilai produk batiknya akan merusak budaya. Tapi, Retta tidak gentar. “Saya percaya pelestarian batik motif asli akan selalu ada. Apa yang saya kerjakan adalah pengejawantahan dari sudut pandang anak muda saat ini tentang batik. Desain batik saya buat sendiri, tidak mengambil dari motif yang sudah ada,” jelasnya. 

Buktinya, konsumen muda tetap melirik model batik Lazuli Sarae yang dipasang  dengan harga mulai Rp300.000 hingga Rp800.000. Dalam kondisi normal tanpa pameran atau pesanan khusus saja, omzet bisnisnya mencapai Rp15 juta per bulan.

Di usia yang relatif muda, memiliki ide unik kreasi batik yang dilukis khusus di atas bahan jeans serta kejeliannya memanfaatkan semua material yang ada sebagai sarana promosi yang tepat, telah membuat kagum juri Lomba Wanita Wirausaha Femina 2012. Pantaslah, jika kemudian ia dinobatkan sebagai The Most Potential Entrepreneur. “Desainnya sangat bagus dan sesuai dengan anak muda,” ungkap Anne Avantie, salah satu juri lomba.
“Ini semua di luar ekspektasi saya. Masuk ke dalam 25 finalis saja, saya sudah sangat bersyukur. Saya tak menyangka meraih juara kategori khusus,” ujar wanita berkacamata minus ini.

Kepak sayap Lazuli Sarae terus melebar. Produk fashion-nya mulai diterima di berbagai department store, seperti Alun  Alun, Pendopo, dan Sarinah. Retta juga sangat berharap ada tambahan modal investasi untuk menggerakkan perputaran roda bisnisnya. Apalagi kini  ia tengah mengincar pasar Eropa untuk mengekspor produknya. “Sedang dalam proses survei pasar, kebetulan kami ada teman yang akan memasarkan produk kami di sana,”  ujar penggemar desainer Musa ini.
Dalam waktu dekat, Retta berencana juga membawa produknya ke regional Asia. “Saya akan membawa Lazuli Sarae ke Hong Kong Fashion Week 2013. Doakan kami bisa menembus pasar Asia,” ujarnya, optimistis.

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Bius Ratu Nefertiti

Suatu siang di bulan Mei, femina mengundang 25 finalis lomba Wanita Wirausaha Mandiri & Femina untuk melakukan presentasi business plan di hadapan dewan juri. Mengenakan baju hitam lengan panjang, body pants biru, sneakers, dan topi hitam bling-bling, Prita Widyaputri (29) tampak percaya diri memaparkan bisnis saat ini dan rencananya untuk mengembangkan usahanya. Padahal, ia sedang sakit. “Nak, saya bangga, kamu masih muda dan sangat berbakat,” puji Anne Avantie, desainer sekaligus salah satu juri lomba. Lewat clothing line dan aksesori berlabel Nefertiti, Prita merebut gelar Pemenang III Lomba Wanita Wirausaha Mandiri & Femina 2012.

Kalahkan Rasa Takut


Mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Kita sudah sering mendengar kalimat dari Andrea Hirata ini, baik dalam novel Laskar Pelangi maupun soundtrack filmnya. Nyatanya, kalimat sakti inilah yang dipercaya Prita untuk memulai bisnisnya. Ia tak berhenti bermimpi, hingga berhasil menaklukan ‘dunia’ yang diimpikannya sejak kecil: bisnis fashion.

Prita kecil jatuh cinta pada segala hal yang berbau seni. Pada masa sekolah, ia tak pernah absen mengikuti ekstrakurikuler yang berhubungan dengan desain. “Saya tidak pernah kepikiran ikut Paskibra atau kelompok pecinta alam. Tapi kalau soal desain, jangan ditanya! Saat lulus SMA, saya diterima di Universitas Indonesia untuk jurusan, psikologi dan seni rupa di Institut Teknologi Bandung(ITB).
Uniknya, meski passion-nya di bidang seni begitu meluap, Prita justru memilih jurusan psikologi. Alasannya? “Karena psikologi itu seperti seni mempelajari kebiasaan manusia. Menguasai ilmu ini saya pikir akan membawa banyak manfaat nantinya,” jelasnya.

Intuisi Prita tak salah. Walau mengaku melalui proses kuliah dengan susah payah, Prita mendapat banyak teori psikologi yang bisa diaplikasikan di bidang fashion. Bagaimana memahami consumer behaviour, cara menetapkan branding, menentukan harga, dan lain sebagainya.

Bergelut dengan diktat kuliah tiap hari, ternyata tak membuat Prita melupakan minatnya di dunia fashion. Prita mengajak sahabatnya untuk mengerjakan proyek kampus yang berhubungan dengan fashion, seperti membuat jaket angkatan, jaket organisasi, dan lainnya. Dari situ ia bertekad akan terjun ke bisnis fashion, suatu hari nanti.

Selepas kuliah ia sempat bekerja di perusahaan perbankan. Sejenak, mimpi untuk berkutat di dunia fashion itu teredam. Ia larut dalam rutinitas jam kantor yang menguras waktunya.

Suatu kali, ia bertemu dengan sahabatnya semasa kuliah yang menjadi partnernya dalam berbagai proyek fashion dulu. Seperti kata buku Celestine Prophecy bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini karena segala sesuatu hadir untuk sebuah alasan, reuni kecil itu membuat hatinya bergejolak. Sebuah mimpi lama kembali terbangun.

“Saya terus membayangkan ingin punya label sendiri, harus ini, harus itu dan akhirnya tak bisa tidur berhari-hari. Saya mulai membaca banyak buku fashion, observasi di lapangan dan belajar banyak dari melihat dan membaca, sampai akhirnya saya merasa, ya, saya siap!” jelas Prita, yang banyak mendapat pelajaran dari buku karya Toby Meadows, How to Create and Run a Fashion Label, tayangan All on The Line yang digawangi Joe Zee, fashion editor majalah Elle. serta kursus menjahit, kursus fashion figure drawing, dan kursus membuat pola di Lasalle College, Jakarta.

Meski tekadnya sudah bulat, bukan berarti ia tidak punya rasa takut. Saat mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaan, ia malah ditawari dua pilihan promosi yang menggiurkan.

"Saat itu baru timbul rasa takut. Iya juga ya, siapa yang jamin bisnis ini berhasil atau tidak. Sementara, di depan mata ada dua pilihan promosi menarik. Tapi rasa takut itu akhirnya hanya bisa dikalahkan dengan keinginan yang kuat," ujarnya.

Si Tukang Kalung

Tahun 2009, Prita meniti langkah barunya, menjadi seorang wirausaha. Meski kondisi ekonomi orang tuanya sangat baik, ia bertekad membangun sendiri bisnisnya dari pundi-pundi yang dikumpulkan selama bekerja. “Saya mulai dari hal yang kecil seperti membuat kalung. Selain biayanya tidak sebanyak membuat pakaian,   juga sam

bil memberi waktu bagi diri sendiri untuk belajar banyak mengenai bisnis fashion. Dan, saya pilih online marketing agar pembeli bisa belanja 24 jam sehari," katanya.

Namun, menjalankan bisnis tidaklah semudah yang Prita bayangkan. Ia mengalami tantangan dari berbagai pihak, baik dari rekan bisnis, karyawan, maupun keluarga besarnya. Di tengah jalan, sahabat yang juga rekan bisnisnya  juga mengundurkan diri. Prita pun berjalan sendirian.

Setumpuk ide desain di kepalanya itu, ia bawa ke beberapa vendor penjahit. Setelah 6 bulan berganti vendor, ia  menemukan vendor sesuai dengan seleranya. Kini klaung dan pakaiannya  diproduksi di Jakarta dan Bandung. Ia pun membubuhkan label Nefertiti pada produknya. Prita terinspirasi oleh kecantikan, selera busana, dan kecerdasan Ratu Nefertiti, ratu Mesir kuno.

“Ternyata, jadi wirausaha tidak kalah capek dengan bekerja di kantor. Tukang pijit yang awalnya langganan Papa, jadi langganan saya juga. Dia selalu bilang, ‘Mbak, betisnya kenceng amat kayak pemain bola,’” ujarnya, tertawa.

Saat akhirnya mampu merekrut karyawan, tantangan pun tak berhenti. Ia ditipu karyawan kepercayaannya dan merugi jutaan rupiah.  Dengan terpaksa Prita harus memecatnya.

Selain itu, salah satu hal yang menjadi permasalahannya adalah menjaga kualitas produk yang tidak dipengaruhi situasi mood tim kreatifnya. Maklum, saat mood mereka buruk, bisa-bisa kualitas barang pesanan Prita jadi tak sebagus biasanya. “Saya sudah hafal, deh. Biasanya hal itu terjadi kalau ada yang sedang putus cinta atau apalah, makanya kepada mereka, saya menempatkan diri sebagai teman curhat, bukan bos," Ungkap Prita yang memiliki 22 karyawan (2 orang karyawan tetap, 20 orang freelance).

Tantangan juga datang dari keluarga besarnya. Ada yang mengatakan, “Susah-susah kuliah, malah jadi tukang kalung.”
“Biarkan saja mereka nyinyir. Saya pikir, perusahaan sebesar Mustika Ratu awalnya juga dari berjualan jamu. Seorang pebisnis memang harus melihat hal yang tak bisa terlihat oleh orang lain. Saya pun tak keberatan lagi disebut tukang kalung. Justru bangga, saya bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain,” jelasnya, bijak.

Pada tahun 2011, bisnisnya sudah berkembang dari produksi aksesori ke produksi pakaian. Enam bulan setelahnya, ia berhasil meluncurkan webstore pribadi sesuai impiannya (www.shopnefertiti.com). Ia juga bekerja sama dengan beberapa webstore lainnya. Akun Facebook Nefertiti sudah memiliki lebih dari 10.000 penggemar dan akun Twitter @shopNEFERTITI diikuti lebih dari 2.000 orang.

Kini, dengan produk aksesori dan pakaian, Nefertiti sudah berhasil menembus jaringan department store, yaitu Debenhams Senayan City dan Debenhams Kemang. Produknya pun diminati oleh pembeli dari berbagai negara, seperti Finlandia, Norwegia, Kepulauan Solomon, Republik Malta, Israel, Italia, Australia, Amerika, dan Inggris. Ia telah meraup omzet puluhan juta rupiah per bulannya

Kerja kerasnya sudah berbuah manis. Tapi, Prita masih memiliki banyak mimpi. “Saya ingin sekali terlibat dalam komunitas fashion Indonesia, seperti Jakarta Fashion Week, Indonesia Fashion Week, dan Brightspot. Saya juga ingin mulai merambah peluang retail di luar negeri untuk membuktikan label ready to wear karya orang Indonesia bisa diterima di mancanegara,” ujarnya, bersemangat.
 
Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Bisnis Sampingan Travel yang Sukses

Anda memilik memiliki usaha jasa travel transportasi antarkota, yang ramai saat hari-hari besar dan awal tahun saja. Ketika masa sepi, Anda bingung untuk  manfaatkan angkutan transportasi ini? ini solusi untuk Anda, menurut Rhenald Kasali, risiko bisnis usaha travel adalah menghadapi sepi penumpang di saat non-peak season.

   Tapi, ketika sepi penumpang, harusnya bisnis tetap jalan. Gunanya, selain untuk kepentingan dan kelancaran bisnis Anda, juga untuk meningkatkan kredibiltas Anda di mata konsumen atau calon konsumen.  Bisnis Anda layak dijadikan pilihan karena selalu siap mengantar, meski yang diantar itu hanya sedikit orang.

Ada beberapa cara untuk menaikkan pendapatan, terutama di hari-hari non-peak season, yaitu:
  • Anda bisa menerima jasa pengiriman barang yang bisa tiba pada hari yang sama. Anda bisa bekerja sama dengan perusahaan kargo atau jasa pengiriman di daerah Anda.
  •  Anda bisa menerima pemesanan makanan, oleh-oleh, seperti camilan atau produk khas dari daerah tujuan travel Anda. Misalnya, dari wilayah Cilacap, Anda bisa bekerja sama dengan penjual kerupuk, keripik sukun atau singkong, belut goreng, dan sebagainya. Untuk daerah Purwokerto, misalnya ada getuk goreng dan keripik tempe.
  • Memberikan harga spesial untuk hari di luar musim yang ramai. Atau,  berikan jasa antar hingga ke tempat tujuan, khusus hari Senin sampai Kamis, misalnya.  
  • Memberi voucher gratis atau potongan harga ke tempat wisata atau resto/kafe di tempat tujuan travel Anda. Tentunya ini harus bekerja sama dengan operator pariwisata atau pemilik resto.

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Kamis, 30 Agustus 2012

Indonesia Raih Penghargaan Dari UNESCO Untuk Berantas Buta Huruf

Indonesia bersama dengan Bhutan, Kolombia dan Rwanda meraih penghargaan dari Badan PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) karena sukses melawan buta huruf dinegaranya masing-masing untuk tahun ini.
 
Dalam rilis resminya, penghargaan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam memberantas buta huruf melalui kewirausahaan, membaca budaya dan pelatihan
 
"Program yang bertujuan untuk 'meningkatkan kualitas pendidikan memberantas buta huruf melalui kewirausahaan, membaca kebudayaan, dan pelatihan' yang melibatkan lebih dari tiga juta orang dan mengedepankan secara khusus pada perempuan-perempuan yang buta huruf, " demikian isi pernyataan UNESCO
 
Para penerima penghargaan diumumkan langsung oleh Direktur Jendral UNESCO Irina Bokova, Rabu (22/8) waktu Paris. Para pemenang akan menerima penghargaan dalam upacara yang akan digelar di Markas UNESCO, 6 September mendatang sebagai bagian dari perayaan International Literacy day yang jatuh pada tanggal 8 September. 


 
Rwanda mendapatkan penghargaan ini melalui program yang bertajuk Program Nasional Melek Huruf Dewasa yang digagas oleh Gereja Pentakosta Rwanda. Program yang dicanangkan oleh Gereja Pentakosta Rwanda menitik beratkan kepada perempuan remaja putus sekolah serta menjamin hak setiap orang untuk melek huruf dan pendidikan dasar termasuk di dalamnya pemahaman tentang HAM, rekonsiliasi dan perdamaian.
 
Sementara Bhutan meraih penghargaan ini melalui program non formal dan pendidikan lanjutan yang dirancang oleh Departemen Pendidikan Dewasa dan Lanjutan. Negara ini dipilih UNESCO karena menyediakan kebutuhan dasar belajar dan berlatih untuk komunitas rural terutama kaum perempuan yang berjumlah sekitar 950 lembaga pendidikan.
Kolombia sendiri mendapatkan penghargaan UNESCO Confucius Prize for Literacy melalui program interaktif dari Fundacion Transformemos di Colombia yang mana diakui sebagai aktivitas perdamaian yang dikembangkan di area rawan konflik dan kekerasan dengan pendekatan antar budaya.
 
Sebagai informasi ejak dimulai tahun 2006, setidaknya 300.000 orang telah mendapatkan keuntungan dari program tersebut. UNESCO King Sejong Literacy Prize dibuat oleh Pemerintah Korea Selatan pada tahun 1989.
 
Sementara, UNESCO Confucius Prize for Literacy dibuat oleh Pemerintah Republik Rakyat China pada tahun 2005. Keempat pemenang akan mendapatkan 20,000 dolar AS, sebuah diploma dan sebuah medali. 

Sumber : pedomannews.com

E.O From Zero To Hero

Meraih kesuksesan bisnis bisa lewat banyak cara. Salah satunya aksi nekat seperti yang dilakukan Andika Lubis. Tanpa bekal, ia pergi ke Amerika Serikat. Kini perusahaan yang dia bangun sukses besar mencatat omzet hingga Rp 400 juta per bulan.

Banyak pengusaha yang sukses meski tanpa modal besar. Salah satunya adalah Andika Rama Lubis. Pria lulusan Arsitektur Institut Teknologi Nasional Bandung ini lebih banyak memulai bisnisnya dengan modal nekat. Toh, kenekatan itu menggiringnya menjadi pengusaha muda ber-omzet Rp 5 miliar per tahun.

Saat ini, lewat bendera Eprodeco, Andika berhasil menjadi dekorator tepercaya sejumlah pengelola mal besar di Jakarta. Kliennya mulai dari Plaza Indonesia, sampai perusahaan besar macam Panasonic dan XL Axiata. Satu proyek dekorasi bisa bernilai hingga Rp 300 juta.

Tak hanya dekorasi, lewat induk usaha PT Andrafa Abiatama, Andika juga menyediakan one stop shopping desain kreatif, printing, merchandise, dekorasi, dan event organizer. Sejak pertama kali didirikan pada 2008, klien Andrafa sudah mencapai ratusan perusahaan. Kebanyakan mereka memanfaatkan jasa Andrafa pada acara peluncuran produk.

Dari kecil, Andika yang lahir di Kinabalu, pada 18 September 1974, memang pekerja keras. Ayah Ibunya selalu menekankan untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. “Kalau mau mainan, saya harus beli sendiri dari hasil tabungan, ditambah uang ayah sedikit,” kenang Dika, begitu ia disapa.

Demikian pula saat kuliah. Lantaran usaha ayahnya di bidang desain interior bangkrut terimbas krisis moneter pada 1998, Dika harus pontang-panting mencari biaya tambahan kuliah dengan bekerja serabutan. Beruntung, kala itu Citibank menawarkan program kartu kredit untuk mahasiswa. Ia menjadi agen penjualnya. Keuntungannya lumayan. “Bisa buat nambah-nambah uang kuliah,” ujarnya.

Prinsip kerja keras itu menempa Dika menjadi tidak mudah menyerah dan berani mengejar mimpi. Selulus kuliah, ia sempat bekerja di satu perusahaan. Tapi, tak seberapa lama, ia memutuskan mundur lantaran ingin ingin menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman kerja di Amerika Serikat (AS).
Dengan bermodal pinjaman dari sang nenek sebesar Rp 10 juta untuk membeli tiket, Andika nekat pergi ke AS. Padahal, saat itu situasi tengah genting setelah terjadi tragedi WTC 11/9. Beruntung, ia lolos di pembuatan visa turis sampai administrasi di bandara. Karena hanya berbekal uang 100 dollar AS dari pamannya, ia terpaksa tidak makan saat pesawat transit di Singapura dan Jepang.

Sesampai di AS, Dika menyambangi tantenya untuk menumpang hidup. Lantaran hanya menumpang, ia tak berani meminta uang lebih. Ia memutuskan mencari pekerjaan. Peluang termudah adalah menjadi loper koran. Kebetulan, ada seorang loper koran dekat tempat tinggal tantenya mempercayakan pekerjaannya ke Dika.

Saban dini hari, Dika mengantarkan koran dengan meminjam mobil sang tante. Upah mengantar koran lumayan. Dalam dua minggu, ia mendapatkan bayaran 1.500 dollar AS. Tak sampai dua bulan, ia bisa bayar utang ke neneknya.

Hidup Dika juga banyak ditopang oleh belas kasih orang lain. Selama belum memiliki visa kerja, ia ditolong seorang warga China-Amerika. “Saya menggunakan ID dia selama bekerja,” ujarnya.
Singkat cerita, Dika mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa pelajar. Ia ingin kuliah di universitas swasta di bidang manajemen bisnis. Tak disangka, ia diterima.

Sembari kuliah, Dika menambah jam kerjanya dengan menjadi penjaga toko, mulai dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Ia tidur selama dua jam, lantas mulai pukukl 24.00 hingga pukul 06.00 mulai mengantar koran. Ia melanjutkan waktunya untuk kuliah mulai pukul 7.00 pagi sampai pukul 13.00 siang. “Saya melakukan rutinitas itu selama empat tahun,” ujar Dika.

Pada tahun 2003, ada kabar duka datang dari Indonesia. Ayahnya meninggal dunia karena sakit. Ibunya memanggil pulang Dika. Ia harus menggantikan sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Dengan berat hati, Dika meninggalkan bangku kuliah dan memulai usaha dari nol di Indonesia.
Usaha pertamanya adalah membangun creative design dan event organizer bersama seorang teman. Usaha itu sempat sukses dan berhasil membukukan omzet hingga Rp 2 miliar per tahun. Sayang, lantaran ada konflik internal, Dika memutuskan keluar.

Bermodal uang tabungan, bersama sang istri, Rany Fauziah Pospos, yang dinikahinya pada tahun 2005, Dika membangun usaha tandingan. Lewat bendera Andrafa Abiatama, ia mulai mendapatkan aneka proyek. “Pertama, saya dipercaya Panasonic menyediakan aneka merchandise dan produk printing,” kata Dika.

Dika juga menggarap dekorasi mal dan interior apartemen. Sejumlah apartemen di Jakarta pernah mendapat sentuhan desain Andika. Kini, ia tengah bernegosiasi membangun dekorasi panggung acara sirkus. “Nilainya mencapai Rp 700 juta karena panggungnya harus kuat dinaiki gajah,” kata Dika.

ANALISIS:

Dalam wacana di atas, dapat digambarkan secara sekilas mengenai kisah sukses seorang Andika Rama Lubis, yaitu: seorang pribadi yang sukses dengan tanpa merisaukan modal. Dengan kata lain, hanya bermodal nekat pria yang biasa dipanggil Dika ini memulai usahanya.

Dan, sebagai pribadi yang sukses, perjalanan hidupnya pun memberikan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa betapa pun kuat keinginan yang ingin kita gapai tetap harus ada usaha yang kuat pula agar dapat meraih impian itu sendiri. Hal ini tercermin dari kisahnya selama menumpang hidup ketika memutuskan untuk tinggal di AS. Pengorbanan yang ia lakukan agar dapat bertahan hidup, yaitu dengan hanya tidur 2 jam saja yang selebihnya ia menggunakan waktunya untuk bekerja dan melanjutkan kuliah.

Yah, secara garis besarnya dari kisah yang tercurah di atas bahwa pengorbanan Dika adalah cerminan kerja keras yang membuatnya berhasil. Kisah from zero to hero ini, merupakan panutan bagi setiap orang yang ingin memulai bisnis dalam bidang apapun. Untuk itu, janganlah meragukan kemampuan yang ada meskipun di dalamnya banyak kekurangan. Karena orang yang hebat adalah orang yang mampu memanfaatkan kekurangan yang kemudian mengubahnya menjadi pacuan kuat untuk meraih sukses.

KESIMPULAN FAKTOR SUKSESNYA:

Dari kisah di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

Dalam memulai usaha dalam bentuk apapun memang membutuhkan pertimbangan berupa skill (kemampuan) dan modal. Namun, selama ada kerja keras terutama dalam hal pemasaran baik itu pemasaran dalam hal produk dan jasa, maka akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari klien;
Kesuksesan berawal dari sebuah kerja keras. Berarti harus menanamkan sifat bekerja keras sedari dini.

Yang terakhir saya dapat simpulkan dari kisah sang loper koran, yaitu pentingnya membangun sebuah kepercayaan/trust dan perlunya membangun sebuah relasi.

Sumber :  ferri239.wordpress.com

Suksesnya Martha Tilaar

Untuk urusan seputar kecantikan wanita Indonesia kita semua pasti tahu Martha Tilaar adalah salah satu ahlinya. Martha Tilaar adalah seorang pengusaha sukses di bidang kosmetika dan jamu tradisional. Sebagian dari kita mungkin membayangkan sosok wanita yang selalu tampak segar walau usianya sudah tidak muda lagi ini memang dari dulu senang dengan bidang kecantikan. Ternyata justru sebaliknya, masa muda wanita kelahiran Kebumen, Jawa Tengah ini dulunya adalah seorang gadis yang tomboy dan lincah. Ia sangat jarang merawat diri jika dibandingan dengan saudara-saudaranya. Ibundanya sering menegur dirinya agar berpenampilan layaknya seorang perempuan.
Di masa remaja Martha pernah mengambil kuliah jurusan sejarah di IKIP Negeri Jakarta. Sejak lulus tahun 1962, ia kemudian mengajar sejarah. Profesinya sebagai guru membuat dirinya makin sering diperingatkan sang bunda untuk berpenampilan lebih layak di depan murid-murid. Akhirnya ia didorong untuk ikut les kecantikan. Mungkin di sinilah jiwa perempuan Martha mulai terpanggil, sejak itu Martha mulai jatuh cinta dengan dunia kecantikan.

Martha pun memperdalam belajar tentang kecantikan di Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana AS. Dari hasil pendidikannya, ia kemudian memberanikan diri melangkah untuk membuka usaha salon. Awalnya ia terjun ke lapangan sendirian untuk mempromosikan usahanya. Mulai dari masuk kampus-kampus, hingga mendatangi ibu-ibu yang ikut suami tugas di sana. Apa yang dia kerjakan telah membuat jiwa wirausahanya terus berkembang. Sehingga  saat sekembalinya ke Indonesia, ia pun memutuskan untuk membuka salon. Karena belum mempunyai rumah sendiri, maka sebuah ruangan kecil yaitu garasi rumah orangtuanya di daerah menteng Jakarta menjadi tempat usaha yang ia beri nama "Martha Salon".

Di garasi itulah ia mulai membuat produk-produk kecantikan dari bahan alam dengan nama Sari Ayu Martha Tilaar, merek yang jika diartikan "Sarinya Wong Ayu". Perjalanan bisnis Martha Tilaar pun mengalami banyak tantangan. Meski produknya mulai diterima oleh banyak orang, ia sempat ditolak saat hendak menyewa beberapa mal dan plaza terkemuka di Jakarta. Produknya dianggap tidak memiliki image berkelas.

Sekitar Mei 1995 Martha Tilaar akhirnya berhasil mendirikan Puri Ayu Martha Tilaar di bilangan daerah Kuningan Jakarta Selatan. Berkat perjuangannya, gerai jamu dan kosmetika Sari Ayu yang dirintisnya sejak awal terus berkembang dan bahkan punya cabang di kota-kota besar lain di Indonesia. Usaha yang kini dinamai Martha Tilaar Group berkembang dengan sekitar 11 anak perusahaan dan mampu mempekerjakan setidaknya 6000-an orang.

Kini ia juga mendirikan Yayasan Martha Tilaar untuk mendidik kaum  perempuan tentang kecantikan. Yayasan ini bertujuan mendidik kaum perempuan agar mempunyai keterampilan tentang kecantikan hingga bisa menjadi bekal dan persiapan saat terjadi krisis. Kisah perjuangan Martha Tilaar dari nol hingga menjadi sukses adalah contoh seorang pribadi dengan kualitas karakter yang luar biasa. Beliau adalah salah seorang wanita yang telah berhasil menginspirasi banyak wanita lainnya melalui pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya

Sumber : motivatorindonesia.com

Kesuksesan Susan Boyle

Saya yakin banyak orang di dunia ini tidak pernah mendengar nama Susan Boyle sebelumnya sampai ia tampil dalam acara Britains Got Talent 2009 di bulan april. Di acara ini dunia telah mencatat seorang perawan tua usia 47 tahun yang berwajah standar menjadi seorang penyanyi yang layak diperhitungkan. Walaupun dia tidak memiliki penampilan artis dengan postur tubuh yang cukup gemuk, kikuk, cara berdandannya pas-pasan. Bahkan para juri Britains Got Talent, termasuk Simon Cowell yang terkenal karena ketajaman lidahnya dalam American Idol meragukan Susan Boyle saat ia muncul di panggung. Sesaat sebelum tampil, Cowell sempat bertanya tentang umur dan hal-hal kecil lain. Boyle mengaku belum pernah pacaran. Ciuman juga belum pernah. Sekarang juga tinggal hanya dengan seekor kucing di rumahnya.

Susan Boyle ketika pertama kali naik panggung sepertinya diremehkan oleh 90% penonton akan tetapi ketika musik diputar dan ia mulai menyanyikan lagu opera, "I Dreamed a Dream" dari Les Miserables, semua takjub pada suaranya yang sangat indah, sangat merdu, membuat hampir seluruh para penonton berulang kali berdiri memberi tepuk tangan yang meriah. Akhirnya Cowell, Piers Morgan, dan Amanda Holden sebagai juri ikut terpesona mendengar suara menakjubkan Susan Boyle.

Susan Boyle, si perawan tua itu, dalam sekejap menjadi bintang. Video pentasnya di Britains Got Talent di Youtube diklik lebih dari 34 juta orang (Bertambah satu lagi jika Anda juga ikut mengklik) dalam waktu sepekan alias video paling banyak diklik di Youtube dalam sebulan ini. Kabarnya Demi Moore, aktris mahal Hollywood, mengatakan melihat video itu di Twitter dan menangis terharu. Tak ketinggalan Oprah Winfrey pun juga langsung mengundangnya karena ia memang memiliki cerita hidup yang cukup dramatis dan layak diceritakan di Oprah Winfrey Show.

Ternyata saat lahir, ia sempat kehabisan oksigen dan membuat perkembangan otaknya sedikit abnormal. Saat sekolah, ia sedikit terbelakang dan sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. Tapi ia rajin datang ke gedung teater untuk menonton para penyanyi profesional. Sekitar 14 tahun silam, ia pernah ikut audisi acara televisi My Kind of People. Tapi ia begitu grogi sehingga gagal. Boyle begitu serius berlatih nyanyi dan belajar dari seorang guru vokal, Fred O'Neil. Bahkan Ibunya, sebelum meninggal tiga tahun silam pada usia 91 tahun, masih terus mendorong agar anaknya itu ikut kompetisi menyanyi nasional, bukan hanya sekedar lomba menyanyi lokal yang beberapa kali ia menangkan. Tapi Boyle masih merasa tidak siap. Akhirnya pentas pertama setelah ibunya meninggal adalah di depan Simon Cowell dan ternyata itu menjadi suatu momen yang membawa dia pada ketenaran.


 Sumber : motivatorindonesia.com

Pemilik CV. Newtronic Solution: Meraup Untung, dari Mempermudah hidup Orang Lain

Manfaat utama dari sebuah teknologi adalah membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ternyata, teknologi tak hanya mempermudah hidup orang lain, tetapi juga memberi keuntungan bagi pembuatan.

TIDAK BANYAK ORANG yang tahu pasti seperti apa kemajuan teknologi secara teknis, namun manfaatnya sangat mudah dirasakan. Menyalakan TV dengan cara manual kini telah digantikan dengan memanfaatkan remote control yang dapat dilakukan setiap saat di tangan penontonnya. Atau, absen karyawan yang selama ini menggunakan kartu misalnya, sekarang bisa didata hanya dengan menempelkan jari di mesin absensi. Bahkan, dalam urusan domestik, Anda kini tinggal memasukkan pakaian dan deterjennya, lalu duduk manic hingga cucian Anda bersih dan nyaris kering dengan sendirinya.
Contoh lain terjadi ketika Anda mengantre di bank. Berapa lama kira-kira Anda harus mengantre? Siapa yang bisa memastikan antrean di sini bisa berjalan tertib tanpa menyerobot–mengingat tidak semua orang sabar mengantre? Siapa yang akan datang ke teller pertama, teller kedua, dan seterusnya? Soal ini baru terpecahkan ketika ditemukan IT embedded system (sistem teknologi informasi yang diaplikasikan untuk sebuah persoalan tertentu) antrean otomatis. Kapan saja datang ke bank, Anda tinggal menekan tombol untuk mendapatkan nomor antrean, lengkap dengan jam kedatangan, nomor antrean, dan nomor teller atau boks petugas yang akan melayani. Orang tidak bisa menyerobot, sebab petugas hanya akan melayani mereka yang membawa nomor antrean yang dimaksud.
Itulah salah satu bentuk aplikasi teknologi. Mempermudah hidup. Dan, inilah yang dijadikan bisnis oleh Surya Adhitama. Bersama mitranya, Joseph Stephanus Aditamaputra, ia mendirikan CV Newtronic Solution pada 2008 dengan modal Rp50 juta. Bisnis ini sangat menjanjikan, karena baru tiga tahun berjalan, omzetnya sudah mencapai tiga hingga lima miliar rupiah per tahun dengan keuntungan Rp700juta-1,2 miliar. Theo, nama panggilan Surya, merasa bahwa ilmu yang diperolehnya di Fakultas Teknik Elektro ITB Bandung–ia lulus pada 2006–sangat mendukung minatnya pada dunia teknologi dan keinginannya untuk mempermudah hidup.

Tantangan teroesar adalah menjawab keluhan klien yang sering terjadi karena produk yang belum sempurna dan banyak kekurangan di sana-sini.

CINTA TEKNOLOGI
Lahir di Pati, 1983, dari keluarga pedagang–orangtuanya membuka toko yang menjual kebutuhan sehari-hari–kehidupan Theo tidak jauh beda dengan anak muda iainnya. Sekolahnya terbilang mulus. Sejak kecil ia sudah memilih segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia elektronika dan teknologi informasi sebagai hobi. Semasa kuliah, misalnya, ia tergabung dalam Kelompok Pencinta Elektro (KPE) dan mulai menekuni bidang embedded system.
“Peluang usaha di bidang itu cukup menjanjikan,” katanya, “Bisnis ini membutuhkan kreativitas dalam menghasilkan berbagai macam produk yang bersifat otomasi, sehingga ini bukan bisnis yang mudah ditiru. Dan, perkembangan dunia saat ini sangat membutuhkan berbagai kemudahan elektronik yang semuanya dapat disediakan meialui embedded system,”urainya.
Namun sebelum memantapkan diri membangun bisnis yang bergerak di bidang teknologi, selagi menulis skripsi ia malah bekerja sebagai manajer promosi di sebuah ‘imperium’ factory outlet di Bandung. Walau pekerjaan itu hanya sementara baginya, namun dari sang bos, Perry Tristianto, ia belajar cukup banyak untuk membangun kerajaan bisnisnya sendiri.
Kesempatan emas itu datang ketika salah satu kantor cabang maskapai penerbangan di Bandung meminta Theo membuatkan sistem antrean otomatis untuk menertibkan dan mempermudah pekerjaan mereka. “Selama tiga bulan kami ditantang untuk mendesain sistem antrean yang sesuai dengan kebutuhan klien,” Theo berkisah. Bisa dibilang, setiap hari rasanya seperd hari Senin, karena mereka selalu lembur untuk melakukan riset, desain, dan uji cobs. “Banyak hal baru secara teknis dan nonteknis yang kami pelajari saat itu. Tantangan terbesar adalah menjawab keluhan klien yang Bering terjadi karena produk kami masih belum sempurna dan banyak kekurangan di sana-sini.”
Keuletan Theo dan Joseph terus diuji sampai dua bulan berikutnya untuk melakukan perbaikan produk sekaligus menjawab keluhan klien. Setelah produk perdana itu memuaskan klien, barulah CV Newtronic Solution berdiri pada 2008.

BIODATA
THEODOSIUS SURYA ADHITAMA
Pati, 11 April 1983
Email: teot11@yahoo.com
Pendidikan
S1 TeknikElektro, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Nama Usaha
CV Newtronic Solution
Website: www.newtronic-solution.com
Alamat: JI. Cimanuk No. 5A, Bandung
Penghargaan
2010 Pemenang II Wirausaha Muda Mandiri Kategori Mahasiswa Pacsasarjana & Alumni Usaha Kreatif

Dari hanya mempekerjakan seorang staf saja untuk membantu segala urusan, kini—ketika produk dan jasa mereka mulai dikenal—Theo dan Joseph mempekerjakan dua puluh prang karyawan tetap dan lima prang karyawan tidak tetap. Produknya pun tak hanya sistem antrean, tapi sudah berkembang menjadi exchange rate display, cctv online, alarm system, dan megatron.

TAK SEINDAH MIMPI
Pada awal berdirinya perusahaan, tentu saja sukses tak langsung diraih. Bahkan, Theo pernah gundah karena produk dan jasanya pernah tidak dibayar oleh kliennya. Juga, ia merasakan betapa proyek awal ternyata sangat berat. “Soalnya kami belum ada pengalaman nyata dalam mendesain embedded system. Bahkan sampai 3 minggu terakhir sebelum deadline, kami sempat memutuskan untuk mengoper pekerjaan sistem antrean itu kepada perusahaan lain. Untungnya, perusahaan yang kami pilih itu tidak menyanggupi mengerjakannya. Hal itu memicu kami untuk lebih series belajar lagi agar dapat menyelesaikan proyek tepat waktu,”
Kesulitan itu, demikian Theo bercerita, membuat ia dan mitranya belajar untuk tetap ulet dan tidak menyerah saat menghadapi rintangan dalam berbisnis. Pun, karena ia bertekad ingin membuat senyum klien terkembang, dalam menagih klien pun ia selalu menggunakan cara-cara baik dan kekeluargaan. “pernah—karena mungkin klien belum pugs—ada pembayaran yang tertunda sampai 6 bulan. Kami terus mengikuti keinginan klien tersebut dan selalu menyunggingkan senyum sampai akhirnya klien itu membayar,” ungkap Theo.

Giat melakukan kegiatan riset untuk menyempurnakan produk dan jasanya.

Tekad dan konsep untuk membuat kliennya tersenyum melalui produk yang memberikan nilai tambah dan tepat guna terhadap bisnis klien memang sudah menjadi visi Theo dan Joseph. Didukung oleh latar belakang pendidikan yang tepat, tidak terlalu sulit bagi mereka untuk mendesain dan menyediakan produk-produk berteknologi tinggi sehingga memberikan kemudahan dan otomatisasi dalam berbagai bidang. Sistem antrean mereka memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam mengatur alur antrean di kantor-kantor terutama perbankan atau penerbangan, CCTV Online memberikan akses untuk melihat kejadian-kejadian yang terekam, juga dapat dipantau secara online untuk seorang pimpinan ketika ia ingin melihat kondisi kantor di mana pun dia berada, atau Megatron yang membuat klien mampu mengiklankan produk-produknya kepada khalayak melalui visual yang dinamis dengan unsur prestise yang tinggi.
Namun pendidikan dan keahlian tinggi tak terlalu berguna bila tidak diimbangi mental yang kuat. Inilah yang menurut Theo merupakan salah satu faktor terpenting. “Harus ada persiapan mental untuk ulet, berani, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Sebagai pengusaha, kita menjadi pimpinan untuk diri sendiri. Itu lebih susah daripada dipimpin orang lain. Setelah itu adalah menentukan sikap dan bidang yang akan kita geluti. Dimulai dari bidang Yang kita kuasai, kita sukai, lalu menetapkan segmentasi pasarnya,” jelasnya. Yang lainnya sifatnya lebih teknis–misalnya kantor atau inventaris kantor–dan akan mengikuti dengan sendirinya.
Keuletan ini diwarisi Theo dari orangtuanya. Selain keuletan, “Mereka juga mengajari saya soal kejujuran serta etos kerja. Dukungan yang kuat pada tahun-tahun awal ketika saya belum bisa menghasilkan menjadi motivasi yang kuat untuk berhasil,” imbuhnya lagi. Pengalaman bekerja di bawah Perry Tristianto, sang raja FO, juga membawa keuntungan lain. Theo mengakui betapa ia mengagumi cara Perry menjalin relasi, keuletannya untuk tetap hands on pada hal-hal kund, serta kehebatannya membaca peluang hingga 5 tahun ke depan. “Beliau juga selalu mencari ide baru lewat bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk generasi mucla. Walaupun tidak semua terserap, keuletan dan cara pikir beliau cukup menginspirasi saya,” kata Theo.

Setiap kesulitan membuat ia dan mitranya belajar untuk tetap ulet dan tidak menyerah saat menghadapi rintangan dalam berbisnis.

KEUNGGULAN BISNIS
Salah satu kepiawaian Theo membangun bisnis dalam waktu yang tidak terlalu lama adalah product knowledge-nya yang kuat. la tahu sekali bahwa bisnisnya bersifat 132B dengan pangsa pasar yang luas. Meskipun kliennya kebanyakan dari kalangan perbankan, ia yakin bahwa sejalan dengan perkembangan waktu, setiap perusahaan atau bidang usaha yang berhubungan dengan pelayanan konsumen akan membutuhkan produk sistem antreannya. Karena itu, ia giat melakukan kegiatan riser untuk menyempurnakan produk dan jasanya, “Saga selalu menekankan bahwa kita harus selalu menciptakan sesuatu yang baru dan menghasilkan something great, not just good.”
Layanan purnajual juga merupakan salah satu keberhasilan bisnisnya. “Barang elektronik yang dijual, akan ada waktunya mengalarni failed system, apa pun penyebabnya. Di situlah kami harus tetap bersama dengan klien untuk memberikan servis terbaik,” tambah pimpinan yang selalu mengutamakan silaturahmi baik dengan klien maupun karyawannya sendiri ini.
la menambahkan bahwa produk yang dijualnya bukanlah barang langka. Namun, produk itu dapat di-customized dengan fitur-fitur yang mengutamakan kebutuhan tiap-tiap konsumen. Ito sebabnya, Theo menganggap bahwa bahan baku dasar usahanya adalah kekuatan tim engineering-nya dalam melakukan desain dan pemrograman embedded system sehingga tercipta produk yang mantap. Selain mantap secara teknis, juga mantap kemasannya.
Karena kekuatan tim begitu dibutuhkan, Theo sangat memperhalikan urusan ini. Dalam pandangannya, karyawan merupakan berkah, sehingga ia harus memberikan pelayanan yang baik kepada mereka. Maka, di kantornya diterapkan unsur kekeluargaan, profesionalitas, kedewasaan, dan sikap saling peduli. Setiap minggu selalu ada waktu makan siang bersama minimal satu kali. Setiap bulan juga selalu diusahakan untuk main futsal bersama. Setiap tahun pun, selalu ada gathering dengan seluruh keluarga karyawan. Pelayanan kesehatan dan tabungan Jamsostek juga disediakan. “Lebih baik berikan dulu kewajiban kantor kepada mereka sebagai keluarga sehingga mereka akan memberikan yang terbaik untuk kantor. Hal-hal ini membuat turnover karyawan di kantor sangat rendah,” tegasnya.

Layanan purnajual juga merupakan salah satu keberhasilan bisnisnya, karena jarang elektronik pasti ada waktunya mengalami failed system, apapun penyebabnya. Di situlah mereka harus memberikan servis terbaik.

Menyadari bahwa untuk memperoleh tim engineering yang kompeten dalam bidang ini tidak terlalu mudah—karena memerlukan keahlian teknis dan kepandaian yang mutlak tinggi—beberapa waktu belakangan ini Theo menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan ternama untuk dapat memperoleh somber daya manusia terbaik. “Boat says, lebih mudah mencari bahan baku materi ketimbang non-materi,” katanya sambil tergelak.
Dibandingkan dengan sulitnya mencari tenaga engineering yang kompeten, bahan baku embedded system sendiri tidak sulit dicari. Sebagian besar materi masih bisa didapat di negeri sendiri, “Walaupun untuk beberapa desain kami memerlukan chip IC khusus yang tidak tersedia di pasar Indonesia dan harus kita impor sendiri.”
Meskipun ada celah yang harus dilompati dan halangan yang harus disiasati, semua itu dilakukannya dengan penuh semangat karena telah bermimpi menjadi bagian kecil dari dunia yang mampu menghadirkan produk-produk bermutu dan berguna bagi klien dan masyarakat. “Uang nantinya akan menjadi konsekuensi logic dari bisnis yang kita kerjakan,” katanya yakin.

TESTIMONI
Q: Apakah Anda merasa banting setir menjadi pengusaha padahal memiliki pendidikan yang tinggi?
A: Menurut saya, sap tidak banting setir karena memang saya sudah memposisikan diri saya untuk menjadi pengusaha sejak dari kuliah. Justru pendidikan yang tinggi dapat membantu kita dalam usaha kita, karena dengan pendidikan yang baik, kita makin mempunyai kepercayaan diri dan ilmu yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk membangun relasi kepada klien-klien kita.

Tips
HUKUM WIRAUSAHA #24
DNA Wirausaha

‘Takdir bukanlah perkara kesempatan, tetapi pilihan juga bukan sesuatu yang dapat ditunggu, takdir harus diupayakan.William Jennings Bryan

BANYAK ORANG BERPIKIR bahwa DNA adalah unsur pembawa keturunan yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti halnya Theo yang berasal dari keluarga pedagang. la mewarisi DNA pengusaha dari orangtuanya yang berprofesi sebagai pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari di Pati. Namun demikian, belakangan ditemukan ternyata DNA kewirausahaan bukanlah DNA biologis yang dibawa secara genetik atau turun-temurun di dalam sel-sel tubuh manusia.
DNA kewirausahaan adalah DNA perilaku yang dibentuk bukan dari warisan genetika, melainkan dari pergaulan sehari-hari. Pergaulan itu dimulai dari hubungan antara seorang anak dengan lingkungan terdekatnya, yaitu keluarganya sendiri, lalu, berlanjut ke teman-teman dekat, tetangga, teman kuliah, atau orang-orang yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan berhubungan erat dengan anak tersebut. Apalah artinya DNA kewirausahaan yang dimiliki orangtua, bila orangtua tidak melakukan komunikasi intensif atau memberikan jejak pengaruh yang kuat tentang kewirausahaan kepada anak-anaknya. Demikian pula, apalah artinya tetangga yang berada di dekat rumah, apabila seseorang mengisolasi dirinya dengan hanya membaca buku dan sibuk pulang-pergi kuliah atau sekolah.
Dengan demikian, hubungan yang intensif dengan seseorang tidak harus berada pada jarak geografis tertentu, melainkan pada kedekatan batiniah dan interaksi yang dibangun sehari-hari. Untuk mendapatkan DNA kewirausahaan, berikut adalah tips yang saga sarankan:
  • Bangunlah hubungan yang intens dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu memiliki iiwa atau karakter kewirausahaan. Orang-orang ini ada di mana saja dan Anda tidak harus berada pada jarak geografis yang dekat untuk mendapatkan gelombang pengaruh dari mereka.
  • Datangi mereka, lakukan interaksi, ajukan pertanyaan-pertanyaan, dan libatkan diri Anda pada pekerjaan mereka. Jangan mengharapkan imbalan apa pun dari orang itu, karena yang sebenarnya Anda harapkan adalah curahan pengaruh dari DNA mereka.
  • DNA kewirausahaan hanya terbentuk kalau Anda memiliki ciri-ciri seperti keterbukaan dalam berpikir atau melakukan hal baru, ketabahan dalam menghadapi berbagai kesulitan, keleluasaan dalam mengungkapkan isi pikiran dan perasaan, kesepahaman dalam melihat masa depan, dan ketangguhan dalam menghadapi segala macam tekanan ataupun rintangan.
  • Pergilah ke luar dan temuilah pengusaha-pengusaha yang ulet dan telah berkembang, yang menjadikan mereka sebagai seorang street smart. Jadikan mereka sebagai mentor Anda dan pelajari hal-hal yang tidak biasa dalam kehidupan mereka. Kenali, pelajari, lalu lakukan hal-hal yang telah mereka lakukan, dan lihallah sendiri seperti apa hasilnya.
  • Karena DNA perilaku menular, maka waspadailah wirausahawan yang berwawasan sempit atau terbiasa mengambil langkah dan jalan pintas atau berspekulasi, karena mereka semua juga akan turut membentuk karakter dan DNA kewirausahaan Anda.
Di atas segalanya, wirausahawan tidak pernah lahir dari orang yang hanya menunggu. Anda harus bergerak, melangkah, mungkin terjatuh, dan bangkit untuk kembali mencoba.


Sumber : wirasmada.wordpress.com

Lepas dari Film Banting Setir Jadi Pengusaha Mi Ayam ‘Grobakan’

ULET dan tekad Wahyu Indra, warga Pondok Cina, Depok ini patut dicontoh. Prinsip hidup tersebut mampu mengembangkan usaha waralaba mie ayamnya, hingga kini tersebar di 120 titik di seluruh Indonesia.

Padahal, pria beranak tiga ini dulu bergelut dengan PH perfilman nasional. Namun karena iklim perfilman tak begitu segar lagi baginya, dia pun banting setir ke bidang kuliner. Dengan modal awal sekira Rp27 juta, kini Wahyu sudah mempunyai penghasilan sebesar Rp50 juta per bulan dari sistim waralaba mie ayam grobakan yang dipilihnya.

Dengan dana kemitraan Rp7,5 juta, Wahyu pun telah memiliki 120 mitra di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kemudian di Bandung, Semarang, dan Pekanbaru.
“Alhamdulillah dengan fokus saya bisa mengembangkan usaha ini. Yang penting kuncinya spekulasi yang terukur dalam menjalankan usaha,” tuturnya kepada Okezone di Kantor Pusat Mie Ayam Grobakan di Jalan Merpati 6 No 221, Perumnas Depok I, belum lama ini.

Berawal dari hobi makan mi ayam, Wahyu pun tertarik untuk berjualan mi ayam. Ketertarikan itu muncul karena penggemar mi ayam dari segala umur. Wahyu pun mulai gencar melakukan survei mi ayam berbagai produk. Dari mi ayam terkenal, hingga yang biasa.

Pada 2007, suami dari Ervina Widamayanti itu pun mulai mencari resep untuk membuat mi ayam yang enak dan sehat disantap. Setiap menemukan resep membuat mi dari berbagai sumber, Wahyu pun mencoba mi buatannya itu ke pasar. Baik itu di acara keluarga hingga acara di RT dan RW.
Hasilnya Wahyu pun menemukan resep mi yang enak, lembut, dan tidak mudah putus. Tak hanya itu bebas bahan pengawet, kimia, dan halal.

“Kemudian juga bumbu. Bumbu serta sambal yang menyatu di mi ayam itu menari di lidah. Trial eror saya bahkan sampai setahun, jadi awalnya tidak begitu mulus, hasilnya memuaskan,” paparnya.
Modal awal digunakan untuk membeli mesin pembuat mi Rp6,5 juta, bahan baku serta menyewa tempat berjualan di Jalan Mawar. Tepat sehari setelah Lebaran pada 2008, Wahyu resmi berjualan mi ayam. Sambutannya pun luar biasa. Hampir 100 mangkuk mi ayam seharga Rp7.000 pun terjual. Kemudian Wahyu pun pindah ke Jalan Merpati. Walaupun pindah mi ayam Wahyu tetap diburu konsumen.

Tak ingin puas dengan buatan mi ayamnya, Wahyu pun mencoba mengembangkan usahanya. Mulainya Wahyu membaca buku tentang waralaba. Setelah yakin Wahyu pun mengembangkan usahanya dengan cara waralaba. Namun pasang surut pun pasti menghampiri usaha Wahyu. Namun semangatnya kembali muncul karena ia belajar dari kegigihan tukang tongseng.
“Waktu makan tongseng saya tanya sama pedagangnya, dia sudah sukses punya ruko, saya tanya ruko ini sewanya berapa per bulan. Dia bilang punya sendiri. Saya tanya lagi berapa lama jualan tongseng, dia bilang lima belas tahun dan mulai tahun ke sepuluh merasakan enaknya. Di situ saya terpecut. Saya baru satu tahun buka saja sudah menyerah, payah banget kan, akhirnya saya bangkit lagi,” katanya.
Setiap kemitraan yang ingin membuka waralaba mi ayam Wahyu hanya cukup merogoh kocek berinvestasi sebesar Rp7,5 juta. Dengan dana itu akan mendapatkan gerobak mi ayam yang terbuat dari kayu jati Belanda dan mendapatkan 28 item lainnya. Selain itu diberikan juga pelatihan cara membuat mi, bumbu mi ayam, dan sambal.

“Dari 120 mitra, 20 persennya ada yang berhenti karena berbagai hal. Ada juga berhenti lalu melanjutkan kembali. Sisanya sukses, bahkan sudah ada yang 100 mangkok per hari. Kepercayaan menjadi komitmen kami,” imbuhnya.

Analisa investasi dari modal Rp7,5 juta itu adalah pemasukan mi ayam per hari Rp187 ribu (25 mangkuk), teh botol Rp75 ribu, bakso (dua buah) Rp30 ribu, pangsit rebus (dua buah) Rp15 ribu. Jika dihitung per bulan maka penghasilannya Rp9,2 juta. Sedangkan pengeluaran per bulannya mencapai Rp2,3 juta.

Sumber : economy.okezone.com

Dari Kain Songket Raup Rp100 Juta/Bulan

BERAWAL dari meneruskan usaha orangtuanya, Fauziah, wanita berusia 54 tahun, merintis usaha industri rumahannya dengan membuat kain songket. Pembuatan kain songket ini memang tidak mudah, dia harus mencari pinjaman Usaha Kecil Menengah (UKM) dari BUMN untuk memajukan usahanya.

“Tadinya hanya meneruskan usaha orangtua. Namun karena terbentur modal, sempat berhenti,” ungkap wanita berkerudung ini saat berbincang dengan Okezone, beberapa waktu lalu.
Berkat konsistensinya memajukan kain tradisional, songket, Fauziah mendapat suatu binaan dari PT PLN (Persero). Menurutnya, dia mendapatkan modal dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp21 juta. “Nah itu saya manfaatkan agar industri rumahan tersebut bisa berkembang lebih pesat lagi,” jelas dia.

Dengan pembinaan dari PLN, dia membanderol kain songket buatannya yang berkisar Rp1 juta hingga Rp4 juta. Menurutnya, penjualan kain songket cukup menjanjkan. Dia pun dapat menjual tidak kurang 40 potong kain songket per bulannya. Sehingga laba hasil usahanya dapat mencapai Rp100 juta per bulan.

“Tapi kalau lagi ramai sekali, sebulan bisa mencapai 40 potong. Kalau lagi biasa saja, mungkin 20 potong sampai 30 potong saja,” paparnya.

Kualitas itu Penting

Cara pemasaran kain songket pun tidak dilakukan dengan biaya mahal. Dia menuturkan, kain songket buatannya cukup dikenal berkat pelanggan-pelanggannya yang puas akan hasil karyanya. “Orang-orang tahu bisnis saya dari mulut ke mulut. Nah, kalau kualitasnya tidak bagus, nanti orang tidak mau balik ke sini lagi dong,” katanya.

Fauziah mengatakan, guna menjaga kepercayaan pelanggan, maka kulitas kain songket buatannya selalu dijaga. Menurutnya, hal tersebut cukup ampuh untuk menyiasati persaingan usaha sejenis yang tentunya cukup banyak di Palembang. “Kalau dibanding dulu, lebih maju sekarang (industri rumahan kain songket). Pokoknya kita strateginya, kualitas kainnya supaya tetap terbaik,” jelas dia.

Selain itu, dia kerap melakukan pelatihan kepada 15 orang pegawainya, untuk dapat membuat kain songket tersebut dengan baik. Ini dilakukan agar kualitas kain songketnya tetap terjaga. Selain itu, guna menjaga persaingan dengan produk serupa, dia tidak mematok harga kain terlalu tinggi. Baginya asalkan kain songketnya banyak laku terjual, itu sudah cukup baginya.

“Kalau saya prinsipnya tidak mau jual terlalu mahal. Standar saja, yang penting banyak terjualnya, tapi kualitasnya harus dijaga juga,” jelas dia.

Dia menambahkan, guna menarik banyak pemasukan, maka dia juga mempunyai pekerjaan sampingan yang masih masih berhubungan dengan kain songket. Ibu dua anak yang berdomisili di Palembang ini, menyiasati usaha kain songketnya dengan jasa menjahit baju dari kain songket yang dijualnya.

Pasalnya, tidak jarang pelanggan memintanya untuk membuatkan baju berbahan kain songket tersebut. Menurut dia, keindahan kain songket yang begitu mempesona membuat banyak orang ingin memiliki baju yang berbahan kain tradisional asal Sumatera tersebut. Fauziah menjelaskan, setelah merintis usaha industri rumahan tersebut selama 30 tahun tersebut, maka penjualan kain songket tidak lagi dipusatkan di daerah Palembang.
Meski kain songket buatannya belum beredar di luar negeri, namun dia senang orang di berbagai penjuru di Indonesia dapat merasakan hasl karyanya. “Kita hanya kirim untuk ke Jakarta, sama Medan. Tapi paling banyak ke Jakarta,” katanya.

Kunci Mempertahankan Pelanggan

Selain modal uang, menurutnya modal kejujuran juga penting dalam merintis sebuah usaha. Dia meyakini usahanya bisa sampai seperti saat ini bukan semata-mata hanya bermodalkan uang. Namun juga kejujuran yang selalu dijaga, sehingga para pelanggan selalu kembali untuk membeli kain songket buatannya.

“Pokoknya yang penting kalau mau usaha itu jujur. Misalnya kain songketnya ada cacat sedikit, ya saya bilang. Lalu harganya saya kurangin. Kalau misalkan saya bohongin dengan harga tetap mahal, padahal kainnya cacat, nanti orang atau pelanggan saya merasa tertipu, nanti tidak mau balik ke saya lagi,” jelas dia.

Meski demikian, hingga saat ini dia masih berharap usahanya dapat dikembangkan luas dan dapat go international. “Saya harap nanti kain songket buatan saya bisa diekspor. itu impian saya,” tutup dia.

Sumber :  economy.okezone.com

Raup Omzet Hingga Rp70 Juta/Bln dari Kaos Khas Medan

Kehidupan masyarakat yang semakin konsumtif, termasuk dalam memilih pakaian membuat prospek bisnis konveksi semakin manis. Namun, dibutuhkan kreatifitas lebih agar produk yang dihasilkan dapat memenangkan pasar pakaian yang menyajikan kompetisi yang cukup panas.

Melihat manisnya prospek bisnis konveksi, memunculkan ide bagi Fauzan (35) bersama dua rekannya Muklis dan Zulkarnaen untuk terjun ke usaha T-Shirt. Ingin tampil beda dari yang lain, desain khas Kota Medan lah yang dipilih sebagai andalan mereka. Baru dua bulan berjalan, kaos rasa Medan dengan merek dagang “Kaos Medan Bah” ini pun telah beromzetnya mencapai Rp70 juta per bulan dari pengeluaran untuk modal hanya Rp40 juta.

Kaos rasa Medan ini pun kini sudah dikenal hingga ke Bandung, Surabaya, Jakarta, Kalimantan, Semarang, Aceh dan Lampung, melalui media promosi dari mulut ke mulut dan internet, maupun
brosur.

“Medan kan belum punya souvenir khusus kaos seperti Bandung dan Jogja, kalaupun ada belum semua orang bisa dapat. Medan kan punya potensi dari karakter bahasa yang khas dan unik, kami tergerak untuk memantapkan dan membuat T-Shirt dengan rasa Medan ini,” ujarnya saat Okezone berkunjung ke gerai tokonya di Jalan Abdullah Lubis, depan Masjid Al-Jihad, Medan, belum lama ini.

Fauzan mengaku, saat ini sudah terdapat 20 jenis lebih kaos dengan gambar maupun tulisan yang khas Medan. Di antaranya desain tulisan Mantap Krina, Medan Heritage, Horas, Ku Tungggu Ko Balek Medan, Cocok Kam rasa, Kreak Tapi Aktif, Kombur Molotop, Ini Medan Lae dan desain lainnya yang tidak kalah unik.

“Alhamdulillah, dua bulan berjalan, responsnya luar biasa, bahkan terkadang kita kewalahan karena stok ukuran yang tersedia habis,” katanya.

Fauzan pun berharap, hasil tangan kreatifnya tersebut bisa menjadi ikon Kota Medan, seperti makanan khas Bika Ambon dan lainnya. Untuk menjaga kualitas tetap terjaga, saat ini proses pembuatan masih dipesan dari Bandung langsung, dengan alasan bila dicetak di lokal, maka hasilnya kurang memuaskan.

Kemudian, guna menjaga ciri khas bahwa karya tersebut adalah hasil buatannya, maka hak paten akan segera dibuat. “Nah, masalah hak paten itu kan biasanya per item nama, jadi sepertinya untuk awal logo terlebih dahulu yang di patenkan dan itu akan secepatnya,” imbuhnya.

Selain T-Shirt, stiker, gantungan kunci juga sudah dibuat. Ke depan akan dibuat kembali, T-Shirt yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Untuk harga kaosnya sendiri saat ini per item di banderol Rp80 ribu. “Untuk penjualan bisa dilakukan langsung maupun via internet dari Facebook dan website,” tandasnya.

Sumber :  economy.okezone.com

Kembangkan Kaos Khas Jogja Istimewa

JAKARTA - Menunda kesenangan saat kuliah demi membuka usaha adalah kunci keberhasilan sang pemilik Kedai Digital saat memulai usahanya dibidang merchandise.
Jeli dalam melihat peluang bisnis yang besar juga menjadi inspirasi tersendiri dari seorang Saptuari Sugiharto. Kedai Digital yang dimilikinya kini telah “merajai” dunia usaha, serta produknya terlihat sudah tidak asing lagi, khususnya di wilayah Jawa.

Pria yang biasa disapa Saptu ini merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri 2007. Saat ini, dirinya sudah mempunyai 61 cabang Kedai Digital di 30 kota yang tersebar di Indonesia. Kedai Digital pun mempunyai konsep menghadirkan merchandise pribadi.

Mengapa akhirnya lahir Kedai Digital? Mulanya Saptu terpikir untuk membuka usahanya ketika dia melihat sebuah konser musik di Yogya. Kala itu, dirinya melihat orang-orang berebut kaos band Dewa.

“Saya pikir kok gara-gara kaos Dewa, orang sampai berantem berebutan seperti itu. Gara-gara merchandise artis. Dari situ aku berpikir merchandise itu untuk dijadikan lahan usaha,” ujarnya saat di temui Okezone.

Saptu yang lahir di Yogyakarta 8 September 1979 mengaku mulai berbisnis sejak duduk di bangku kuliah semester pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1998. Ketika itu dirinya menjadi penjaga tas di kios UGM dengan gaji sebesar Rp20 ribu seminggu.

Saat ini, dia sedang mulai merambah untuk memproduksi kaos Yogya istimewa atau yang disebut dengan Jogist. Tahap penggarapan pun mulai berlangsung, dengan proses yang dimulai sejak 2011 lalu melalui penjulan online. Produk yang ditampilkannya, sebesar 30 persen bertema Yogya dan 70 persen bertema umum.

Selama kurun waktu tujuh tahun usahanya berjalan, sejak awal pertama kali membuka usaha pada 2005, dia nekat membuka cabang lagi pada 2006. Namun rencana tinggal rencana, bencana gempa di Yogya menjadi salah satu alasan tidak jadi dibuka. Namun, dirinya tidak menyerah.
“Saya enggak nyerah, waktu usaha saya terimbas gempa, saya coba lagi. Pada 2007 saya mengajak beberapa karyawan untuk mengajak menaruh saham di Kedai Digital, dari kerjasama itu menghasilkan lima cabang di Yogya,” katanya.

Bertempat di atas lahan seluas 2×7 meter yang merupakan bekas gudang becak. Dia pun menyulapnya menjadi kantor pusat. Sekarang, Saptu sudah memproduksi 60 produk merchandise.
“Dari yang tadinya hanya di sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kini sudah merambah mulai Sabang sampai Marauke, dari Banda Aceh, hingga Jayapura. Serta akan segera opening sehingga jika ditotal sekira 37 kota,” tuturnya.

Dia menyebutkan, untuk yang benar-benar milik sendiri dan saham sendiri ada 10 kedai di seluruh cabang. Selebihnya, sebagian sahamnya dimiliki juga oleh mitra-mitranya. Saat ditanyakan soal omzet secara nasional, dia menyebutkan hampir sekira Rp800 juta sampai Rp1,2 miliar untuk keseluruhan cabang.

Saptu pun memasarkan merchandise-nya untuk personal sebesar 40 persen, serta untuk perusahaan sebesar 60 persen. Adapun untuk kebutuhan personal biasanya digunakan untuk selamatan, ulang tahun, dengan harga yang beragam.

Ekspansi Usaha

Saat ini, Saptuari tengah mengembangkan usaha kaos Jogist-nya. Dia pun sudah berhasil menjual 700 kaos Jogist dalam jangka waktu sebulan hanya dari satu kios baru miliknya. “Target saya sebulan 1.000 kaos. Per buah Rp75 ribu sampai Rp80 ribu,” singkatnya.

Dia mengakui, di kantor pusat Kedai Digital dan Jogist yang terletak di daerah Utara UGM dahulu omzetnya hanya sekira Rp20 juta per kedai. Namun, saat ini bisa mencapai Rp80 juta per kedai. Adapun, kendala yang dialaminya yakni untuk pengadaan bahan baku, karena tergantung dari bahan baku lokal yang masih terbatas. Dia pun memberikan tips bagi yang ingin membuka usaha, yakni tetap harus fokus pada usaha yang dijalankan, serta tidak mudah menyerah.

“Karena orang menyerah itu orang yang kalah di awal, banyak berinteraksi dengan Tuhan, dan perbanyak bersedakah. Rezeki akan datang unlimited. Lalu, berjuanglah dengan kelucuan dan keluguan, karena dengan hal itu kita bisa memperoleh keberuntungan dalam usaha,” tuturnya.

Jatuh Bangun Memulai Usaha

Dirinya yang lulusan sarjana geografi ini memulai jerih payahnya dengan berjualan ayam potong, celana gunung, batik, stiker. Semua dilakoninya sembari berkeliling kampus dengan menjajakan dagangannya. Semasa kuliah, dia sudah menjalankan bisnis serabutan. Ada delapan jenis usaha yang kala itu ditanganinya, mulai dari berjualan ayam, celana gunung, dan sebagainya.

“Saya mengimbau ke teman-teman mahasiswa jadilah pengusaha sebelum diwisuda, karena nanti ketika lulus akan siap langsung membuka usaha. Pak Dahlan Iskan (menteri BUMN) pernah bilang ke saya, kamu sebagai mahasiswa segera jalankan usaha, enggak apa-apa bangkrut sekarang, daripada nanti sudah tua bangkrut, sembuhnya lama. Setiap orang punya jatah gagal, habiskan jatah itu sekarang tinggal nanti berhasilnya,” ceritanya.

Sejak saat itu, usai menamatkan kuliahnya dari UGM, ia mengaku ijazahnya disimpan dengan rapih. kendati tidak digunakan karena dirinya sudah bertekad ingin menjadi pengusaha. Sang ibu pun mendukung tekadnya tersebut. Dia dan ibunya memberanikan diri meminjam uang untuk modal awal sebanyak Rp20 juta. Namun, yang cair hanya Rp15 juta, mengingat tabungan yang dimilikinya hanya Rp3 juta. Dia pun memberanikan diri menggadaikan surat tanahnya kepada bank.

“Ibu mengizinkan saya untuk meminjam uang di bank karena saya serius. Mengingat bapak sudah lama meninggal sejak saya masih duduk di kelas 5 SD,” tuturnya.

Melihat kondisinya yang sejak kecil telah menjadi anak yatim, yakni dari seorang anak tentara dan memiliki ibu pedagang di pasar Lempuyangan di Yogya, Saptu berniat agar ibunya dapat beristirahat dan dia memutuskan menjadi pengusaha. Kini, Saptu sudah berkeluarga namun belum memiliki anak. “Saya sedang menjalani proses untuk memperoleh anak,” tutupnya sambil tersenyum.


Sumber :  economy.okezone.com

Anak Supir Angkot Sukses Jualan Peralatan Gunung

SETIAP orang pasti memiliki hobi untuk melepas stres maupun untuk rekreasi. Contoh saja Almarhum Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Salah satu cara yang beliau lakukan untuk menghilangkan kepenatan pekerjaan dengan melakukan hobinya, yakni mendaki gunung.
Hobi serupa dimiliki Peres Ariranto Pangabean. Berawal dari hobinya mendaki gunung bersama kakak dan teman-temannya, pria yang akrab disapa Peres ini telah terinspirasi untuk menjual perlengkapan gunung. Sayangnya, anak ke-3 dari empat bersaudara ini bukan terlahir dari keluarga pebisnis. Ayahnya, Timbul Pangabean, bekerja sebagai supir angkot, sementara sang ibu, Susiani beprofesi sebagai penjual sayuran yang bertempat tinggal di Kampung Tipas Mekarsari, Cimanggis, Depok.

Namun, hal tersebut tak mengahalangi Peres untuk memulai usahanya. Peres mengaku kedua orangtuanya mendukung apa yang akan dilakukan Peres. Tapi, orang yang paling mendukung Peres dalam keluarganya sang kakak kandungnya yakni Tongam Sopiantoro. Menurut Peres, kakanya itu kerap memotivasi Peres untuk lebih maju. Dukungan sang kakak, juga diwujudkan saat mereka mencari tempat yang digunakan untuk outlet outdoor miliknya di samping Universitas Pancasila, Jakarta Selatan. Outlet seluas 2×3 meter persegi tersebut, dibanderol dengan harga Rp6 Juta per tahun.

Kedua kakak beradik tersebut memang tidak mempunyai uang sedemikian besar, karenanya pada 2000 mereka mengajukan pinjaman ke bank dengan menggadaikan surat tanah milik orangtuanya. “Dulu nyari modal pinjam dari bank Rp5 juta, tapi yang cair cuma Rp2,5 juta,” kenang Peres kala berbincang dengan Okezone di salah satu outlet-nya cabang Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Alhasil untuk menambah modal tersebut Peres harus menjual kendaraan kesayangannya. “Saya sampai jual vespa waktu itu,” tambah dia.

Pasarkan Produk

Outlet pertama pun akhirnya berdiri, dengan meminjam nama sebuah gunung di Aceh, Leuser, yang kini ditetapkan sebagai merk produk outdoor-nya. “Dulu abang dan teman-temannya mendaki gunung Leuser di Aceh, lalu bersama ketiga temannya memilih nama Leuser untuk produk ini,” jelas dia.

Namun, masalah bukan selesai dengan mendapatkan tempat untuk mmbuka tempat berjualan. Masalah sebenarnya baru datang kala produk mereka muncul, yakni bagaimana cara memasarkan produk mereka. Menyewa tenaga marketing bukan opsi bagi mereka. Jangankan untuk menyewa marketing, untuk mempekerjakan seorang penjaga saja mereka belum mampu. Outlet tersebut, terpaksa dijaga bergantian oleh keduanya sekaligus melanjutkan kuliah.

Karenanya, pemasaran pun dilakukan keduanya sambil menjalankan kuliah. Berawal dari penawaran ke teman-temannya, produk keduanya pun mulai marak di antara teman-temannya. “Dulu setiap bawa barang ke kampus temen-temen malah pada tertarik. Mereka malah mampir ke outlet, soalnya kata mereka lebih lengkap di outlet,” jelas Peres.

Peres pun tidak main-main dalam menjalankan usahanya. Untuk itu, pria kelahiran Jakarta, 21 Oktober 1985 ini sengaja memilih ilmu administrasi niaga. “Saya milih kuliah ngambil jurusan administrasi niaga memang niatnya nanti mau ngembangin usaha bareng abang,” tuturnya.
Marketing yang dilakukan Peres dan kakaknya tergolong sukses menarik pelanggan. Dengan omzet awal sebesar Rp10 juta-Rp15 juta per bulan, membuat tempat yang awalnya dia sewa dipermanenkan pada 2011, sekaligus menjadi outlet resmi Leuser yang pertama.

Sukses Peres tak lepas dari tergabungnya dia dalam Ikatan Asosiasi Adventure Indonesia yang terdiri dari berbagai pengusaha dibidang jual beli perlengkapan outdoor. Peres mengaku outlet-nya kebanjiran order saat Juni sampai Desember, karena pada bulan-bulan tersebut saat libur sekolah dan banyak orang yang berlibur untuk traveling dan menggunakan peralatan gunung guna menunjang pendakian.
Motivasi
Peres mengaku dahulu tidak terpikir usahanya akan berjalan hingga saat ini. Sampai saat ini outlet yang dimilikinya sekira enam outlet di antaranya di Cibubur, Margonda Depok, Ciputat, Kramat Jati, dan Kalimalang, kawasan Universitas Pancasila. Dengan omzet mencapai Rp150 juta per outlet, Peres kini memiliki sekira 25 karyawan di enam cabang outlet Leuser miliknya. Sekira 15-17 merk peralatan gunung ia jual di enam cabang outlet-nya. Dengan permintaan konsumen yang kian meningkat setiap bulannya.

Hal ini, tak lantas membuat Peres berbangga hati. Dia mengaku sering membaca profil para pengusaha seperti Bob Sadino, Chairul Tanjung dan sebagainya untuk menginspirasi dirinya dan usahanya. “Mereka saja bisa, kenapa saya tidak, mumpung masih muda diumur saya 27 ini,” tukasnya sambil tersenyum.
Selain itu, keikutsertaan dia dalam organisasi outdoor juga mendatangkan keuntungan lain. Di setiap pertemuan dia dapat menambah wawasannya dan bertukar fikiran dengan sesama pengusaha outdoor untuk mengembangkan usahanya dan membahas kendala apa saja yang dihadapi dalam menjalankan usaha perlengkapan outdoor.

Oleh karena itu, persaingan dengan outlet outdoor lain pun dijadikan motivasi dirinya untuk terus mengembangkan usahanya, karena menurutnya jika tidak ada saingan maka usahanya tidak akan seperti yang ia jalani saat ini. Intinya, jelas dia, harus tetap berpikiran positif. “Saya percaya kalaupun enggak ada modal yang penting ada niat, jangan mudah menyerah dan yang penting bekerja keras, itu akan membawa kita pada kesuksesan,” ungkap Peres.

Menurut dia, kunci sukses lainnya adalah 25 orang karyawannya yang loyal. “Zaman sekarang orang pintar banyak, tapi orang jujur susah,” kata Peres.

Ke depan, Peres berencana akan mengembangkan usahanya dengan membuka cabang outlet Leuser di seluruh daerah di Jabodetabek. Dengan saving money 20 persen dari keuntungan yang didapat, Peres menyisakannya untuk memenuhi kebutuhan outlet-nya.  “Meskipun bapak sopir dan ibu tukang sayuran dulu, tapi sekarang saya sudah bisa mencukupi semua yang mereka perlukan,” tukas dia.

Sumber : economy.okezone.com

Ide Kreatifnya Sukses Ciptakan Soto Jamur Instan ‘Sotoji’

SIAPA yang tak tahu Soto! Makanan Indonesia yang banyak dijual di restoran, kedai, cafe, hingga di warung kaki lima. Rasanya yang menggiurkan dan enak disantap dikala hujan. Bisa Anda bayangkan, bila soto dijual dalam kemasan seperti mi instan yang sudah familiar di masyarakat.
Adalah Rohmat Sastro Sugito yang menjadi ahli dalam membuat dan meracik soto instan. Berbekal keinginan menyajikan makanan siap saji, namun tetap kaya gizi, terpikirlah membuat penganan tersebut.

“Awalnya banyak petani jamur. Nah, kalau sedang panen harganya kan jadi murah. Kalau diolah harganya jadi stabil,” katanya saat berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Dari awalnya iseng coba-coba membuat menu dari berbagai macam jenis jamur yang ada, saat ini dia mengaku sudah mematenkan makanan yang dibuatnya yaitu “Sotoji” atau Soto Jamur Instan. Menurutnya, rasa jamur tiram-lah yang mampu diterima pasar dan enak untuk dijadikan olehan Sotoji-nya.

“Sebelumnya sempat dicoba segala jenis jamur, ada tiram, kancing, akhirnya setelah dipertimbangkan yang paling bisa diterima pasar adalah jamur tiram,” akunya.
Saat ini, usahanya ini telah menjadi sebuah perusahaan kecil dengan nama PT Tri Rastra Sukses Sejahtera. Meski diakuinya perusahaan ini masih dalam bentuk skala kecil, yang hanya memproduksi 40 dus setiap harinya, namun dia menargetkan dalam waktu dekat bisa memproduksi lima kali lipat.
“Sehari 40 dus, satu dus isi 20 pieces. masih skala kecil karena terbatas di mesin,” akunya.
Untuk memulai usaha, tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Saat disinggung berapa modal yang digunakan untuk memulai usaha yang masih tergolong hijau ini, dia enggan menyebut angka pasti. “Yang jelas, modalnya seharga satu unit mobil kijang,” katanya berkelakar.
Dalam waktu dekat, perusahaan akan segera mendatangkan mesin baru yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Dengan datangnya mesin baru tersebut, dipastikan produksi akan bertambah menjadi sekira 500 dus per hari. Karena menurutnya, jumlah optimal yang seharusnya diproduksi adalah sekira 100 dus per hari.

“Mesin dari Malang, pokoknya produknya, semuanya dari Indonesia,” akunya mantap.

Keuntungan Sotoji

Berbicara modal, tentunya tidak terlepas dari berapa pundi-pundi yang dikantongi. Dengan rendah hati dia memastikan, setahun pertama belum ada keuntungan fantastis yang bisa diraihnya. Sebab, usahanya ini masih tergolong muda dan masih perlu banyak waktu untuk semakin maju.
Saat ini, per dus sotoji di jual seharga Rp50 ribu. Dalam sehari, perusahaan baru memproduksi 40 dus dan rencanannya akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Jadi jika dikalkulasikan, pendapatan per hari Rp2 juta atau jika dihitung dalam satu bulan bisa meraup pendapatan Rp60 juta.
“Namun tahun pertama belum untung. Masih dalam tahap ekspansi pasar,” elaknya.

Franchise

Usaha yang digelutinya ini diakuinya akan dibuat sistem waralaba. Bentuk waralabanya ini juga masih dalam proses pengembangan. Dalam kedai-kedai yang sudah dimilikinya saat ini, selain dijual Sotoji kemasan, juga dijual yang sudah siap makan. Hal ini menjadi salah satu cara pemasaran Sotoji. Sebab, belum banyak yang menjual Sotoji kemasan. Karena, Sotoji baru bisa diperoleh di beberapa toko kecil.

Untuk lokasi kedainya juga baru berada di kawasan Depok. Dan dia berencana akan terus berekspansi ke pasar lokal yang menurutnya memiliki banyak peluang. “Masuk pasar luar memungkinkan kenapa tidak. Tapi fokus di pasar Indonesia karena saat ini kemungkinan terbuka masih sangat luas,” katanya lagi.

Berbicara produk tidak terlepas dari bagaimana cara pemasaran yang baik agar produk tersebut cepat dikenal oleh masyarakat. Rahmat memiliki cara unik dan jitu dalam memasarkan Sotojinya. Bagaimana caranya?

“Gerakan pertama lomba blog, menggunakan ranah online. Hal itu dilakukan karena terbatas dana. Mereka (peserta lomba) membuat blog segala hal mengenai Sotoji,” tutupnya


Sumber : wirasmada.wordpress.com

Si Bodoh Yang Menjadi Milyarder

Ada satu cerita tentang orang Singapura yang bernama Adam Khoo. Pada umur 26 tahun dia mempunyai empat bisnis yang beromzet US$ 20juta. Ketika umur 12 tahun Adam dicap sebagai orang yang malas, bodoh, agak terbelakang dan tidak ada harapan. Ketika masuk SD, dia benci membaca; maunya hanya main game computer dan nonton TV. Karena tidak belajar, banyak nilai F yang membuat dia semakin benci kepada gurunya; benci belajar, bahkan juga benci terhadap sekolah
Saat duduk di kelas 3 dia dikeluarkan dari sekolah, dan pindah ke sekolah yang lain. Ketika mau masuk SMP, dia ditolak 6 sekolah, dan akhirnya masuk sekolah yang terjelek. Di sekolah yang begitu banyak orang bodohnya dan tidak diterima di sekolah yang baik itu, Adam Khoo termasuk yang paling bodoh. Di antara 160 murid seangkatan, Adam Khoo menduduki peringkat 10 terbawah.

Orangtuanya panik dan menirim dia ke banyak les, tapi hal itu tidak menolong sama sekali. Di sebuah sekolah dengan nilai 0-100, rata-rata nilainya adalah 40. Bahkan guru matematikanya pernah mengundang ibunya dan bertanya, “Kenapa di SMP kelas 1, Adam Khoo tidak bisa mengerjakan soal kelas 4 SD?”

Pada umur 13 tahun, Adam Khoo dikirim ke Super-Teen Program yang diajari oleh Ernest Wong, yang menggunakan teknologi Accelerated Learning, Neuro Linguistic Programming (NLP) dan Whole Brain Learning. Sejak saat itu keyakinan Adam Khoo berubah. Ia yakin bahwa dia bisa. Ditunjukkan oleh Ernest Wong bahwa semua orang bisa menjadi genius dan menjadi pemimpin walaupun awalnya goblok sekalipun. Dikatakan oleh Ernest Wong , “Satu-satunya hal yang bisa menghalangi kita adalah keyakinan yang salah serta sikap yang negative.” Kata-kata ini mempengaruhi Adam Khoo. Dia akhirnya memiliki keyakinan bahwa kalau ada orang yang bisa mendapatkan nilai A, dia juga bisa. Selama ini Adam Khoo bodoh, karena dia masih muda, naïf, dan menerima sepenuh hati kata-kata orang lain yang negative.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Adam Khoo berani menentukan target-nya, yaitu mendapatkan nilai A semua. Dia menentukan goal jangka pendeknya, yaitu masuk Vitoria Junior College (SMA terbaik di Singapura), tujuan jangka panjangnya masuk National University of Singapore dan menjadi murid terbaik disana.

Ketika kembali ke sekolah, Adam Khoo langsung take action dengan menempel kata-kata motivasional yang dia gambar sendiri dan belajar menggunakan cara belajar yang benar (yang selama ini tidak diajarkan di sekolah manapun), menggunakan teknik membaca cepat, cara mencatat menggunakan kedua belah otak, dan menggunakan teknik super memori, dan ketika Adam Khoo ditanyai oleh gurunya, dia bisa menjawab dengan tepat.

Ketika teman-teman dan gurunya bertanya apa yang akan dia raih, dijawab oleh Adam Khoo bahwa dia akan menjadi ranking No.1 di sekolahnya, masuk Victoria Junior College dan National University of Singapore. Semua orang menertawakannya, karena tidak pernah terjadi dalam sejarah bahwa lulusan SMP tersebut masuk Victoria Junior College dan National University of Singapore. Bukannya jadi loyo karena di tertawakan, Adam Khoo malah semakin tertantang untuk semakin bekerja dengan cerdas dan keras untuk mencapai impian dan mengubah sejarah.

Dalam waktu 3 bulan rata-rata nilainya naik menjadi 70. Dalam satu tahun, dari ranking terbawah dia menduduki ranking 18. dan ketika lulus SMP, dia menduduki ranking 1 dengan Nilai Ebtanas Murni A semua untuk 6 mata pelajaran yang diuji. Dia kemudian diterima di Victoria Junior College dan mendapatkan nilai A bulat untuk tiga mata pelajaran favoritnya. Akhirnya dia diterima di National University of Singapore (NUS) dan karena di universitas itu dia setiap tahun menjadi juara, akhirnya Adam Khoo dimasukkan ke NUS Talent Development Program. Program ini diberikan khusus kepada TOP 10 mahasiswa yang dianggap jenius.

Bagaimana seorang yang tadinya dianggap bodoh, agak tebelakang, dan tidak punya harapan, serta menduduki ranking terendah di kelasnya bisa berubah, menjadi juara kelas dan dianggap genius? Nah, Anda sudah tahu apa yang dikatakan oleh Ernest Wong, “Yang menghambat kita adalah keyakinan yang salah dan sikap yang negative”. Kesuksesan Adam Khoo pertama datang dari perubahan keyakinan yang salah menjadi keyakinan yang tepat (dari keyakinannya “Saya bodoh, lulus saja susah” menjadi “Kalau orang lain bisa mendapatkan A, saya juga bisa!”)
Kunci suksesnya yang kedua adakah bahwa dia mempunyai tujuan yang mantap (“Nilai saya harus A semua, juara 1, masuk Victoria Junior College, masuk NUS dan menjadi terbaik disana”)

Kunci suksesnya yang ketiga ialah bahwa dia mempunyai alasan yang sangat kuat. Dia bahkan mengucapkan public commitment di depan taman-teman, bicara di depan kelas dan ditertawakan. Akibatnya, kalau tidak dapat nilai A, dia akan malu luar biasa; sedangkan bila mendapat nilai A, dia akan bangga luar biasa.

Kunci suksenya yang keempat adalah bahwa dia mempunyai starategi yang tepat untuk belajar. Dia menggunaka teknik membaca cepat, cara mencatat menggunakan kedua belah otak, dan menggunakan kedua belah otak, dan menggunakan teknik super memori.


Sumber : andiazhari.com

Kisah Anak Miskin yang Jadi Menteri

Kisah sukses Dahlan Iskan lengkap sudah setelah ia dipercaya oleh presiden SBY menjadi Menteri BUMN. Dahlan Iskan lahir pada tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur. Paling tidak inilah yang tertera di ijazahnya karena mengenai tanggal lahir ini ada cerita unik yang melatari munculnya angka ini, ternyata orang tua Dahlan Iskan tidak ingat tanggal berapa Dahlan kecil dilahirkan. Akhirnya Dahlan memilih tanggal 17 Agustus sebagai tanggal lahirnya supaya mudah diingat karena bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan republik Indonesia.

Dahlan Iskan kecil dibesarkan di lingkungan pedesaan dalam keluarga dengan kondisi serba kekurangan. Meski demikian desanya kental dengan nuansa religius, dalam bukunya 'Ganti Hati' Dahlan Iskan menceritakan bahwa saat ia kecil, ia hanya memiliki satu celana pendek satu baju dan satu sarung.

Dahlan Iskan memulai karirnya sebagai reporter pada surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976 ia kemudian menjadi wartawan majalah Tempo. Karirnya terus bekembang hingga pada tahun 1982, Dahlan Iskan berhasil memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang.

Dahlan Iskan menjadi sosok pemimpin yang mampu merubah wajah Jawa Pos lama yang terpuruk dan hampir mati dengan hanya menghasilkan oplah 6.000 eksamplar, dengan tangan dinginnya dalam waktu 5 tahun Dahlan Iskan merubah Jawa Post menjadi perusahaan besar dengan oplah 300.000 eksamplar, 5 tahun setelah itu terbentuklah Jawa Pos News Network (JPPN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 80 surat kabar, tabloid dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Ia pun berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya dan kemudian gedung serupa di Jakarta. Pada tahun 2002 ia berhasil mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.

Akhir tahun 2009 Dahlan Iskan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar. Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prime Electric Power di Surabaya.

Berdasarkan pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) terhitung sejak 30 Maret 2011, Dahlan Iskan yang merupakan pemilik Grup Media Jawa Pos ini memiliki harta sekitar Rp.48,8 miliar. Harta ini terdiri dari harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp 8,6 miliar, harta bergerak senilai Rp.2.5 miliar serta surat berharga, giro dan kas lainya.

Sumber :  beritapopulerz.blogspot.com