Senin, 25 Februari 2013

Pengusaha Travell Agent


Ian Wilson, pertama kali menemukan hasratnya yang mendalam terhadap dunia traveling saat dia masih berusia 9 tahun. Ketika itu dia dan keluarganya harus berimigrasi dari Nottingham ke New Zealand. Dan hanya dalam beberapa minggu saja, Wilson, kakak, dan ibunya, merasa tidak betah dan sangat kembali ke Inggris.

Tapi ayahnya, yang sering terkena serangan malaria, dianjurkan oleh dokter untuk mencari daerah yang lebih hangat demi kesehatannya. Jadi mau tidak mau, mereka harus menetap disana. Dan karena itulah, mungkin tidaklah mengherankan jika sejak usia 13 tahun Wilson sudah hobby mengkoleksi berbagai brochure traveling dari seluruh dunia.

Saat berusia 22 tahun, setelah menyelesaikan study-nya di Auckland University dan mendapat gelar dibidang bahasa Prancis serta mendapatkan tempat untuk mengambil gelar doktor philosophy politik di Oxford University, saat itulah Wilson baru punya kesempatan untuk pulang ke Inggris.

Ibunya sangat ambisius mengenai kesuksesannya, tapi Wilson segera menyadari bahwa dia lebih menyukai kehidupan akademik. 'Ibuku ingin agar aku menjadi seorang pemimpin perusahaan, seorang diplomat, atau seorang pengacara. Tapi aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan berikutnya, dan aku tidak punya sedikitpun keinginan untuk segera mengetahuinya. Aku menemukan bahwa aku cukup akademis dan menyukai kegiatan penelitian serta pengembangan teori.'

Setelah lulus dari Oxford, selama beberapa bulan, dia berkeliling Amerika dan kemudian mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan agent periklanan, J Walter Thompson. Tapi bidang itu tidak benar-benar diminatinya, dan setelah tiga tahun, diusianya yang ke 26, dia memutuskan untuk mulai mencari jalan keluar. Dia mengatakan: 'Aku ingin mencari cara untuk meniti karir di dunia corporate.'

Ide pertamanya adalah mencoba menerbitkan novel yang pernah dia tulis saat masih di universitas. Saat ide tersebut gagal, dia mencoba idenya yang lain, yaitu membantu mempromosikan Cape Verde Islands agar menjadi salah satu tujuan wisatawan. Saat itu, pihak pemerintah di sana menyewa seorang profesor asal Belgia sebagai penasehat.

Jadi, Wilson memutuskan untuk pergi ke Brussels dan menemui sang professor dengan tujuan menjadikan dirinya sebagai perwakilan dari Inggris untuk ikut memasarkan Cape Verde Islands. Tapi sayang, impiannya gagal. Wilson mengatakan: 'Aku banyak mentranslate dokumen dari bahasa Portugis ke bahasa Inggris, tapi ternyata project tersebut batal dan tidak pernah diluncurkan lagi.'

Di tahun 1970, pada suatu sore di musim seni, disebuah kebun, Wilson mendapatkan ide besarnya. Saat itu, dia sedang duduk-duduk dan ngobrol bersama teman-temannya dari universitas dan dua dari temannya tersebut, saling bertaruh mengenai siapa yang pertama kali akan memiliki sebuah perusahaan travel yang sukses.

Jadi, Wilson memutuskan untuk membuka sebuah club travel yang akan menawarkan ticket dengan harga murah untuk para siswa, perawat dan guru, dengan syarat mereka harus membayar biaya keanggotaan sebesar £1.25 per tahun. Dia mengatakan: 'Entah bagaimana ide tersebut bisa datang begitu saja dan menjadi sesuatu yang jelas untuk dilakukan. Ide tersebut merupakan hasil penyaringan dari berbagai hal dan dari berbagai arah.'

Dia menyebut club tersebut WUNEXAS, yang berasal dari singkatan World Universities Expeditionary Association. Dengan modal pinjaman sebesar £150, dia mulai menyebarkan brocure pertamanya. Wilson mempunyai seorang teman di bagian percetakan J Walter Thompson yang mau mencetakkan poster iklan untuk club-nya selama jam makan siang.

Kemudian, diwaktu jam makan siangnya sendiri, Wilson memanfaatkannya untuk mengumpulkan daftar perkumpulan siswa dan perawat dari perpustakaan di J Walter Thompson. Dia mengatakan: 'Aku mengirimkan poster tersebut ke semua sekretariat perserikatan siswa dan perawat, dan meminta mereka untuk menempelkannya di papan pengumuman.'

Lalu Wilson mulai bekerja untuk menegosiasikan ticket penerbangan dengan harga yang murah. Dia mengatakan: 'Dengan membawa form keanggotaan, aku berkeliling untuk mencari konsolidator dan membujuk mereka dengan memberikan jaminan bahwa aku pasti akan selalu membooking dengan jumlah tertentu. Anggota kami bisa membeli ticket dengan harga £250, sedangkan harga normalnya adalah £400.’

Saat baru memulai, Wilson masih harus terus bekerja secara full time di agent periklanan, sehingga hanya malam hari dan akhir pekan dia bisa mengerjakan club travelnya. Dan setelah enam bulan, tepatnya di tahun 1971, club-nya sudah berjalan dengan sangat lancar sehingga dia bisa keluar dari pekerjaan tetapnya, dan menjalankan bisnisnya secara full time. Dan sebagai hasilnya, penghasilannya meningkat tiga kali lipat.

Di tahun-tahun pertama, club-nya berhasil mendapatkan anggota sebanyak 1.200 orang. Dan ditahun kedua, anggotanya meningkat menjadi 2.000 orang, sehingga dia mampu menyewa sebuah kantor yang berlokasi diatas sebuah restaurant di Knightsbridge, dimana dari hasil keuntungan perusahaannya, Wilson juga mulai memberikan bantuan untuk universitas yang ingin melakukan ekspedisi.

Dia menjelaskan: 'Aku tidak berambisi untuk menjadi kaya, aku lebih berambisi untuk bisa melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan kepuasan, dan bagi ku, kepuasan itu datang saat aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Aku tidak punya banyak materi.'

Dan ternyata benar, setelah menjalankan clubnya selama empat tahun, di usianya yang ke 30, Wilson memutuskan untuk mengambil langkah yang radikal. Dia menunjuk seorang direktur menejer untuk menjalankan perusahaannya sehingga setiap tahun, selama empat bulan, dia bisa menghabiskannya untuk berkeliling dunia. Dan semenjak itu pula cara tersebut digunakan dalam menjalankan perusahaan.

Seringkali, dia akan mengajak istri dan kedua anaknya untuk berkeliling dunia, berselancar, menyelam, dan berlayar.

Di tahun 1976, bisnisnya menemui sebuah masalah. Saat itu, Wilson membuka kantornya yang kedua di New York, tapi dalam dua tahun dia harus menutupnya dan mengalami kerugian sebesar £35,000. Akan tetapi, dia punya pandangannya sendiri mengenai kejadian tersebut. 'Itu sama sekali bukanlah sebuah pengalaman yang buruk karena saat itu aku bisa berselancar di California dan menulis sebuah novel. Aku menerbitkannya di Amerika dan ternyata cukup sukses.'

Kemudian di tahun 1982, kantornya terbakar saat Wilson sedang berselancar di kepulauan Turks dan Caicos, sehingga dia harus membatalkan rencana marketing yang tengah dijalankan perusahaan untuk meningkatkan penjualannya. 'Kami semua harus bekerja sebisanya karena tempat tersebut kotor dan menghitam, dan semua orang harus bekerja dalam satu ruangan dengan satu telephone untuk beberapa minggu. Konsumen tidak bisa menghubungi kami.'

Dan yang lebih parah lagi, perusahaan ansuransi menolak untuk membayar penuh, sehingga perusahaannya harus mengalami kerugian sebanyak £80,000.

Akan tetapi, meski harus mengalami hambatan, WEXAS terus berkembang, dan mulai menarik pelanggan-pelanggan kaya karena dulu mereka pernah menggunakan jasa dari perusahaannya. Perusahaannya kini bukan cuma menawarkan ticket tapi juga hotel, kapal pesiar, dan mampu menyewa pesawat untuk menjadi operator tour, sebuah gebrakan yang membuatnya jadi lebih unggul dibanding para pesaing yang berasal dari perusahaan penerbangan lain dan internet.

WEXAS sekarang sudah mempunyai 35.000 anggota, 130 orang staff, dan penghasilan tahunan yang mencapai £40 juta dengan keuntungan bersih mencapai £6.5 juta.

Bagi Wilson, mempunyai sebuah club dan anggota adalah kunci agar perusahannya bisa terus beroperasi. Dia mengatakan: 'Aku tidak pernah memandang diri ku sebagai seorang agent travel. Aku lebih memandang diri ku sebagai seorang pemasar yang memasarkan keanggotaan. Selama bertahun-tahun, konsumen lebih memandang WEXAS sebagai club keanggotaan dan bukan sebagai agent travel. Sampai tahun 1990, sumber utama penghasilan kami mungkin sebagian besar berasal dari fee keanggotaan.'

Saat ini, di usianya yang 66 tahun, Wilson merasa bahwa memiliki club dan anggota adalah sebuah anugrah sekaligus kutukan. Dia mengatakan: 'Aku rasa dengan memiliki keanggotaan yang berlangganan, bisa menjadi faktor yang membatasi seberapa besar sebuah perusahaan bisa berkembang, sebab pasarnya hanya terbatas untuk kalangan yang mau membayar jasanya. Tapi lucunya, karena itu pula aku mampu untuk memiliki gaya hidup yang bebas seperti yang aku inginkan. Jika anda mempunyai perusahaan dengan ukuran tertentu dan seseorang bisa menjalankannya untuk anda, maka anda bisa meninggalkannya dan jadi bebas menjalankan gaya hidup seperti yang anda pilih.'

Secara umum, dia merasa bangga karena telah mampu mengkombinasikan antara kesuksesan bisnis dengan kesuksesan memilih gaya hidup yang dia inginkan. Dia mengatakan: 'Aku tidak mengukur kesuksesan berdasarkan ukuran dan keuntungan. Aku mengukur kesuksesan berdasarkan kepuasan yang aku dapat dari apa yang aku lakukan. Aku menganggap bahwa apa untungnya bagi orang-orang yang bekerja sangat keras setiap hari agar bisa menjadi yang terbesar, terbaik, dan terkaya, tapi tiba-tiba harus meninggal karena serangan jantung, sehingga sama sekali tidak punya kesempatan untuk menikmati hasil jerih payahnya. Aku rasa anda harus bisa menikmatinya selagi anda masih punya kesempatan.

Sumber : kisahpengusaha.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar