Rabu, 29 Mei 2013

Sukses Dari Dicerca Hingga Miliki 3 Cabang

Roti atau kue memang jadi salah satu makanan favorit untuk sarapan atau teman ngemil di kala lapang. Atau sebagai hadiah untuk orang terkasih. Toko roti yang satu ini punya deretan menu lengkap yang patut Anda coba. Dan cerita sendiri bagaimana membangun usahanya hingga sekarang sudah memiliki omzet Rp. 15 juta per hari. Wow!

Enny Bakery, namanya. Toko roti milik Enny Dayalti ini sudah ada sejak 12 tahun lalu. Mulai dari hobi mengoleksi resep dari buku atau majalah, dia memberanikan diri untuk membuat sendiri dan memasarkannya ke toko kelontong yang ada di pasar.

Ujian pertama datang, banyak konsumen yang mengeluhkan rasa kue yang dibuatnya. Ejekan tak lantas membuat Enny mundur. Setelah beberapa bulan, banyak orang yang telah mengenal caramel sarang semutnya. Semakin banyak pesanan, semakin tidak mampu ia mengerjakan sendiri.

Dibantu oleh 2 karyawatinya, Enny mulai melebarkan sayap bisnisnya itu. Tidak lagi hanya caramel sarang semutnya, Enny merambah ke kue basah, aneka cake ulang tahun sampai akhirnya ia sudah memiliki sebuah tempat mungil untuk menjajakan kuenya. Semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang anginnya.

Salah satu karyawatinya di “rebut” oleh saingannya. Karyawati ini sudah sangat handal dan banyak mengetahui tentang resepnya. Tidak lama setelah itu, saingannya muncul dengan rasa kue yang sama.

“Saya pasrahkan kepada Allah SWT, bagaimana bisnis ini ke depannya, Ia tau yang terbaik untuk saya nantinya,” ujarnya.

Tak gentar, wanita asal Padang ini mencoba hal-hal yang lebih menarik lagi, ia mengkreasikan kembali kue-kue buatannya. Tidak hanya itu, Enny berhasil memperoleh Sertifikat Halal dari MUI. Dengan modal inilah, Enny kembali mengerahkan semangatnya untuk lebih maju lagi.

Kini, pelanggan bisa memesan mulai dari kue ulang tahun/black forest, kue pengantin, roti buaya, kue basah/kering, kue keperluan pesta/arisan, snack box, roti manis, lapis surabaya, lapis legit, brownies, kue tampah, dan aneka cake lainnya.

Harga yang ditawarkan pun variatif. Enny Bakrie menawarkan harga mulai dari Rp 5.000 hingga jutaan rupiah. Tentu harga itu bisa disesuaikan dengan anggaran yang Anda punya.

“Saya tidak pernah mencampurkan bahan-bahan kue yang tidak boleh dimakan kaum muslim, seperti rum, tuak, atau apapun yang memang dilarang,’’ jelasnya.

Berdoa dan bersedekah, inilah kekuatan yang Enny andalkan sejak dulu. Enny mengatakan, ia mempekerjakan anak-anak yang tidak lulus sekolah. Menurutnya, yang penting jujur dan mempunyai kemauan, dia akan mengajaknya bekerja.

Setelah 12 tahun kini, Enny Bakery telah mempunyai tiga outlet di Depok: Jalan Nusantara Raya No. 102, Jalan Nusantara Raya No. 294, dan Jalan Tole Iskandar No. 9. Urusan omzet tak perlu ditanya, kini Enny Bakrie dapat menghasilkan omzet  Rp. 15 juta per harinya.

“Semua niat yang memang tertuju pada Allah SWT, insyaallah jalannya akan dipermudah. Selalu berdoa, sedekah, dan saling membantu sesama,” tutupnya.

Sumber : ciputra.com

Suyoto, Pasarkan Wayang Hingga ke Mancanegara

Wayang kulit merupakan salah satu seni budaya masyarakat Jawa, yang sampai kini tetap bertahan di tengah derasnya infiltrasi budaya asing yang melekat pada perubahan masyarakat di kehidupan modern. Kini, negara-negara tertentu seperti Malaysia, Brunwi Darussalam, Jepang Belanda dan Amerika Serikat mulai mengagumi wayang sebagai seni dekoratif. Kenyataan inilah yang ditangkap oleh seorang perajin wayang kulit asal Nganjuk, Suyoto sehingga masih tetap bertahan hingga kini.

Menjadi perajin wayang kulit di tengah modernisasi dan derasnya arus budaya global tidaklah mudah. Walaupun pasar terbuka, minimnya tenaga perajin menjadi kendala yang serius. Kiatnya menghimpun pelukis kampung yang awalnya ditugasi menjadi pewarna kerajinan wayang yang ia buat, ternyata sukses mengatasi masalah usahanya. Itulah sekelumit kisah Suyoto, perajin wayang kulit yang sukses hingga omzet usahanya mencapai puluhan juta sebulan.

Hasil olah tangannya itu, mampu menembus pasar negara-negara tersebut di tas, meskipun pasar lokal masih tetap digarapnya hingga kini. “Saya menekuni usaha ini sejak 13 tahun lalu,” ujar bapak dua anak ini.

Diakuinya, menjadi perajin seperti sekarang ini memerlukan proses panjang dan harus mampu bertahan dari berbagai macam halangan dan rintangan. Dia menyebutkan, faktor pasar harus diperhatikan meski ada faktor lain yang juga tidak boleh diremehkan, seperti bahan baku dan modal.

Pasar menjadi faktor utama untuk memutar modal dan keuntungan bisa dikalkulasi. Oleh karena itu, dia mengaku mati-matian untuk merintis pasar. Pria berumur 45 tahun itu memulai usahanya dengan merintis pasar lokal, Bojonegoro, Jombang, Surabaya, Jakarta dan Kalimantan.

Untuk mampu menembus pasar, Suyoto memang harus kreatif. Jika awalnya hanya terpaku pada seni kerajian wayang kulit, ia harus mengembangkan pada bentuk yang lain, seperti membuat hiasan dinding, kaligrafi, hingga berbagai macam bentuk lainnya sesuai pesaanan. Tapi semua itu berbahan dasar kulit.

“Apapun permintaan pemesan akan kami buatkan sebagus mungkin, kalau kami terpaku pada pembuatan tokoh pewayangan, kami tidak akan mampu bertahan, terus berinovasi untuk menjawab tuntutan pasar,” jelas Suyoto.

Namun untuk pasar luar negeri paling digemari memesan tokoh-tokoh pewayangan karena unsur filosofinya dan kesan klasiknya. “Awalnya, ada seorang teman yang kenal dengan turis. Dia mengajaknya ke rumah, melihat itu turis asal Belanda membeli tokoh Krisna dan dibawa pulang ke negaranya,” katanya.

Sejak itulah, dia sering mendapatkan pesanan meskipun hanya satu atau dua tokoh pewayangan. Meskipun ongkos kirimnya lebih besar dari harga satuan wayang tetap dilayani. Harapannya menjadi cikal bakal menembus pasar luar negeri. Dan ternyata benar, sejak tahun 2002 dia mendapatkan pesanan dalam jumlah yang lumayan banyak.

Persoalan yang terus dihadapi adalah bahan baku, karena harus pontang-panting mencari kulit sebagai bahan baku utamanya. “Kadang saya harus datang ke rumah jagal hewan untuk memesan kulit sapi untuk bahan bakunya,” katanya. Kadang saya harus berebut dengan pedagang kerupuk rambak dan cecek, tambahnya sambil tersenyum.

Sumber : bacaartikelbisnis.blogspot.com

Muhdi, Sukses Jadi Pengusaha Keripik Hingga Tembus ke Mancanegara

Saat datang ke Medan, Sumatera Utara, tahun 1986, Muhammad Muhdi (46) bukanlah siapa-siapa. “Naik kereta (sepeda motor) saja saya tidak bisa,” kata Muhdi. Namun, 25 tahun kemudian, ia adalah pengusaha keripik singkong dan turunannya dengan 75 karyawan dan mulai mengekspor produknya.

Berbincang dengan Muhammad Muhdi selama sekitar dua jam membawa kesimpulan bahwa ia sukses sebagai pengusaha keripik singkong karena ia orang yang optimistis dengan hidupnyi. Namun,  optimisme itu pun tidak ia peroleh dengan singkat. Ada masa ia terjepit dan terjatuh, tetapi bisa bangun lagi dan berhasil seperti saat ini. Selulusnya dan Madrasah Aliyah Pondok Baru, Payaman, Magelang, Jawa Tengah, Muhdi pergi ke Medan menjadi nazir Masjid Nurul Imam di kawasan Kompleks Perhubungan Udara, Padang Bulan, Medan. Ia juga bekerja macam-macam, seperti menjadi tukang  kebon Taman Kanak-kanak Ikadiasa, Kompleks Perhubungan Udara, Jalan Penerbang, Medan. A Siong, seorang pedagang telur, pernah menawarinya berdagang telur.

Usahanya menanjak saat ia mulai memasok logistik, seperti telur, beras,  minyak goreng, minyak tanah, hingga sirup, ke Pondok Pesantren Roudhatul Hasanah, Medan. Semua berbalik saat krisis moneter tahun 1997. Pemilik toko tempat ia mengambil barang bangkrut. Ia mencoba berdagang bahan pokok.

Di tengah situasi tak menentu, ia pulang kampung saat Lebaran tahun 1999. Di situlah ide membuat keripik singkong muncul. “Ada orang buat keripik manual. Saya lalu beli  peralatannya,” cerita Muhdi. Ia membeli alat potong Rp 120.000, wajan Rp 75.000, dan alat penampi Rp 15.000. Ia bawa peralatan itu ke Medan. Sesampai di Medan, ia langsung membeli singkong 5 kilogram di pasar dan minyak goreng 2 kilogram untuk
praktik membuat keripik. Ternyata keripiknya tenggelam dalam minyak. Esoknya ia beli singkong ke petani, dengan asumsi kualitas singkong lebih baik. Eh, sama saja, keripik tenggelam di dalam minyak.

Usut punya usut, ternyata api kurang besar, sementara wajan kebesaran. Ber kali-kali dicoba, baru ketemu formula pas, antara banyaknya minyak, besarnya api, panas minyak, dan besarnya wajan. Wajan yang ia beli dari Magelang ternyata kebesaran sehingga ia perlu mengganti wajan dari tukang pisang yang membantu ia menemukan formula pas untuk menggoreng keripik. Akhir tahun 1999, produksinya membutuhkan 100 kilogram singkong per hari dan proses menggoreng nonstop hingga malam hari. Masyarakat sekitar mulal terusik dengan aktivitas produksi keripiknya, terutama karena limbah singkong. Ia pun pindah ke kawasan Medan Tuntungan di pinggĂ­r kota. “Saya sewa rumah yang kata orang berhantu Rp900.000 untuk tiga tahun,” katanya. Kebetulan air di kawasan itu bagus.

Ia membuat dapur dan mulai berproduksi lagi. Ia memanggil lima orang tetangganya di Tuntungan untuk bekerja kepadanya. Produksi terus  meningkat, dari 150 kg per hari menjadi 0,5 ton, kemudian 1 ton per hari. Tenaga kerja meningkat menjadi 15 orang.

Tahun 2002, pemilik rumah hendak menjual tanah dan rumah sewanya di Jalan Tunas Mekar, Tuntungan II, Pancur Batu, Medan. Ia pun mencari  pinjaman bank untuk membeli rumah dan tanah itu. Sementara itu, produksi meningkat menjadi 2 ton per hari. Pada tahun itu, ia juga mengikuti pelatihan di Dinas Perindustrian dan Perdagangin Kota Medan, dan mulai mendaftarkan produknya ke dinas kesehatan dan memberi merek “Kreasi Lutfi”, mengambil nama anaknya. Ia juga mulai membuat keripik aneka rasa. Produksi sempat berhenti total selama tiga bulan pada 2004 karena para penjualnya lari. Se1uruh produk dibawa penjual sehingga ia menjual kendaraan operasional untuk menutup utang. Utang bank pun tak terbayar.

Ia memulai lagi menggoreng keripik dengan modal Rp 1,1 juta. Jadilah 200 bal keripik. Ia meminta salah satu mantan penjualnya untuk menjadi  distributor. Mulai dari situ bisnisnya kembali menanjak dan sejak tahun 2005 ia memproduksi 4 ton singkong setiap hari Ia juga melebarkan sayap ke bisnis gaplek, mengolah kulit ubi menjadi makanan ternak.

Kini ia tengah menjajaki bisnis opak dan pembuatan tepung singkong agar bisa menggantikan tepung terigu. Total karyawannya 75 orang Awal tahun ini ia mulai mengekspor keripiknya ke Korea Selatan. Dua minggu sekali ia mengirim satu kontainer kenipik singkong ke Korea Selatan. Satu kontainer berisi 2.566 kotak keripik. Satu kotak berisi 2,6 kg keripik. \ ”Ini khusus untuk diameter singkong 5,7 cm,” kata dia.

Muhdi, yang selalu tampil sederhana itu, mengatakan, semua itu dimulai dari kepepet (terjepit). Ia mengatakan bahwa ilmunya sederhana saja,  yakni menyelaraskan otak, otot, dan omong, membuat produknya mutu, mudah, dan murah, serta bekerja dengan senang,santal, tetapi selesai. Begituiah Muhdi,yang menyelesaikan kuliahnya di  Institut Agama Islam Negeri Sumut, dengan harapan bisa mengajar di Medan. Namun, malah jadi pengusaha keripik.

Sumber: hariankompas

Ngurah Umum Pengusaha Patung The Duck Man of Bali

Putus sekolah bukanlah halangan untuk dapat berkarya dan berkreasi memproduksi barang bernilai seni tinggi hingga banyak disukai konsumen. Setidaknya itulah yang dialami oleh Ngurah Umum, seorang pengrajin patung kayu yang kini lebih dikenal dengan kerajinan patung bebeknya dengan merek atau julukan the Duck Man of Bali.

Mengenyam pendidikan hanya sampai jenjang SMP, Ngurah Umum yang putus sekolah pada tahun 1972 mencoba mencari pekerjaan dengan melamar ke sejumlah tempat. Namun selama beberapa tahun mencoba mencari pekerjaan, tidak ada satu tempat kerja pun yang mau menerimanya. Padahal ketika masih kecil Ngurah Umum bercita-cita ingin menjadi guide bagi para turis asing. Cita-cita itu pun terpaksa dia tanggalkan karena latar belakang pendidikannya yang tidak menunjang.

Setelah 7 tahun tanpa pekerjaan tetap, pada tahun 1979 pria kelahiran tahun 1955 ini akhirnya diterima bekerja sebagai pramuniaga di Tantra Gallery, Denpasar. Ketika bertugas di Tantra Gallery, pada tahun 1980, secara kebetulan Ngurah Umum bertemu dengan Joop Ave yang ketika itu masih menjabat sebagai Dirjen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Parpostel). Dalam pertemuan itu Joop Ave membawa contoh patung bebek dari Filipina dan menantang Ngurah Umum untuk dapat membuatnya.

Karena merasa tertantang oleh tawaran pak Joop Ave, saya mencoba dan berusaha sebisa mungkin untuk membuat patung bebek yang persis sama dengan contoh patung bebek yang di bawa beliau dan ternyata saya berhasil. Akhirnya pak Joop Ave meminta dengan hormat kepada pak Tantra agar mengizinkan saya berhenti bekerja supaya bisa memfokuskan diri membuat patung bebek, kenangnya.

Sejak saat itu, Ngurah Umum pun memfokuskan perhatiannya dalam kegiatan pembuatan patung bebek dengan berbagai sentuhan seni dan teknik pembuatan (khususnya teknik finishing) yang dikembangkan oleh Ngurah Umum sendiri.

Untuk pertama kalinya, pada tahun 1982 kerajinan patung bebek Ngurah Umum dipamerkan di sebuah hotel yang baru dibuka di Bali, yaitu Hotel Nusa Dua Beach. Di luar dugaan, dalam waktu sekejap seluruh barang sudah habis laku terjual. Bahkan, sebelum pameran selesai, seluruh barang sudah terjual habis.

Masih pada tahun 1982 Ngurah Umum mengikuti pameran di Saudi Arabia yang disponsori oleh Departemen Periwisata, Hotel Bali Beach dan Hotel Borobudur. Secara rutin ia mengikuti kegiatan pameran di Saudi Arabia tersebut sampai tahun 1986.

Pada tahun 1984 Ngurah Umum juga mengikuti pameran di Hotel Kartika Chandra, Jakarta dan seluruh barang sebanyak dua peti habis terjual diborong oleh dua orang pembeli. Sejak saat itu, dia banyak mendapatkan fasilitas pameran secara gratis di Jakarta.

Nama the Duck Man of Bali sendiri sebetulnya ditemukannya secara tidak sengaja. Bahkan, julukan the Duck Man of Bali itu juga bukan Ngurah Umum sendiri yang membuatnya. Nama atau julukan the Duck Man of Bali ditemukan Ngurah Umum dalam sebuah terbitan majalah in-flight magazine Garuda. Ketika itu, tahun 1985, Ngurah Umum sedang dalam perjalanan dengan pesawat Garuda dari Denpasar menuju Jakarta dan secara tidak sengaja membaca in-flight magazine Garuda. Dalam salah satu artikelnya terdapat tulisan tentang Ngurah Umum the Duck Man of Bali. Artikel tulisan itu memberikan inspirasi kepada Ngurah Umum untuk memberi nama usaha kerajinan patung bebeknya dengan nama The Duck Man of Bali.

Secara tidak langsung kegiatan usaha kerajinan patung bebek Ngurah Umum juga turut terdongkrak popularitasnya karena secara tidak sengaja turut dipromosikan oleh kalangan pejabat dan petinggi negara ketika itu. Promosi dimaksud bukanlah promosi melalui media massa seperti koran, majalah atau televisi, tetapi karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat dan petinggi negara ketika itu.

Pada tahun 1986 misalnya, Presiden Soeharto sekeluarga berkunjung ke bengkel kerja yang sekaligus berfungsi sebagai galeri milik Ngurah Umum. Keluarga Cendana membeli banyak sekali patung bebek buatannya. Sejak saat itu banyak pejabat negara yang secara rutin berkunjung ke bengkel kerja/galeri Ngurah Umum. Bahkan, tamu negara seperti Presiden Kazakhstan dan para kepala negara ASEAN juga pernah bertandang ke galeri Ngurah Umum.

Produk patung bebek yang khas dan indah, kaya akan nilai seni buatan Ngurah Umum ternyata menjadi trend setter dalam kegiatan industri kerajinan patung di tanah air. Sejak patung bebek buatan Ngurah Umum mulai dikenal masyarakat pecinta barang seni, banyak pematung yang mengikuti jejaknya memproduksi patung bebek. Namun Ngurah tetap setia dengan kegiatan usahanya dan salah satu kiatnya yang paling utama dalam menghadapi persaingan yang makin ketat tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas dan desain produknya secara terus menerus.

Produk patung bebek kami memang berbeda dengan patung bebek buatan pematung lainnya sehingga di pasaran, produk kami ini termasuk produk yang langka. Memang pematung banyak tapi yang bisa memproduksi patung bebek yang khas dan antik tidak banyak. Bentuk patung bebek yang kami buat juga sangat spesifik dan tidak ada duanya, kata Ngurah Umum.

Sentuhan finishing yang sangat kuat namun sangat halus menjadikan produk patung bebek produksi Ngurah Umum memiliki karakter yang sangat kuat dan kaya akan nilai seni. Setiap orang yang kebetulan melihat patung karya Ngurah Umum pasti akan tertarik untuk menikmati keindahannya.

Ngurah Umum menggunakan kayu Albisia, Jemponis dan suar sebagai bahan baku utama pembuatan patung bebek, sedangkan untuk alas atau tatakan patung, Ngurah Umum biasanya menggunakan kayu Kamboja Bali sebagai bahan baku utamanya.

Ukuran patung bebek yang diproduksi Ngurah Umum sangat bervariasi mulai dari patung bebek berukuran kecil sampai besar. Ada patung bebek yang dibuat dengan ukuran 20 cm, tapi ada juga patung bebek yang dibuat dengan ukuran sampai 2 meter tingginya. Harga jual patung bebek yang dipatok Ngurah Umum pun bervariasi mulai dari Rp 75.000 per unit sampai dengan puluhan juta rupiah per unit.

Sumber : majalahkina

Syahrial Yusuf, Sukses Lewat Lembaga Pendidikan LP3I dengan Puluhan Cabang Kampus

Menjalani panggilan hidup sebagai seorang entrepreneur, seringkali merupakan bentuk dari tanggung jawab moral seorang pengusaha di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Terlebih lagi bagi entrepreneur yang bergerak di bidang pendidikan. Selain faktor bisnis, tentu saja mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan tenaga kerja yang siap diserap oleh beragam industri, atau mendidik calon-calon entrepreneur muda untuk siap berbisnis.

Hal itulah yang kemudian mendorong Syahrial Yusuf untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan LP3I, yang menfokuskan diri untuk menciptakan lulusan yang terampil, siap kerja, atau siap menjadi seorang entrepreneur. Kini, LP3I telah melebarkan sayap dengan memiliki 48 lokasi kampus di seluruh Indonesia. Pencapaiannya pun terbilang sangat baik, yaitu dengan mencetak 95% lulusan yang langsung mendapatkan tempat untuk bekerja. LP3I pun makin mengukuhkan diri sebagai lembaga pendidikan yang sejak tahun 1995, konsisten menjaminkan lapangan pekerjaan kepada para siswanya.

Sebagai seorang entrepreneur yang kini telah sukses, Syahrial Yusuf banyak belajar dari pengalaman hidupnya sebagai mahasiswa rantau yang harus mencari biaya kuliahnya sendiri. Pria asal Medan, Sumatra Utara, yang merupakan alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, ini mengaku harus kuliah sambil kerja demi memenuhi kebutuhannya di Bandung. Dari sanalah, Syahrial mulai mengenal sistem manajemen dalam sebuah perusahaan.

“Saya memulai bekerja saat kuliah, sebagai tenaga serabutan di sebuah bengkel. Lalu karena potensi saya, karir saya disana cukup baik. Dua bulan saya jadi staf pembukuan, lalu kabag pembukuan, dan tak lama saya jadi direktur keuangan. Jadi dalam waktu 8 bulan, saya sudah menjadi wakil direktur yang membawahi 40-an karyawan. Itu membuat saya percaya diri karena waktu itu usia saya baru 19 tahun,” kenang Syahrial saat berbincang dengan Ciputraentrepreneurship.com, di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Setelah satu tahun bekerja, Syahrial mulai tertarik untuk mengembangkan relasi di dunia kemahasiswaan dengan terjun menjadi seorang aktifis di salah satu badan kemahasiswaan. Di sanalah Syahrial mulai menemukan jati diri dan idealismenya, khususnya di bidang pendidikan. Ia melihat, potensi besar mahasiswa saat itu kurang bisa diwadahi oleh pemerintah, sehingga munculah pengangguran dalam jumlah yang signifikan. Dari sanalah ia mulai bertekad untuk menjadi seorang entrepreneur.

Langkah awal yang dipilih Syahrial untuk menjadi seorang entrepreneur adalah dengan mengelola unit koperasi mahasiswa (Kopma) yang ada di kampusnya. Dengan berstatus mahasiswa UNPAD, Syahrial pun mulai mengembangkan potensi ekonomi Mandiri di lingkungan kampus.

“Saat mengurusi Kopma Unpad, saya memperbaiki system yang ada saat itu hingga akhirnya sedikit demi sedikit, Kopma Unpad mulai menghasilkan untung. Dengan lobi yang saya lakukan saat itu, sayapun menjalankan berbagai bisnis, mulai dari penyediaan toga untuk wisudawan, fotocopy, jaket Unpad, hingga mendirikan lembaga pendidikan komputer. Jumlah karyawan yang saya rekrut pun hingga 30-an orang. Dalam waktu 1 tahun, waktu itu Kopma Unpad menghasilkan keuntungan hingga Rp 25 juta,” ujar Syahrial.

Sebagai seorang mahasiswa, Syahrial melihat bisnis yang ia jalankan adalah bentuk dari protesnya terhadap pemerintah yang ia anggap tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi sarjana. Ia pun menilai bahwa kurikulum yang ada saat itu tidak dilengkapi dengan soft skill, atau juga ilmu kewirausahaan yang bisa membuat para calon sarjana bisa Mandiri berusaha.

Yakin dengan jalan hidupnya sebagai seorang entrepreneur, Syahrial pun memilih jalur bisnis pendidikan sebagai peluang usaha. Dengan mengusung idealisme yang tinggi dalam mengurangi pengangguran, Syahrial pun fokus untuk mendidik SDM yang terampil dan siap bekerja. Pada tahun 1989 ia pun mendirikan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I), dan mengandalkan kurikulum yang disesuaikan dengan lapangan kerja (link and match antara dunia pendidikan dan usaha di Indonesia).

Di tiga tahun awal berdirinya LP3I, Syahrial melewati jalan terjal dalam membangun usaha pendidikannya. Ia mengaku terlalu fokus menjalankan idialismenya dalam mencetak lulusan yang berkwalitas, dan melupakan faktor bisnis yang merupakan tulang punggung penyangga idealismenya.

“Awalnya saya terlalu idealis menjalankan bisnis saya. Saya tak terlalu mengejar profit. Hal itu membuat saya kadang kesulitan untuk membayar karyawan saya. Tak jarang saya pun harus meminjam uang dari kerabat saya, agar bisa mempertahankan lembaga pendidikan ini. Setelah memasuki tahun ke-4, saya pun sadar jika bisnis pendidikan ini harus juga mendatangkan profit yang baik agar kualitas pendidikan yang kami berikan juga baik. Saya pun mulai dengan membangun cabang, dan cari mitra yang bisa memberikan modal,” jelas Syahrial.

Setelah lebih dari 20 tahun terkenal sebagai lembaga pendidikan penyedia tenaga terampil yang siap kerja, kini LP3I mulai serius membidik sektor entrepreneurship dengan proporsi target lulusan, 30% menjadi pengusaha dan 70% menjadi tenaga terampil. Untuk mencapai target tersebut, LP3I kini mulai mengembangkan beragam laboratorium (inkubator) usaha dan mempererat relasi di dunia kewirausahaan.
Atas pencapaiannya, beragam penghargaan pun telah diperoleh. Namun, bagi Syahrial kebanggaan terbesar adalah saat ia melihat anak didiknya menjadi orang yang sukses, baik sebagai pengusaha atau sebagai karyawan. Sebuah ibadah, yang tulus dijalankan lewat pengabdiannya sebagai seorang pendidik.

“Saya pernah punya murid, dia sarjan kami, yang lulus dan menjadi pegawai di Bank Indonesia. Dari ratusan pelamar dari beragam universitas yang terkenal, murid saya bisa lolos menjadi pegawai. Yang membuat saya terkesan adalah latar belakang murid saya yang datang dari keluarga yang kurang mampu. Dari enam ribu pelamar, hanya enam puluh yang diterima,” ujar Syahrial sambil tersenyum.

sumber: ciputraentrepreneurship.com

Kiat Sukses Kantongi Omzet Jutaan Dari Sampah Pinggir Laut

Novie Indah Husniah tak pernah menyangka kesehariannya berdekatan dengan limbah sisik ikan, yang mengotori pinggiran laut dan kawasan perlelangan ikan di Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi awal keberhasilannya meraih penghargaan entrepreneur terbaik.

Perempuan muda (26) ini adalah satu di antara 18 finalis Citi Micro-Entrepreneurship Award (CMA) 2010. Atas dukungan Thowilah, pembinanya dari koperasi Al Mubarokah, Tanggulangin, Sidoarjo, Novie berhasil mengembangkan usaha kerajinan bros sisik ikan sejak 2008. Tak hanya itu, motivasi dan pengetahuan yang didapatnya sejak bergabung di koperasi pada 2009 lalu juga menguatkan semangat wirausahanya, hingga akhirnya terpilih menjadi finalis CMA 2010 mewakili Sidoarjo.

“Dari enam jenis usaha yang saya ajukan, hanya produk bros sisik ikan ini yang disurvei pihak penyelenggara dan berhasil terpilih sebagai finalis,” kata Thowilah kepada Kompas Female, usai penganugerahan CMA 2010 di Hotel Millenium Jakarta, beberapa waktu lalu.

Keunikan produk, inovasi bisnis menyegarkan dari limbah ikan segar, motivasi membangun usaha, dan membuka lapangan pekerjaan membawa Novie ke ajang penghargaan yang memasuki tahun keenam ini. Novie tak pernah menduga, ia pun berhasil meraih gelar juara pertama untuk kategori kerajinan CMA 2010. Atas prestasinya ini, Novie berhak membawa pulang hadiah senilai Rp 11 juta.

“Rasanya masih tak percaya berhasil menerima penghargaan dan hadiah ini. Tetapi menang bagi saya bukan untuk berdiam diri, namun justru mendapatkan tanggung jawab. Hadiah ini juga bukan untuk menyenangkan diri sendiri tetapi untuk mengembangkan usaha yang sudah ada,” tutur Novie yang merasa “diberi” hadiah istimewa menjelang ulang tahunnya yang ke-26, tepat pada 11 November, sehari setelah menerima penghargaan CMA 2010.

Bermodalkan kreativitas dan dukungan moral, Limbah sisik ikan berkelimpahan dan berserakan di kawasan perlelangan ikan, Desa Pepe, Sedati, Sidoarjo. Artinya, bahan baku kerajinan bros yang dibuat Novie tak akan habis dan sangat berpotensi diperbarui. Apalagi, kata Novie, sisik ikan yang berpotensi dijadikan bros berasal dari ikan kakap yang selalu dibawa pulang nelayan dari laut setiap hari. “Ikan kakap laut tak bergantung pada musim, jadi setiap hari nelayan pasti menangkap ikan kakap,” papar Novie.

Bahan baku yang melimpah menjadi berkah jika dilihat dengan cara kreatif seperti yang dilakukan Novie. Awalnya, kisah Novie, ia menginjak hamparan limbah sisik ikan yang mengotori pinggir pantai. Sisik ikan berukuran 3 cm ini berwarna putih, berlendir dan berbau amnis. Sekilas mirip kelopak bunga, dalam pandangan Novie. Dari situlah ia membawa pulang satu karung sisik ikan dan diubahnya menjadi benda cantik bernilai ekonomi yang dikenakan perempuan sebagai penghias pakaian.

“Awalnya sempat meragu apakah ide saya bisa berjalan atau tidak ke depannya. Apalagi produksi satu hari hanya menghasilkan satu bros pada tahap awalnya. Lebih tidak percaya diri lagi karena barang ini baru dan belum ada di pasaran. Khawatir nantinya susah mencari pasar. Namun, saya tetap mencoba meski seringkali gagal membuat bros yang saya inginkan,” tutur Novie.

Meski sempat merasa tak percaya diri, Novie tak menyerah dan terus mencari solusi. Berkonsultasi dan memperkaya diri dengan berbagai ilmu kerajinan melalui buku maupun internet adalah cara yang dipilihnya. Sarjana Pendidikan dari Fakultas Teknik Jurusan Pendidikan Tata Busana Universitas Negeri Surabaya ini juga berdiskusi dengan dosen mengenai  niatnya membangun usaha bros dari sisik ikan kakap.  “Menjadi pengusaha pemula membutuhkan motivasi dari orang lain. Dukungan dan dorongan dari dosen saya membuat saya lebih bersemangat dan percaya diri mengenalkan produk bros sisik ikan ini,” aku Novie.

Dalam satu tahun, bisnis kerajinan bros sisik ikan milik Novie mengalami kemajuan baik dari produksi maupun manajemen bisnis dan pengrajin. Usaha Novie yang menggunakan merek Vay Craft berhasil memproduksi sekitar 40 bros setiap bulan dengan modal awal Rp 1,3 juta. Novie mempekerjakan lima karyawan tetap yang menyelesaikan produksi di rumah masing-masing.  “Karyawan lebih efektif jika bekerja di rumah daripada dikumpulkan di satu tempat. Hasil produksi mereka lebih banyak jika bekerja dari rumah,” kata Novie.

Satu tahun kemudian, setelah bergabung di koperasi Al Mubarokah, Novie mampu meningkatkan produksi dua kali lipat (80 bros per bulan) dengan bantuan tambahan modal Rp 1 juta. Kekhawatiran Novie saat awal hendak memulai usaha, terkait pasar, juga terbantahkan. Vay Craft mendapatkan langganan yang kebanyakan adalah perias pengantin. Produk bros sisik ikan Novie juga berkembang menjadi hiasan rambut untuk sanggul pengantin. Pelanggan lain yang berhasil digaet Novie adalah toko suvenir dan kerajinan di Sidoarjo dan Surabaya.  Dengan mematok harga jual Rp 25.000 – Rp 35.000, Novie berhasil meraup omzet senilai Rp 5 juta. Keuntungan bersih yang dinikmatinya sekitar Rp 1,5 juta.

Ekspansi pasar bermodalkan hadiah , Kini, setelah berprestasi mendapatkan penghargaan dan uang sebagai hadiah kerja kerasnya, Novie semakin bersemangat mengembangkan bisnisnya.  Memperluas pasar ke kota yang menjadi destinasi wisata, seperti Yogyakarta dan Bali, adalah target utama Sovie. Caranya, bisa dengan membangun keagenan atau menitip di toko suvenir.  “Masih dipikirkan cara dan peluang pasarnya,” akunya.

Selanjutnya, pengembangan desain dan variasi produk adalah ide lain yang ingin segera diwujudkan Novie sepulang menerima penghargaan CMA 2010.  “Mungkin juga merekrut pekerja lagi, menjadi total 10 orang. Dengan begitu, saya bisa meningkatkan produksi dua kali lipat sekitar 160 bros per bulan. Kalau sudah baik produksinya, saya berani memenuhi permintaan dalam jumlah banyak,” Novie menjelaskan berbagai rencananya penuh semangat.


Sumber : kompas.com

Loper Koran, Kini Beromzet Miliaran

Meraih kesuksesan bisnis bisa lewat banyak cara. Salah satunya aksi nekat seperti yang dilakukan Andika Lubis. Tanpa bekal, ia pergi ke Amerika Serikat. Kini perusahaan yang dia bangun sukses besar mencatat omzet hingga Rp 400 juta per bulan.

Banyak pengusaha yang sukses meski tanpa modal besar. Salah satunya adalah Andika Rama Lubis. Pria lulusan Arsitektur Institut Teknologi Nasional Bandung ini lebih banyak memulai bisnisnya dengan modal nekat. Toh, kenekatan itu menggiringnya menjadi pengusaha muda beromzet Rp 5 miliar per tahun.

Saat ini, lewat bendera Eprodeco, Andika berhasil menjadi dekorator tepercaya sejumlah pengelola mal besar di Jakarta. Kliennya mulai dari Plaza Indonesia, sampai perusahaan besar macam Panasonic dan XL Axiata. Satu proyek dekorasi bisa bernilai hingga Rp 300 juta.

Tak hanya dekorasi, lewat induk usaha PT Andrafa Abiatama, Andika juga menyediakan one stop shopping desain kreatif, printing, merchandise, dekorasi, dan event organizer. Sejak pertama kali didirikan pada 2008, klien Andrafa sudah mencapai ratusan perusahaan. Kebanyakan mereka memanfaatkan jasa Andrafa pada acara peluncuran produk.

Dari kecil, Andika yang lahir di Kinabalu, pada 18 September 1974, memang pekerja keras. Ayah ibunya selalu menekankan untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. “Kalau mau mainan, saya harus beli sendiri dari hasil tabungan, ditambah uang ayah sedikit,” kenang Dika, begitu ia disapa.

Demikian pula saat kuliah. Lantaran usaha ayahnya di bidang desain interior bangkrut terimbas krisis moneter pada 1998, Dika harus pontang-panting mencari biaya tambahan kuliah dengan bekerja serabutan. Beruntung, kala itu Citibank menawarkan program kartu kredit untuk mahasiswa. Ia menjadi agen penjualnya. Keuntungannya lumayan. “Bisa buat nambah-nambah uang kuliah,” ujarnya. Prinsip kerja keras itu menempa Dika menjadi tidak mudah menyerah dan berani mengejar mimpi. Selulus kuliah, ia sempat bekerja di satu perusahaan. Tapi, tak seberapa lama, ia memutuskan mundur lantaran ingin ingin menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman kerja di Amerika Serikat (AS).

Dengan bermodal pinjaman dari sang nenek sebesar Rp 10 juta untuk membeli tiket, Andika nekat pergi ke AS. Padahal, saat itu situasi tengah genting setelah terjadi tragedi WTC 11/9. Beruntung, ia lolos di pembuatan visa turis sampai administrasi di bandara. Karena hanya berbekal uang 100 dollar AS dari pamannya, ia terpaksa tidak makan saat pesawat transit di Singapura dan Jepang.

Sesampai di AS, Dika menyambangi tantenya untuk menumpang hidup. Lantaran hanya menumpang, ia tak berani meminta uang lebih. Ia memutuskan mencari pekerjaan. Peluang termudah adalah menjadi loper koran. Kebetulan, ada seorang loper koran dekat tempat tinggal tantenya mempercayakan pekerjaannya ke Dika. Saban dini hari, Dika mengantarkan koran dengan meminjam mobil sang tante. Upah mengantar koran lumayan. Dalam dua minggu, ia mendapatkan bayaran 1.500 dollar AS. Tak sampai dua bulan, ia bisa bayar utang ke neneknya.

Hidup Dika juga banyak ditopang oleh belas kasih orang lain. Selama belum memiliki visa kerja, ia ditolong seorang warga China-Amerika. “Saya menggunakan ID dia selama bekerja,” ujarnya. 

Tidur cuma dua jam, Singkat cerita, Dika mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa pelajar. Ia ingin kuliah di universitas swasta di bidang manajemen bisnis. Tak disangka, ia diterima. Sembari kuliah, Dika menambah jam kerjanya dengan menjadi penjaga toko, mulai dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Ia tidur selama dua jam, lantas mulai pukukl 24.00 hingga pukul 06.00 mulai mengantar koran. Ia melanjutkan waktunya untuk kuliah mulai pukul 7.00 pagi sampai pukul 13.00 siang. “Saya melakukan rutinitas itu selama empat tahun,” ujar Dika.

Pada tahun 2003, ada kabar duka datang dari Indonesia. Ayahnya meninggal dunia karena sakit. Ibunya memanggil pulang Dika. Ia harus menggantikan sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Dengan berat hati, Dika meninggalkan bangku kuliah dan memulai usaha dari nol di Indonesia. Usaha pertamanya adalah membangun creative design dan event organizer bersama seorang teman. Usaha itu sempat sukses dan berhasil membukukan omzet hingga Rp 2 miliar per tahun. Sayang, lantaran ada konflik internal, Dika memutuskan keluar.

Bermodal uang tabungan, bersama sang istri, Rany Fauziah Pospos, yang dinikahinya pada tahun 2005, Dika membangun usaha tandingan. Lewat bendera Andrafa Abiatama, ia mulai mendapatkan aneka proyek. “Pertama, saya dipercaya Panasonic menyediakan aneka merchandise dan produkprinting,” kata Dika.
Dika juga menggarap dekorasi mal dan interior apartemen. Sejumlah apartemen di Jakarta pernah mendapat sentuhan desain Andika. Kini, ia tengah bernegosiasi membangun dekorasi panggung acara sirkus. “Nilainya mencapai Rp 700 juta karena panggungnya harus kuat dinaiki gajah,” kata Dika.

Sumber : usahasatriamandala.blogspot.com

Karmono, dengan Jambu Merah Delima Tembus Swalayan

Karmono, mantan guru sekolah dasar, berusaha menyekolahkan keempat anaknya hingga bangku kuliah lewat budidaya buah, khususnya jambu merah delima, di Demak, Jawa Tengah. 

 Alih-alih berbekal pengalaman dan keahlian, usaha budidaya buah Karmono justru didorong oleh kebutuhan untuk menyekolahkan keempat anaknya. Pensiunan guru sekolah dasar dari Demak, Jawa Tengah ini kini berhasil membudidayakan sejumlah buah yakni jambu merah delima, jambu citra, jambu hijau dan belimbing Demak.

Sebenarnya, ia bukan penemu laiknya Albert Einstein. Waktu itu, ia hanya membeli empat bibit jambu air dari Desa Krapyak, Kabupaten Demak. Karmono pun mencoba untuk menanamnya pada tahun 1986. "Jambu hanya ditanam di depan rumah saja (di Desa Krapyak pada waktu itu)," ujar Karmono kepada Kompas.com, Minggu (13/11/2011).

"Alhamdullilah, selang beberapa tahun memang jambu itu adalah favorit. Hasilnya bagus, sehingga kurang lebih tahun-tahun berikut itu jadi hasil yang maksimal," tambah dia.

Jambu tersebut terkenal dengan warnanya yang merah, tebal, manis, dan berbentuk oval. Belakangan, jambu ini dikenal sebagai jambu merah delima. Apa makna dari nama jambu itu? Disebut merah karena berkaitan dengan warna jambunya. Sedangkan delima singkatan dari kandel (tebal) dan lima. Delima juga mempunyai arti lain yakni Kandel Iling Marang Allah, atau rasa ingat yang tebal kepada Allah. Maksud arti tersebut, ada harapan agar warga Demak semakin tinggi ketakwaannya kepada Tuhan. Ia pun mengatakan, waktu tumbuh bibit jambu itu menjadi pohon dan menghasilkan buah ada sekitar 2,5 tahun. Selama satu tahun, terang dia, panen bisa dilakukan 2-3 kali. Satu pohon besar bisa menghasilkan jambu sebanyak tiga keranjang yang berukuran minimal 60 kilogram. Sementara, pohon yang kecil hanya menghasilkan satu keranjang. Harga per kilogram bisa mencapai Rp 10.000 jika musim panen sedang bagus.

Saat ini, ia mempunyai dua lahan besar. Satu lahan yang berukuran 77 x 22 meter persegi ada 32 buah pohon jambu, dan lahan lainnya yakni seluas 10 x 63 meter persegi, sudah ada 12 pohon jambu. Sebagian besar diisi oleh jambu merah delima. Waktu pertama kali menanam dengan jumlah pohon jambu sebanyak 4 buah, ia berhasil mendapatkan hasil panen sebesar Rp 670.000.

Pendapatannya ini pun digunakan sebagai biaya sekolah anak-anaknya. "(Saya) memang berupaya untuk menambah penghasilan karena penghasilan guru SD tidak seberapa seperti sekarang," ucap Karmono yang juga beristrikan seorang guru SD.

Sebenarnya, jambu ini bukan budidaya buah yang pertama kali dilakukannya. Sebelum menanam ini, Karmono membudidayakan buah belimbing. Ia pun masih melakukannya hingga saat ini. Tetapi dalam jumlah kecil dibandingkan jambu merah delimanya. Alasannya, penghasilan dari belimbing lebih kecil ketimbang jambu.

Usaha budidayanya tidak hanya semata menghasilkan buah saja. Warga sekitar tempat tinggalnya pun mulai melirik budidaya buah tersebut seiring dengan keberhasilan Karmono. Ia pun mulai untuk mencangkok untuk memenuhi permintaan masyarakat sekitar. Bahkan bukan hanya dari wilayah tempat tinggalnya saja, banyak masyarakat yang datang dari Pati, Kudus, hingga Semarang untuk mendapatkan bibit atau cangkokan jambu itu. "Akhirnya saya buatkan cangkok-cangkok," ucap dia.

Bahkan, ia berujar, seolah-olah tidak ada tanah yang terlewat untuk ditanami jambu merah delima tersebut di tempat tinggalnya yakni sekitar Kelurahan Betokan. Bahkan, cangkokan jambu ini tidak hanya diminta oleh daerah sekitar Demak saja. Permintaan bisa dibilang merata di seluruh Pulau Jawa. "Dan, juga saya pernah kirim cangkok jambu itu sampai ke Kalimantan sampai 1 truk," sebut dia.

Saat ini, ia pun sedang mempersiapkan sebanyak 800 cangkok jambu tersebut bagi siapa saja yang mau membelinya.  Selain itu, ia sebenarnya sempat merintis berdirinya koperasi yang juga bernama Merah Delima. Namun, koperasinya tidak berjalan lancar karena masalah kepengurusan. Koperasi yang sempat beranggotakan 17 orang petani jambu inipun ditutup. "Akhirnya modal kami kembalikan semua," ujar dia.

Permintaan buah dan cangkok jambu merah delima ini terus mengalir hingga kini. Pemasaran jambu ini pun sampai ke swalayan-swalayan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Purwakerto. Namun, ia enggan menyebutkan berapa omzet yang ia dapat dari usaha budidaya ini dengan alasan belum menghitung secara rinci. Tetapi jika mengalikan jumlah pohon dengan rata-rata hasil panen yakni, misalkan saja, 40 pohon x 1 keranjang x 60 kilogram x Rp 10.000 per kilogram maka Karmono bisa mendapatkan Rp 24 juta. Itu perkiraan pendapatan dengan asumsi panen dari pohon kecil yang disebutnya hanya menghasilkan satu keranjang. Jika pohon besar dengan hasil 3 keranjang maka ia bisa mendapatkan tiga kali lipat dari jumlah tersebut. Pendapatan ini belum termasuk budidaya buah lainnya, bibit, dan cangkok.

Usahanya mengembangbiakkan jambu ini terus dikembangkannya, sampai-sampai ia yang baru saja menerima penghargaan dari Danamon sebagai pejuang kesejahteraan, berusaha agar pohon jambu bisa juga ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan masyarakat. Atas kegigihannya ini, Karmono juga mendapat penghargaan lainnya seperti di tingkat kabupaten.

Ia pun bercerita bahwa dirinya hampir saja terbang ke Mekkah untuk mengenalkan jambunya. Itu terjadi sekitar tahun 1995. Karmono mengaku, ia diajak oleh Dinas Pertanian Demak. Namun, ajakan ini gagal terealisasi karena adanya hambatan dana. "Waktu itu saya sudah siap-siap. Buat gambar di atas plastik. Itu yang nanti pakai OHP (Over Head Projector)," ujarnya.

Usaha budidaya jambunya ini pun berkembang ke varietas lain, yakni jambu citra dan jambu hijau. Jambu citra ini bentuknya seperti jambut mete tanpa ukiran. "Kalau dipijar itu mesti bersuara," ucap dia.

"Kami lanjutkan budidaya inovasi ini sehingga berguna untuk warga kami sendiri juga untuk warga lingkungan masyarakat," tegas dia. Ke depan, ia pun berencana untuk menambah luas lahannya dan kemungkinan untuk mengembangkan varietas buah lainnya. Usaha yang dilakukannya Karmono ini tidak sia-sia. Buktinya, ia berhasil mengantarkan keempat anaknya mengenyam bangku kuliah. "Hanya satu yang tidak selesai (kuliah) karena diajak pakde-nya bekerja. Waktu lagi skripsi. Mungkin karena enak dapat duit jadi nggak mau nerusin lagi," ungkap dia yang sudah pensiun sejak tahun 2007. Namun demikian, anak-anaknya belum ada yang mau meneruskan usaha ayahnya ini.

Sumber : usahasatriamandala.blogspot.com

Bisnis Kripik Kentang, Hebohkan Semarang

Kentang adalah jenis umbian yang biasanya dibuat campuran sayur sup, teksturnya yang lunak ketika sudah dimask memang mantap bila menjadi campuran sayur sup khususnya para ibu yang hobinya memasak. Namun beda dengan Dodi Triatmaja, ditanganya kentang disulap menjadi bisnis yang menjanjikan. Kentang yang biasanya bat campuran sup itu dibuatnya menjadi kripik kentang.  Dodi Triatmaja asal Banyumanik, Semarang. Mengusung brand Mas Brow, ia menawarkan enam variasi produk keripik kentang. Diantaranya keripik kentang keju, kentang original, kentang keju pedas, kentang cabe hijau, kentang pedas manis, dan kentang pedas gurih.

Dodi mengklaim, produk keripik kentangnya diproduksi secara alami dengan menggunakan bahan baku kentang asli pilihan sesuai dengan standar mutu. Selain itu, racikan bumbu yang digunakan juga dibuat manual dengan mengedepankan kualitas. "Kami fokus membuat makanan sehat," kataDodi yang merintis usaha ini sejak awal tahun 2012.

Dodi membanderol keripik kentang Mas Brow Rp 14.000 per bungkus untuk kemasan 75 gram, dan Rp 17.000 per bungkus untuk kemasan 100 gram. Untuk memasarkan produknya, Dodi menawarkan kerjasama keagenan. Syarat menjadi agen harus melakukan pembelian produk minimal Rp 960.000 per paket. Dengan biaya sebesar itu, agen akan mendapat 48 bungkus keripik kentang dengan kemasan 75 gram, dan 48 bungkus keripik kentang dengan kemasan 100 gram.

Ia menjanjikan, agen bisa meraih keuntungan hingga 50% dari omzet. Jadi, dari setiap paket senilai Rp 960.000, agen bisa meraup omzet hingga Rp 1,5 juta. Jika agen bisa menjual minimal tujuh paket, maka dalam sebulan agen bisa meraup omzet hingga Rp 10,8 juta, dengan laba bersih sekitar Rp 5,4 juta per bulan.

Saat ini, Mas Brow telah memiliki 24 agen yang tersebar di Palembang, Pekanbaru, Semarang, Solo, Klaten, Pekalongan, Cilacap, Wonosobo, Sleman, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, dan Kalimantan. "Setiap agen bisa menjual tiga paket hingga tujuh paket perbulan," ujarnya. Agar persaingan lebih kompetitif, Mas Brow hanya memiliki satu agen untuk satu kota, kecuali kota besar seperti Jakarta bisa sampai lima agen. Para agen bisa menjual kepada reseller dan langsung kepada konsumen.


Sumber : usahabisnis.com

Gurihnya Bisnis Keripik Tahu Magelang

Karyadi adalah sosok sederhana. Ia berkacamata minus. Ia lebih sering bercelana pendek, bahkan ketika ada tamu ke rumah kontrakan yang dijadikan gudang untuk produknya. Namun, juragan keripik tahu itu sekarang tiap hari akrab dengan laptop dan printer. Peralatan itulah yang digunakan untuk penunjang pekerjaannya selama ini. “Tamu mau pesan keripik tahu,” begitu ujar pria bernama lengkap Karyadi (38), warga Kampung Trunan, Kota Magelang, Jawa Tengah, ini.

Menerima tamu yang memesan produknya sekarang menjadi kesibukan sehari-hari bapak dua anak ini. Setiap hari selalu ada konsumen yang memesan. Kini, hampir di seluruh tempat yang menjual oleh-oleh di Pulau Jawa ada keripik tahu buatannya. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan ketika awal dia merintis usaha ini. Keripik yang diberi nama dari gabungan nama dirinya dan istrinya, Yuli Siswanti-Karyadi (Yuka) ini mulai dirintisnya sejak Oktober 2004. Karyadi dan keluarganya tinggal di Kampung Trunan, asal istrinya. Kampung ini terkenal dengan sentra produksi tahunya. Namun, karena pengolahan dan pemasarannya masih dilakukan tradisional, tahu produksi kampung tersebut tidak begitu dikenal di luar daerah.

Tahu buatan mereka hanya dijual di Pasar Gotong Royong, beberapa meter dari kampung tersebut. Daya tahan tahu ini menjadikan salah satu alasan mereka tidak memasarkan produk mereka ke luar daerah. “Tahu biasanya hanya bertahan selama dua hari, jarak menjadi salah satu pertimbangan untuk pemasarannya,” ujarnya.

Setelah memperlajari seluk-beluk tahu, ia mencoba bereksperimen. Ketika itu, ia habiskan gaji dari sebuah persewaan komputer untuk melakukan uji coba. Selama delapan bulan ia survei di pasar tradisional. “Saya keluar masuk pasar, melakukan survei sendiri,” kata Karyadi. Baru pada bulan ke-13, ia menemukan formula yang cocok. Tahu dibentuk bulat, digoreng, kemudian dipotong dan digoreng lagi dengan bumbu hingga menjadi keripik.

Inovasinya ini tidak langsung disambut baik di pasaran. Bahkan tidak jarang yang ia dicemooh pemilik toko yang akan dititipi. “Ada yang bilang anjingnya pun tidak doyan makan makanan seperti ini,” kata Karyadi mengingat saat-saat sulit memperkenalkan keripik tahunya.

Istri dan keluarganya pun hampir putus asa mendampingi usahanya tersebut karena tidak kunjung laku dan tidak untung dijual. “Saya tetap tidak putus asa. Saya terus melakukan eksperimen sampai benar-benar memperoleh keripik tahu yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat,” katanya. Pada saat bersamaan, dia terjerat utang ke rentenir. Awalnya, ia pinjam uang Rp 4 juta dari rentenir. “Itu saat-saat sulit. Saya tidak pernah bisa mengambalikan utang karena bunganya sangat tinggi, 10 persen per bulan. Saya benar-benar kapok,” kenangnya.

Hingga tahun kedua, usahanya mulai stabil. Pesanan dari luar kota mulai datang sendiri. Setelah itu, istrinya juga mengikuti jejak suaminya, meninggalkan pekerjaan dan fokus pada wirausaha mereka. Namun, saingan baru mulai bermunculan, bahkan berani menjual jauh lebih murah. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota sebagai penemu keripik itu tetap bertahan.

Ia lebih mengoptimalkan manajerial dalam pengelolaan usahanya, sembari bertahan dengan harga dan lebih memaksimalkan kualitas. “Akhrinya banyak produsen yang gulung tikar karena biaya produksi tidak sesuai hasil yang diperoleh,” ujarnya. Keripiknya berhasil bertahan hingga sekarang, bahkan sempat kewalahan menerima pesanan.

Omzetnya kini mencapai Rp 200 juta per bulan. Harga per bal atau 2,5 kg sebesar Rp 64.000  untuk grosir. Harga konsumen Rp 64.000. Usahanya sekarang sudah maju. Dia pun berhasil mendirikan toko untuk memajang produknya dan aneka produk oleh-oleh khas Magelang.

Sedangkan untuk berusaha mencukupi pesanan, dia mendirikan pabrik seluas 200 meter. Ia juga mampu beli mesin pembuat tahu seharga Rp 120 juta. “Insya Allah pabrik tersebut sebentar lagi bisa berproduksi,” terangnya.

Hasil jerih payahnya tersebut juga mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Magelang. Berdasarkan penilaian dan penentuan pemenang penyelenggaraan dan penjaringan kreativitas dan inovasi masyarakat (KREANOVA) tingkat Kota Magelang, pada 25 Agustus 2009, ia mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penemu/pelopor keripik tahu.

Penghargaan itu diberikan langsung Wali Kota Magelang yang saat itu dijabat Fahriyanto. Karyadi pun merasakan gurihnya bisnis keripik tahu.

Sumber : wirasmada.wordpress.com

Kamis, 16 Mei 2013

Sukses Buka 22 Gerai Laundry


Bisnis laundry kini mulai menjamur di berbagai daerah. Usaha yang memberikan jasa cuci pakaian ini semakin diburu oleh sebagian orang demi alasan kepraktisan. Namun siapa sangka inovasi sistem franchise usaha laundry yang awalnya sekedar iseng, membuat Rahajeng Sasi Kirana (32), pemilik Sun Pretty Laundry sukses membuka 22 gerai bisnis laundry-nya di berbagai kota.

Sasi, biasa ia dipanggil pernah bekerja di LBB Primagama Yogyakarta sebagai accounting sekaligus tentor sebelum akhirnya terjun di bisnis laundry. “Dulu waktu saya di Jogja, melihat banyak sekali tempat laundry yang semuanya ramai. Dari situlah berpikir kenapa nggak buka bisnis laundry saja,” kisah Sasi saat ditemui terasolo.com, Senin (1/4/2013).

Sasi Kirana (30) Pemilik Sun Pertty Laundry. Sun Pretty Laundry yang didirikan sejak 2010 saat ini telah berkembang hingga memiliki 22 gerai di berberapa kota di luar Solo. Foto : Novandi K Wardana.

Dengan modal Rp2 juta dan mesin cuci pinjaman dari ibunya akhirnya ia nekat memulai usaha laundry di rumah eyangnya yang terletak di belakang kampus Universitas Slamet Riyadi Solo.

Diawal usaha, Sun Pretty Laundry yang terletak di Jl Kalingga VII No 18 Solo  ini berusaha menarik pelangganya dengan sistem delivery service. Baju kotor diambil dari tempat pelanggan kemudian dibawa ke gerai dan diantar kembali ke pelanggan setelah bersih. “Awalnya, saya ambil sendiri cucian kotor pelanggan dengan motor dan saya taruh di depan. Seringkali karena banyaknya cucian wajah saya sampai tertutup,” kenang wanita yang lahir 28 Oktober 1980 ini sambil tersenyum.

Melihat persaingan bisnis laundry yang cukup ketat, akhirnya Sasi berinisiatif membuka peluang kemitraan untuk bisnisnya tersebut. “Mitra bisnis pertama saya adalah Ibu Zulkarnain dari Makassar. Sekarang setelah berjalan kurang lebih 3 tahun, bersyukur sudah 22 gerai yang buka,” ujarnya bangga. Gerai Sun Pretty Laundry kini tersebar diantaranya di Surabaya, Tulungagung, Semarang, Sragen, Jakarta, Banjarmasin, Makassar, Batam, dan Bali

Sun Pretty laundry yang merupakan usaha jasa di bidang laundry membuka bisnis dengan sistem kemitraan. Foto: Novandi K Wardana.

Menariknya dalam bisnis kemitraan Sun Pretty Laundry ini, Sasi tidak memberlakukan royalty fee. “Semua keuntungan yang diraih mitra, menjadi 100% milik mitra. Ini tentu tentu sangat menguntungkan,” jelas Sasi. Sun Pretty Laundry menawarkan berbagai macam paket franchise antara lain paket cute, charm, smart, dan briliant dengan nilai investasi mulai dari Rp20 juta sampai Rp70 juta.

Sasi mengaku selama ini ia mengandalkan jejaring sosial sebagi media promosinya. “Sekarang twitter, facebook, dan website terbukti ampuh sebagai media promosi. Buktinya, tak hanya di Solo, Sun Pretty Laundry ini juga bisa dikenal di berbagai kota di Indonesia,” aku Sasi menutup wawancara.

Sumber : terasolo.com

Pengusaha Sukses


Semua berawal pada 2002 lalu. Saat itu, Avip iseng-iseng menekuni usaha distro. Dia melihat prospek bisnis bidang fesyen yang menjanjikan. Maka, bangku kuliah adalah awal pria asal Kuningan itu mengais pundi-pundi rupiah.

Modal awal Avip saat itu Rp1 juta. Dengan cara online, dia sukses mengembangkan bisnis fesyen hanya dalam jangka waktu dua tahun. Namun, langkahnya tak berjalan mulus. Pria kelahiran Kuningan,18 Januari 1981 itu sempat tertipu hingga rugi besar.

“Waktu itu ada ibu-ibu order baju muslim dengan nominal hingga Rp200jutaan. Tapi barang yang baru saya kirim sekitar Rp50 jutaan. Tapi setelah barang yang saya antar sendiri itu dikasih ke ibutersebut, ternyata dia enggak transfer uang ke saya,” kata Avip kepada INILAH, Minggu (17/3/2013).

Di d’Preneur Cafe, Jalan Burangrang, Kota Bandung miliknya, Avip melanjutkan kisah pahitnya. Saat tak menerima transfer uang, dia pun mendatangi rumah sang pengorder. Namun hasilnya nol besar. “Ternyata dia sudah tidak ada, rugi ditipu saya,” ujar Avip.

Avip rupanya tak menyerah. Dia kembali bangkit dan melanjutkan bisnis fesyen, meski harus menanggung kerugian kepada pabrik tempatnya memesan produk. “Saya meminta kebijakan kepada pabrik tempat saya memesan pakaian. Akhirnya, dia memberikan keringanan buat saya. Karena saya ditipu sebesar Rp50 jutaan, saya enggak bisa bayar langsung. Saya jadinya mencicil beberapa bulan tunggakan saya itu sendirian,” jelasnya.

Tak berhenti di dunia fesyen, Avip lantas melihat peluang lain dari hobinya mengumpulkan biografi orang-orang sukses. Hobi itu rupanya sukses menggiring Avip meraup omzet Rp5 juta-10 juta setiap bulan.

“Saya itu hobi mengumpulkan biografi orang sukses. Dari situ saya lihat peluang dan menjualnya dengan cara menitipkan ke toko buku. Hasilnya lumayan, ongkos burning saja hanya Rp5 ribu. Omzet saya saat itu mencapai Rp5 juta-10 juta per bulan,” tutur Sekretaris Umum HIPMI Jabar itu.

Usaha menjual CD kumpulan biografi orang sukses itu dijalani Avip setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung. Lagi-lagi Avip berpikir merambah usaha lain.

Dia mulai melirik bisnis bidang jasa yakni penyebar brosur.Bisnis sebar brosur itu dia jalani hampir satu tahun setengah pada 2011. Dalam sepekan, dia mampu mendapatkan proyek dari lima hingga enam perusahaan.
“Saya melihatnya waktu itu, perusahaan terus membuat brosur tapi mereka tidak memiliki orang untuk menyebar brosur. Maka dari itu, saya kerjasama dengan mahasiswa yang mau bekerja sebar brosur nanti saya bayar. Dari sini juga keuntungannya lumayan,” papar Avip.

Setelah merambah banyak bisnis baik di bidang barang dan jasa, Avip fokus mengurus perusahaan jasa di bidang bahasa. Dia menawarkan piawai berbahasa Inggris dalam beberapa saat.

Selain itu, dia menekuni bisnis kafe. Bekerja sama dengan teman bisnisnya, Avip menggarap cafe d’Preneur. Dia ingin ‘menyulap’ kafe tersebut bukan hanya sebagai tempat makan dan nongkrong anak muda, tetapi tempat para pengusaha berkumpul dan berbagi ilmu.

“Saya sudah enam bulan di sini. Konsepnya, ingin menjadikan d’Preneur sebagai pusatnya enterprenur. Maka dari itu saya kan menambahkan ornamen yang menunjukkan tamu untuk bisa menjadi pebisnis. Lalu saya juga rutin mengadakan sharing dari pebisnis kepada anak muda yang ingin menjadi pebisnis,” tutupnya.


Sumber : m.inilahkoran.com

Bisnis Ikan Tuna


Bisnis kuliner memang tak pernah surut. Pengusahanya pun terus menciptakan menu baru, seperti tahu berisi ikan tuna. Tahu tuna ini terbukti sangat digemari. Berkat tahu tuna, produsen tahu tuna di Pacitan bisa meraup omzet ratusan juta per bulan.

Tahu merupakan makanan ringan yang sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Selain kandungan proteinnya tinggi, tahu banyak dikonsumsi karena harganya yang murah.

Untuk mendongkrak harga tahu ini, pengusaha makanan sering menambahkan olahan lain sebagai pengisi tahu. Langkah ini pula yang dilakukan Sri Sumiati. Pemilik usaha Olahan Tuna Pak Ran asal Pacitan ini menambah adonan tuna sebagai bahan pengisi tahu.

Sri belanja tahu putih dari pabrik tahu hingga sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per hari. Tahu putih ini kemudian dia goreng dan di dalamnya diberi isi adonan tuna. Setiap hari, Sri membutuhkan satu kuintal tuna sebagai pengisi tahu.

Bersama suaminya, Pak Ran, Sri menggeluti bisnis olahan ikan tuna sejak 2009. Produk awal olahan tuna Pak Ran adalah bakso ikan tuna, pepes tuna, dan tuna bakar. Sri pun terus berinovasi supaya usahanya tetap berkembang.

Produk tahu tuna merupakan hasil inovasinya tahun ini. “Kami baru mencoba awal tahun ini, peminatnya banyak,” kata Sri. Tiap hari, Sri mampu menghasilkan tahu tuna sebanyak 1.500 bungkus. Tiap bungkusnya berisi 10 buah tahu tuna yang siap makan. Alhasil, dalam satu bulan Sri mampu memproduksi 45.000 bungkus.

Ia menjual satu bungkus tahu tuna seharga Rp 4.500 hingga Rp 5.000. Dari jualan tahu isi tuna ini, saban bulan Sri pun mampu menangguk omzet antara Rp 200 juta hingga Rp 230 juta.

Sri mengaku, awalnya hanya memasarkan produknya sebagai jajanan oleh-oleh wisata Pacitan. Namun, karena rasanya enak, tahu tuna Pak Ran kebanjiran pesanan. “Order banyak berasal dari Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Biasanya, sekali pesan, mereka minta sebanyak 500 bungkus,” kata Sri.

Sedendang seirama dengan Sri, pembuat tahu tuna lainnya, yakni Dewi Indriani asal Bogor juga menuai berkah dari penganan ini. Wanita berusia 39 tahun ini memulai usaha pembuatan tahu tuna sejak Juli 2011. Seperti halnya Sri, Dewi menggunakan tahu karena banyak penggemarnya. Membuat tahu tuna ini merupakan produk terobosan baru dari usaha Dewi.

Selain itu, Dewi juga melihat kesadaran masyarakat terhadap produk ikan tuna masih rendah. Padahal, ikan tuna sangat kaya akan protein dan omega 3.

Meski baru setengah tahun mengembangkan usaha ini, Dewi sudah memiliki pelanggan tetap yakni sebuah hotel di kawasan Bandengan, Jakarta Utara. Dalam sebulan, ia memasok sekitar 150 kg ke hotel tersebut. Sedangkan sisanya, dia distribusikan di beberapa restoran di Jabodetabek.

Dewi pun bisa meraup omzet hingga Rp 21 juta saban bulan. Ia menjual produknya dengan harga Rp 40.000 untuk ukuran 500 gram. Isi kemasannya terdiri dari 24 potong tahu.

Dewi yakin bisnis pembuatan tahu tuna ini sangat menjanjikan ke depannya. Selain pemainnya masih jarang, dengan tambahan ikan tuna, gizi tahu tentu menjadi lebih tinggi. “Masalahnya ada di strategi pemasaran,” ujarnya.

Maklum, selama ini, Dewi masih mengandalkan pemasaran langsung, dengan mendatangi hotel atau restoran. “Mereka memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang nutrisi tahu tuna,” ujarnya.

Sumber : bisniskeuangan.kompas.com

Pemiilik Cuci Steam Mobil


Musim hujan memang menyebalkan. Kendaraan jadi mudah kotor karena terciprat genangan air. Belum lagi, air hujan yang mengandung kadar asam berlebihan akan menyebabkan cat lebih cepat pudar dan merangsang munculnya karat. Menyadari bahwa mobil pun butuh perawatan layaknya manusia, Hendry Indraguna mendirikan usaha salon mobil Auto Bridal pada Januari 2002. Pria muda kelahiran Bandung pada 28 Agustus 1973 ini merupakan bos pemilik The Auto Bridal Indonesia, sebuah tempat usaha cuci mobil “Busa salju”. Dalam membangun bisnisnya ini, Hendry berkali-kali mengalami jatuh bangun. Berbagai bidang wirausaha pun pernah dijalaninya. Namun, ia selalu bangkit dan kembali dari nol.

Dia menciptakan formula sabun yang aman bagi kendaraan. Sedangkan bagi pemilik kendaraan, Hendry juga menyodorkan sebuah gerai yang bersih dan nyaman. Dia ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa cuci mobil itu selalu kotor, berkubang oli, dan lokasinya yang terpinggirkan. Kini, usaha yang semula dianggap kelas bawah ini telah menjelma menjadi lumbung profit. Lebih dari 50 gerai tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan 200 gerai lainnya menempati lokasi SPBU Petronas di seantero Malaysia. Usaha cuci mobil garapan Hendry telah mencapai omset sebesar 7,5 miliar rupiah tiap bulan.

Suatu keuntungan yang fantastis bagi seorang pengusaha muda bermodalkan pas-pasan. Sebelumnya, Hendry yang merupakan lulusan Universitas Maranatha Bandung ini pernah bekerja sebagai salesman. Dia kemudian memulai bisnisnya dengan berjualan ayam goreng. Hendry pernah mengalami jatuh bangun dalam berbisnis. Sejak kelas 2 SMA dia mencoba terjun ke dunia bisnis, mulai dari menjadi salesman hingga broker mobil. Tahun 1990-an lalu, dia juga pernah mendirikan kartu diskon berjaringan internasional bersama dengan dua orang koleganya. Namun, usahanya itu pupus di tengah jalan.

Akhirnya, Hendry mencoba bangkit dengan membuka usaha cuci mobil. Namun, ternyata tidak mudah mengangkat bisnis ini. “Saya banyak menerima cibiran orang, menurut mereka cuci mobil tidak bakal mendatangkan banyak uang,” kata Hendry. Dengan modal Rp 250 juta, yang semuanya dari utang, Hendry membeli alat dan bahan cuci mobil, serta menyewa sebuah gedung di kawasan Setiabudi, Bandung. Di minggu-minggu pertama operasional, tak ada mobil yang datang.

Perlahan, Hendry mencoba mencuri perhatian publik untuk membangun brand. Dia mencuci pesawat, membersihkan bangunan Bandung Super Mall yang luasnya 7.500 meter persegi, dan mencuci 470 mobil secara bersamaan dalam tiga jam. Alhasil, usahanya membuahkan hasil. Selain masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI), usaha Auto Bridal menjadi lebih dikenal orang.

Pada dasarnya, bisnis yang dilakoni Hendry tak jauh berbeda dengan usaha sejenis, yakni memoles dan mengguyur dengan air. Hanya, dia membungkus layanan dengan elegan. Inovasinya adalah pijat, lulur, dan spa untuk mobil. “Seperti kulit manusia, cat mobil juga memiliki pori-pori. Jadi, ketika karyawan kami memijat bodi mobil, bahan pemoles akan meresap lebih dalam,” kata Hendry.

Selain itu, Hendry juga menciptakan Medical Treatment dan Car Spa Massage untuk menghapus buram cat orisinil dan memunculkan kembali warna segar dari cat mobil. Tahun 2007 lalu, dia pernah meluncurkan Ice Cream Car Wash, dengan konsep yang baru, mempunyai pilihan rasa dan warna, seperti Green Tea Ice Cream atau Durian Ice Cream Car Wash. Ice cream ini mengandungvitawax dan megawax. “Ide dan gagasan ini juga di terima oleh masyarakat pencinta otomotif,” ujar Hendry.

Untuk menyenangkan konsumen, Hendry menyediakan kudapan, demo layanan, menu book agar konsumen dapat langsung membaca kegunaan dari layanan yang disediakan, serta pijat gratis. “Tambahannya, karena pelanggan kami kebanyakan pria, keberadaan customer service yang cantik dan mampu memberi informasi produk menjadi sebuah kebutuhan,” ujar Hendry.

Kendati membidik segmen menengah keatas, Auto Bridal tak penah membatasi jenis mobil yang datang. Auto Bridal mematok Rp 25.000 untuk cuci standar. Namun, jika ingin mendapatkan layanan superlengkap, konsumen harus membayar hingga Rp 750.000.Dalam satu hari, setidaknya ada 30 mobil yang datang ke gerai Auto Bridal. Hendry tak menampik keuntungan bisnis ini cukup besar. “Modal tiap kali mencuci mobil hanya Rp 5.000 saja,” bisiknya.

Itu sebabnya, dia mengaku pendapatan bersih yang diterima mencapai Rp 30 juta per bulan per gerai. Hendry mengatakan prospek bisnis ini masih sangat terbuka lebar karena belum ada kompetitor di industri ini. Selain itu, pasar market juga masih sangat besar seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak mengenal kata krisis.

Di kota kecil, Hendry juga menciptakan layanan salon cuci khusus untuk kendaraan roda dua yang dinamai Motor Bridal. Untuk layanan ini, Hendry mematok harga cuci standard mulai dari Rp.6.000. Sementara itu, di kota besar, Hendry menciptakan Auto Express untuk melayani cuci mobil cepat yang lokasinya di SPBU, halaman mal, dan apartemen.

Kisah Hendry yang sukses ini tercatat di dalam sebuah buku berjudul Kumpulan Kisah Para Pengusaha Muda yang Sukses Berbisnis dari Nol, Rahasia Jadi Enterpreneur Muda yang ditulis oleh Jennie S Bev. Dalam bukunya, Jennie mengatakan bahwa untuk berwirausaha, sebenarnya mudah, yaitu dengan meningkatkan mindset dan mulai membuka bisnis sendiri.

Jennie sangat memuji para pengusaha muda yang telah berhasil membangun bisnisnya. Semua itu karena para pemuda yang mempunyai mindset untuk sukses. Kata Jenni, “Success is a mindset, it is not journey or destination.”  Sukses, menurut Jennie, adalah cara berpikir (mindset) bukan perjalanan maupun tujuan. Kesuksesan para pemuda dalam bidang wirausaha rata-rata disebabkanmindset mereka yang sudah terpola dengan keberanian untuk memulai bisnis.

Sumber artikel: anneahira.com

Stanly Erungan Bengkel Bisnis


Memulai suatu usaha tidaklah gampang, tapi juga tidak mustahil untuk sukses. Asal ada tekad dan kemauan kuat, pasti suatu saat akan berhasil. Stanly Erungan (40 tahun), seorang anak petani dari Manado membuktikan hal itu berbisnis bengkel sukses. 

seperti di kutip ciputraentrepreneurship, Kini, Stanly sukses menjadi pengusaha bengkel mobil dengan omzet di atas Rp 1 miliar per bulan. Tekad menjadi pengusaha sudah muncul saat ia masih bekerja di sejumlah perusahaan besar, seperti Astra.

Stanly sudah bekerja di Astra sejak lulus dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung tahun 1996. Di Unpad, ia mengambil jurusan komputer, khususnya bidang informasi teknologi.

Lama bekerja di Astra, anak ketiga dari empat bersaudara ini sudah menduduki posisi penting di perusahaan itu. Namun, tekadnya yang kuat untuk menjadi pengusaha, tidak menghalangi niatnya untuk terjun ke dunia bisnis.

"Sejak dulu, saya sudah menargetkan bahwa pada usia menjelang 40 tahun harus mendirikan usaha sendiri," katanya seperti dilansir Kontan.co.id.

Begitu keluar dari Astra pada 2001, Stanly tidak langsung terjun ke dunia bisnis dan mendirikan usaha sendiri. Saat itu, ia sempat bergabung dulu di salah satu perusahaan oli di Jakarta.
Di perusahaan ini, ayah dua anak ini semakin memiliki jaringan yang kuat di dunia otomotif. Saat itu, ia rutin memasok oli ke sejumlah pengusaha truk, bus, dan kendaraan lainnya. "Saya akhirnya memiliki banyak kenalan," kata suami dari Maria Natalia ini.

Bermodal jaringan itu, pada 2008, Stanly lantas memilih keluar dari perusahaan oli dan fokus mengelola bengkel mobil di bawah bendera usaha PT Mitra Jaya Agung Motor yang bermarkas di Cikokol, Tangerang, Banten.

Stanly mengembangkan usaha bengkel ini dengan merek Mitra Service Car (MSC). Bisnis bengkel sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 2007, saat ia masih di perusahaan oli. "Namun, saat itu yang saya dirikan usaha bengkel motor," ujarnya.

Setelah dua tahun berjalan, bengkel motor itu kemudian dijualnya pada 2009. Setelah itu, ia fokus menjadi wirausaha dan membesarkan usaha bengkel mobil miliknya. Selain bengkel, ia juga menyediakan aneka onderdil mobil dengan merek sendiri, yakni AQ Genuine.

"Saya beri nama AQ yang artinya kualitas nomor satu," ujarnya. Onderdil yang dipasarkannya kebanyakan khusus buat bus dan truk. Di bisnis ini, ia juga memberikan layanan perawatan onderdil.

Dengan begitu, pelanggan tidak lagi pusing jika butuh perawatan dan penggantian onderdil kendaraannya. Berkat usahanya ini, Stanly bisa meraup omzet di atas Rp 1 miliar per bulan seperti grosir baju murah.

Selain menjual onderdil dengan merek sendiri, Stanly juga mengimpor onderdil kendaraan lain yang umumnya berasal dari Eropa.

Setelah merasa mantap dengan perkembangan usahanya, pada tahun 2012, ia resmi membuka peluang usaha bengkel waralaba. Saat ini, ia telah memiliki enam gerai MSC, dan lima di antaranya milik terwaralaba.

Sumber : paraguayosxelmundo.blogspot.com

Pengusaha Real Estate


Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.

Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya

Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta.

Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.

“Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya. Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.  “Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”

Sumber  : arifperdana.wordpress.com

Mantan TKI Kini Pengusaha Mobil


Kisah  tragis yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) seringkali menjadi topik pemberitaan di media massa. Kebanyakan TKI mendapat perlakuan tidak manusiawi ketika bekerja di luar negeri.

Di sisi lain, ada warga yang sukses menjadi TKI dan luput dari perhatian. Salah satunya adalah Edi Suryadi (46), warga Kampung Cirendeu RT 03 RW 03 Desa Mekarsari, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi.

Edi pernah menjadi TKI selama empat tahun di Arab Saudi. Keberangkatan Edi menjadi sopir di negeri orang pada 2000 lalu itu hanya semata untuk mencari modal usaha di negara sendiri. Setelah modal terkuhttp://cms.republika.co.id/news/creatempul, Edi kembali pulang ke Tanah Air pada 2004.

Berbeda dengan TKI lainnya, sebelum berangkat ke luar negeri, Edi telah menguasai bahasa Arab. Pemahaman bahasa Arab diperolehnya ketika belajar di madrasah. "Kemampuan bahasa menjadi modal utama bekerja di luar negeri," tutur Edi.  Jika tidak mampu menguasai bahasa negara tempat bekerja, maka potensi untuk dibohongi dan diperlakukan kasar sangat besar terjadi.

Kemampuan bahasa itu pula yang menjadikan penghasilan Edi lebih besar. Pasalnya, Edi sempat menawar gaji yang ditawarkan kepadanya. Awalnya, gaji yang diberikan hanya sebanyak 800 riyal Saudi per bulan. Namun, Edi meminta sebesar 1.200 riyal per bulan. Permintaan itu disanggupi oleh majikannya di Arab Saudi.
Dampaknya, kata Edi, setiap empat bulan sekali dia bisa mengirimkan uang sebesar Rp 10 juta ke tanah air. Uang itu ditabung oleh istrinya, Eti Budiati (40) untuk modal usaha membuka showroom mobil.

Setelah empat tahun bekerja di Arab Saudi, kata Edi, dia memutuskan untuk pulang ke tanah air. Uang yang ditabungnya selama ini dijadikan modal usaha membuka showroom mobil bekas dan baru di tempat tinggalnya.

Hasil menjadi TKI pun dapat digunakan untuk membiayai anaknya hingga kuliah di perguruan tinggi. Bahkan, Edi sanggup membeli sawah dan mobil pribadi. Meskipun berhasil bekerja di luar negeri, namun Edi enggan kembali ke Arab Saudi. "Bekerja di dalam negeri lebih nyaman," prinsip dia.


Sumber : republika.co.id 

Pengusaha Warung Seafood


Hidup adalah ujian. Setiap  episodenya adalah tes yang ketika  bisa dilalui menandakan bahwa  seseorang telah naik kelas. Yudi  Ardian bukan hanya naik kelas melewati perjalanan hidupnya. la juga menaikkan kelas warung tendanya menjadi restoran ampuh menjadikan seseorang lebih tabah dan ‘tahan banting’. Seperti yang dialami Yudi Adrian, putra ke-5 dari 6 bersaudara yang dibesarkan dalam keluarga berkecukupan. Ketika ayahnya jatuh sakit, Yudi kehilangan tempat bergantung dan mulai bekerja serabutan untuk membiayai kuliahnya yang baru ditempuh setengah jalan. Pekerjaan sebagai tukang masak di restoran sampai menjadi sopir mobil travel pernah dilakoninya tanpa rasa gengsi.

Akhinnya, bermodal uang pinjaman Rp12 juta yang diperoleh dari seorang kakak, pada 7 September 2008 Yudi membuka warung seafood di kota Padang. Meski awalinya penuh perjuangan keras untuk merebut hali pelanggan, semua itu dilaluinya dengan penuh ketekunan dan sikap pantang menyerah. Kini, usahanya nnulai berbuah. Hanya dalam tempo kurang dari dua tahun, omzet bisnisnya sudah mencapai Rpl,5-2,5 juta per malam dengan keuntungan bersih Rp126 juta per tahun. Tempatnya pun tidak lagi di warung tends, melainkan di sebuah restoran yang berlokasi di ruko.

Benar kata orang, roda kehidupan selalu berputar. Kita tidak pernah tahu kapan akan berada di atas, atau sebaliknya, terpuruk di bawah. Yudi mengalami hal ini ketika masih kuliah tahun pertama di Universitas Bung Halta, Padang. Ketika itu ia mesti menghadapi kenyataan pahit. Kehidupannya yang nyaman sebagai anak kuliahan dari keluarga berada berakhir ketika ayahnya, Zainal Abidin, terserang stroke. Tubuhnya lumpuh sehingga terpaksa dipensiunkan dari jabatannya di sebuah perusahaan migas terbesar di Riau.

Pantang menyerah. Meski sempat ditinggakan pegawai dan kehilangan seluruh uang tabungannya, Yudi selalu mampu bangkit lagi dan menjalankan warungnya seperti sediakala.

Masa-masa ‘bulan madu’ sebagai mahasiswa di tanah rantau pun mesti berakhir. “Kebiasaan menghamburkan uang dan kuliah sekadar main-main tidak bisa diteruskan. Saya tidak mungkin lagi minta uang kepada orangtua,” kenangnya. Boro-boro mencukupi biaya hidup di perantauan, uang hasil jerih payah ayahnya selama bekerja pun ludes untuk biaya pengobatan yang tak kunjung membuahkan hasil.

Ketika pulang ke kampung halamannya di Duri, Yudi amat terpukul mendapati kondisi ayah dan keluarganya yang memprihalinkan. Di satu sisi, ia bersyukur karena masih bisa kuliah, padahal banyak orang lain yang hanya bisa bermimpi. Di sisi lain, ia tak kuasa menahan sedih karena telah merepotkan orangtua dan tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka.

Setelah beberapa lama bersama keluarga di Duri, Yudi memutuskan kembali ke Padang. “Di kota itu, saya kembali mencari jati diri dan berusaha terus memperbaiki diri,” katanya. Yudi pun menjalani kuliah dengan semangat baru. Prestasi belajarnya melonjak, Walau ia biasa bergelimang kemewahan—seperti juga sebagian besar teman-temannya—ia merasa bersalah bila orangtuanya yang sedang susah, masih harus menanggung biaya hidupnya. Namun, kondisi keuangan yang tidak menentu dan terus-menerus hanya menanti kiriman uang dari ibunda, Yusmarni, membuat Yudi menjadi tidak enak hati.

Namun, esensi hidup bukanlah soal bagaimana seseorang ketika terpuruk, tapi seberapa cepat dia bangkit kembali. Demikian pula halnya Yudi, kelahiran 1985 ini. Di halinya tumbuh kesadaran lain. Yudi berpikir keras untuk mencari uang sendiri sembari tetap kuliah. Di usianya yang ke-22, Yudi mendapat kesempatan bekerja sebagai sopir mobil travel. Penghasilannya terbilang cukup untuk membiayai hidupnya. Sayang, profesi baru ini amat memakan waktu dan tenaga sehingga kuliahnya terganggu. Padahal, ia ingin menuntaskan kuliahnya tepat waktu.
Setiap liburan tiba, Yudi pulang menengok keluarganya di Duri. Keadaan rumah tak jua membaik. Kondisi ini memicunya untuk mencari jalan keluar. Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba saja tebersit keinginan untuk membuka usaha makanan, berbekal pengalaman bekerja paruh waktu di sebuah restoran seafood. “Saya ingin usaha di bidang yang saya tahu, supaya bisa ikut mengelolanya,” ucapnya.

Bagi Yudi, mempunyai usaha sendiri jauh lebih baik daripada bekerja pada orang lain. “Dengan memiliki usaha sendiri, saya akan menjadi lebih bertanggung jawab. Di tangan sayalah sukses atau gagalnya usaha tersebut. Saya juga mesti bertanggung jawab terhadap kebutuhan karyawan,” kata Yudi. Ditambahkan, menjadi pengusaha juga tidak ada limit penghasilannya. Tidak seperti pegawai, yang gajinya mentok pada angka tertentu.
Tak membuang waktu, ia segera menemui salah seorang kakaknya yang memiliki kehidupan lumayan mapan. Tujuannya tentu saja ingin meminjam modal. Ide untuk membuka usaha sendiri, ternyata tidak mudah juga untuk direalisasikan. “Keluarga menentang keinginan saya. Mungkin karena menganggap saya anak manja yang tidak tahu apa-apa, tak satu pun anggota keluarga yang mendukung,” kenangnya. Tentangan dari keluarga tidak membuatnya patah semangat, justru menguatkan keinginannya untuk segera mewujudkan cita-citanya.

Keseriusan dan kesungguhan niat Yudi akhirnya meluluhkan hali kakaknya, Yuni Fitriani. la meluluskan permintaan Yudi. Berbekal dana Rp12 juta hasil pinjaman itulah Yudi memberanikan diri membuka warung tenda dan menjajakan berbagai menu seafood. Kota Padang menjadi pilihan lokasi usahanya. “Selain dekat dengan kampus, peluangnya juga lebih besar. Di sang juga belum banyak orang yang menjual hidangan seafood,” katanya.

Minimnya pengalaman tak ayal lagi membuat Yudi jatuh bangun menghadapi berbagai hambatan. “Membuka usaha ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ungkapnya. Banyak kendala ia temui. Maklum, ilmu bisnis tak pernah dia dapatkan di bangku kuliah. Jurusan yang diambilnya di kampus tak bersinggungan dengan dunia bisnis, yaitu Hukum Internasional, Yudi menyiasatinya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

Cukup sulit untuk menemukan lokasi yang pas, yaitu area yang dilintasi banyak kendaraan dan cukup nyaman untuk makan. Setelah berkeliling kota, akhirnya ia memutuskan untuk membuka Usahanya di Jalan Jhoni Anwar Lapai-Padang. Seluruh persiapan tersebut dilakukannya dalam waktu satu bulan.

Pada 7 September 2008, sebuah warung tenda berukuran 4 x 4 meter dengan spanduk bertuliskan Mutiara Jaya Seafood di pinggir jalan, resmi dibuka. Dibantu seorang sepupu dan dua orang teman, Yudi mulai menunggui warung tenda yang dibukanya sejak pukul 4 sore hingga pukul 1 dini hari. Spesialisasinya adalah bermacam hidangan laut dengan harga terjangkau.

Yudi memiliki harapan benar warungnya akan ramai di hari pertama buka. Namun, kenyataan berkata lain. Kesabarannya benar-benar diuji. Bagaimana tidak, dari sore hingga dini hari, hanya tiga orang yang makan di warungnya. Uang yang diperolehnya saat itu hanya Rp50 ribu. “Kondisi ini sempat membuat saya down. Kok, bisa ya sepi seperti itu?” kenangnya. Semangat Yudi yang awalnya menggebu langsung susut. “Karena masih sisa banyak sekali, nasi yang sudah kami masak waktu itu akhirnya diberikan kepada pemilik tanah yang saya kontrak,” kata Yudi mengenang masa pahitnya.

Hari ini sepi, besok pasti ramai, begitu harapannya setiap hari. Namun lagi-lagi, tidak ada perubahan yang berarti pada warungnya. Dari hari ke hari, jumlah tamu tak kunjung naik. Kondisi sepi ini sertahan sampai tiga bulan pertama. Pemasukan yang didapat dari warung benar-benar tidak sebanding dengan pengeluaran. Sering kali, pendapatan harian tidak cukup untuk mengembalikan modal belanja. Kondisi Yudi sertambah rumit ketika salah seorang teman yang membantunya tidak lagi sanggup bertahan dan memilih hengkang.

Berada di bawah tekanan membuat Yudi tergoda untuk menyerah dan menutup warungnya. Apalagi ia sempat jatuh pingsan dan dirawat selama dua hari di rumah sakit karena kelelahan. Tetapi, rasa tanggung jawab membuatnya memaksakan diri untuk berusaha lebih keras. Alih-alih tutup warung, ia memutar otak untuk membuat warungnya berdenyut. 

Aktif berpromosi. Ketika warungnya sepi, Yudi berinisiatif mempromosikan usahanya ke berbagai penjuru. Termasuk meminta bantuan dari teman-temannya untuk mengabarkan usaha warung tendanya dari mulut ke mulut.

Gagasan baru pun muncul, yaitu mengubah pola promosi. “Jika sebelumnya saya pasif menanti tamu, waktu itu saya coba mengubah pola berjualan dan mulai mengakrabkan diri dengan pembeli. Saya bahkan turut mengerahkan teman-teman di kampus untuk mempromosikan warung saya,” cerita Yudi. “Saya juga mengubah cara kami mempersiapkan hidangan. Dulu terkesan bersembunyi, sekarang kami memasak di depan tamu sehingga ketika menunggu makanan pun tamu dapat menikmati atraksi yang tidak setiap hari mereka dapatkan.”

Selain itu, Yudi pun membuat variasi menu. Dipromosikanlah menu andalan warung tendanya–Kepiting Saus Pedas Thai Tom Yam. Jalan yang ditempuh Yudi membuahkan hasil. Dalam waktu lima bulan, senyumnya melebar melihat jumlah pengunjung yang merangkak naik. Pelan tapi pasti, penghasilan warung pun ikut meningkat. Sejalan dengan itu, beberapa hal dibenahi, termasuk manajemen keuangan warung. Dampaknya sangat terasa ketika semuanya telah berjalan pada jalur yang benar. Tak menunggu waktu lama, penghasilan meningkat pesat. Bahkan untuk melayani pembeli yang setiap malam kian ramai, ia menambah jumlah pekerja. Tahun 2009, Yudi sudah mempekerjakan 7 orang di warungnya.

Tuhan rupanya belum berhenti menguji Yudi. Kesuksesan membutuhkan banyak perjuangan. Baru bernapas lega karena warungnya berjalan sangat baik, ia mengalami musibah. “Sepulang dari Air Bangis untuk menjemput kepiting dan bahan baku makanan laut, mobil yang saya tumpangi bersama tiga orang teman menabrak orang yang sedang mengendarai sepeda motor, hingga ia mengalami lumpuh di bagian kaki,” Yudi berkisah.

Singkat cerita, uang simpanan yang terkumpul selama 1 tahun berjualan terpaksa digunakan untuk menyelesaikan semua persoalan, mulai dari rumah sakit, perbaikan mobil, sampai kantor polisi. “Di ujung hari, uang yang tersisa tinggal sedikit, hanya cukup untuk modal awal jualan saja,” kata Yudi.

Dengan kondisi fisik yang masih trauma, Yudi membuka lagi warungnya. Tak disangka, setelah kejadian itu warungnya semakin ramai saja. Tak henti-hentinya Yudi mengucap syukur, betapa Tuhan selalu punya rendana terbaik untuk umatnya.

Nasibnya kembali benderang ketika terpilih menjadi salah satu peserta kontes Wirausaha Mucla Mandiri dari Bank Mandiri. Bulan November, Yudi mendapat panggilan untuk mengikuti babak penyisihan di Palembang. Saat itu ia berhasil keluar sebagai juara I tingkat wilayah. Air mata bahagia ibunya dan senyum bangga di bibir ayahnya menyambut Yudi sepulang dari Palembang. “Saya terharu sekali melihatnya. Orangtua saya mengaku tidak pernah menyangka kalau anaknya yang manja ini bisa meraih sukses,” kenang Yudi.

Keberhasilan “menaklukkan” kota pempek ini membuat Yudi semakin percaya diri menjalankan bisnisnya. Pada Januari 2010, ia pun maju ke tingkat nasional, yang kegiatannya diadakan di ibu kota, Jakarta. “Di sini saya mendapat saingan yang cukup hebat dari semua daerah,” katanya. Meski tidak mendapatkan peringkat di Jakarta, tapi ia mengaku bangga karena mendapatkan perjalanan luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. “Banyak ilmu dan wawasan yang saya peroleh dari teman-teman peserta sesama wirausahawan,” katanya. Dari pengalaman orang lain, ia bisa belajar bahwa setiap usaha memiliki rintangan yang berbeda. Namun, kunci keberhasilan hanya satu, yaitu ketekunan.

Inovatif. Selain membuat variasi menu dan memasak di depan tamu, Yudi juga merandang sistem keanggotaan dan menawarkan diskon pada hari-hari tertentu untuk menarik pelanggan.

Untuk mengembangkan usahanya, Yudi mendapat pinjaman modal usaha dari Bank Mandiri. Warungnya pun semakin dikenal oleh masyarakat Padang. Apalagi salah satu strateginya adalah membuat sistem keanggotaan (membership). Pada hari-hari tertentu, seorang member dapat memperoleh diskon hingga 50 persen. Sungguh sebuah cara marketing yang jarang ditemukan di Padang. la pun berhasil mengubah nasib dan warung tenda pinggir jalan itu `naik kelas’ menjadi restoran mini di sebuah ruko yang terletak di depan warung lama.

Sekarang, kesuksesan telah berhasil dipetik. semua itu dicapai Yudi dari keringat dan jerih payahnya. sebagai bentuk terima kasih pada orangtua, sebagian dari keuntungan warung ia gunakan untuk mengobati penyakit ayahnya dan menopang perekonomian keluarga.

Yudi pun tak lagi cemas memikirkan cara membayar SPP kuliah dan membiayai kehidupannya sehari-hari. Sambil terus berjuang menyelesaikan kuliah yang sempat terlantar, ia berharap bisnisnya ini berumur panjang dan semakin berkembang. Yudi sadar bahwa keberhasilannya adalah buah dari kerja keras dan kesungguhannya mencapai cita-cita.

“Ini semua bukan hasil dari apa yang saya rendanakan, melainkan dari apa yang saya selesaikan,” katanya berfilosofi. “Butuh sesuatu yang sulit untuk mendapatkan yang mudah,” ucapnya penuh rasa syukur.

Sumber : wirasmada.wordpress.com