Jumat, 06 September 2013

Dewi Mahasiswa Sukses dari Kerajinan Pigura

Berwirusahalah dengan gigih, penuh ketekunan, tidak gampang menyerah, dan selalu menyikapi segala keadaan dan kebutuhan dengan kreatif, dan memiliki mimpi sukses. Dewi Tanjung Sari (33) adalah tipe orang yang gigih memperjuangkan cita-citanya sebagai pewirausaha sukses. Ia telah memulai usaha sejak awal kuliah di Program Diploma III, Universitas Brawijaya Malang, kemudian mengembangkan usahanya dengan berbagai kendala dan hambatan, melanjutkan kuliah lagi di jurusan yang sama di IKIP  Budi Utomo-

Malang, Jawa Timur.
Sebagai anak yatim sejak kecil, anak semata wayang ini telah terlatih hidup mandiri sejak masa kanak-kanak. Ibunya yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menguatkan keinginannya agar kelak mampu menjadi anak yang dapat mensejahterakan ibunya.

Semua berawal dari keinginannya untuk mencari uang, membantu ibunya yang saat itu mulai membuka warung, dan berjualan kecil-kecilan untuk biaya hidup dan kuliahnya. Sejak masuk kuliah di Program Diploma Univeristas Brawijaya, tahun 2003, Dewi sering sepulang kuliah mencari daun-daun kering, limbah yang banyak berserakan di kampusnya untuk digunakan berbagai produk kerajinan.

Daun-daun kering tersebut dibersihkan, kemudian dikeringkan dan dibentuk menjadi pigura foto,  kotak pensil, undangan, dan bentuk kerajinan lainnya. Modal untuk membuat kerajinan tersebut juga tidak banyak, hanya Rp50 ribu. Hasil kerajinan tersebut ia jual kepada teman-teman di kampusnya. Bahkan dalam sebuah pameran produk kerajinan yang diadakan dikampusnya, kerajinan milik Dewi yang dijual seorang teman ternyata habis terjual. 

Suatu hari di tahun 2005, ia bertemu dengan seseorang yang menjadi eksportir produk-produk kerajinan yang terbuat dari berbagai limbah. Ia kemudian  memperoleh pesanan pembuatan kerajinan dari daun kering berbagai bentuk cukup banyak.  Dari sinilah awal usahanya berkembang. Semula semua kegiatan ia lakukan sendiri, namun karena permintaannya cukup banyak ia kemudian melibatkan 16 orang karyawan lepas yang sebagian besar adalah para tetangganya untuk membuat produk kerajinan pesanan untuk ekspor tersebut.  

Namun diluar dugaan, tahun 2007 perusahaan eksportir yang biasa memesan hasil kerajinan kepadanya ternyata bangkrut. Dewi bingung bagaimana harus mengelola orang dan produk yang sudah dibuat. Ia juga berfikir bagaimana melanjutkan usahanya.

Untuk sementara ia menghentikan kegiatan produksi dan mencoba memasarkan sendiri produknya ke berbagai teman. Ia juga memajang produk di warung ibunya, yang berhadapan dengan sebuah kantor. Saat ada orang yang belanja di warung ibunya dan tertarik dengan salah satu produk hasil kerajinan produk Dewi. Tamu tersebut kemudian memesan sebanyak 750 pcs dengan harga Rp1500/pcs yang akan digunakan untuk merchandise perkawinannya.  Bukan main senangnya.

Saat itulah ia menyiapkan produk merchandise dan memberinya label sendiri dengan label De Tanjung. Pada label tersebut tercantum telepon, alamat,  serta website yang dibuatnya secara sederhana. Selain itu ia juga menitipkan produk-produknya ke Gramedia, pusat-pusat kerajinan dengan cara penjualan konsinyasi, hasilnya cukup laku di pasaran. Ia juga rajin menghadiri event fashion show serta wedding expo yang diadakan di berbagai kota untuk mengetahui tren serta perkembangan terbaru dalam industri yang berkaitan dengan wedding. Bahkan secara periodik Dewi juga bekerjasama peragawati untuk melakukan pameran souvenir dan kartu undangan perkawinan. Hal ini ia lakukan karena pernak-pernik, souvenir dan kartu undangan perkawinan sudah menjadi lifestyle, khususnya untuk kalangan menengah atas. Untuk memberikan layanan sesuai anggaran pelanggan, anak tunggal pasangan alhamrhum Adi dan Suharti ini menyediakan aneka produk dari harga Rp3ribu hingga Rp50 ribu per pcsnya. 

Untuk memperluas dan skala bisnis,  Dewi telah mengembangkan usahanya dengan sistem franchise, dan sebagian besar mitranya adalah para pelanggannya yang kini sebagai franchisee di Malang, Bontang, Palu, Bekasi, Cirebon, bahkan Papua. Omzet usahanya juga kian meningkat dari Rp650 juta pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp935juta pada tahun 2009, dan tahun 2010 lalu omzetnya tembus mencapai Rp1,1 miliar dengan keuntungan bersih mencapai Rp273juta.   

Sebuah kebanggaan bagi Dewi, kini ia mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 52 orang yang bekerja dari usahanya. Sebagian besar keryawannya adalah anak-anak muda yang berada di sekitar tempat tinggalnya.“Bagi saya karyawan-karyawan inilah yang membantu usaha saya berkembang lebih besar,” ujarnya.

Sumber : profil-sukses.wirausahanews.com

Kamis, 05 September 2013

Sukses "from Emperan to Empire"

Ada pepatah, "Kesuksesan lahir dari keberanian mengalahkan ketakutan". Mungkin idiom ini yang menjadi pecutan bagi Fachrur Rozi dan Fadli hingga berani memulai sebuah usaha yang berawal dari modal Rp 100.000 hasil "bantingan" bersama. Kini, Rozi dan Fadli sudah menangguk hasil dari perjuangannya dalam waktu dua tahun ini. Dari Rp 100.000, dalam satu tahun saja, omzetnya sudah mencapai Rp 1 miliar. Bahkan, saat ini dalam sebulan sedikitnya berhasil mencapai transaksi hingga Rp 600 juta.Usaha apa, sih, mereka?

Berawal dari modal Rp 100.000, Rozi dan Fadli memulai usaha membuat sandal-sandal yang imut dan lucu. Mereka menyebutnya "imucu". Bentuknya macam-macam, ada hewan dan buah-buahan. Awalnya mereka mencari agen dengan melakukan promosi di emperan. "Makanya, tagline yang menjadi semangat kami sekarang, from emperan to empire. Karena tadinya kami usaha di emperan, sekarang sudah jadi empire," kata Rozi, yang menangani bidang pemasaran, kepada Kompas.com saat ditemui di ajang Pekan Wirausaha di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (11/4/2010).

Kesuksesan mereka tak hadir begitu saja. Sebelum memulai bisnis sandal-sandal lucu, Rozi dan Fadli masing-masing pernah mencoba berbagai bidang usaha. Mulai dari usaha roti bakar hingga mi ayam. Saat itu mereka juga masih berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan. "Dari yang semula hanya berdua, sekarang kami sudah punya karyawan 50 orang dan punya tim kreatif sendiri. Ceritanya, saya dan Fadli lagi sama-sama jatuh, punya utang banyak karena bisnis yang kami coba gagal. Tapi, saat itu masih kerja. Penghasilan bulanan hanya buat nutup utang. Akhirnya, kami menemukan sebuah produk, uang Rp 100.000-lah dipakai untuk buat prototipe sandalnya," kisah Rozi.

Kemudian, lanjut Rozi, mereka mengambil celah berpromosi dalam sebuah pameran franchise di Surabaya, Jawa Timur. Lebih dari 500 brosur mereka bagikan di area parkir lokasi pameran. "Sampai kami kejar-kejaran sama anggota satpam karena yang ikut pameran aja bayarnya Rp 30 juta. Kami enggak bayar, kok, seenaknya promosi, mungkin dilihat seperti itu. Akhirnya, dari hasil promosi, kami mendapatkan 10 agen," katanya.

Setiap agen harus membeli paket seharga Rp 250.000. Uang sebesar Rp 2,5 juta dari 10 agen inilah yang digunakan Rozi dan Fadli untuk memproduksi sandal lucu. Dari situ, order yang mereka terima semakin tinggi. Dalam satu tahun pertama, usaha mereka praktis tanpa saingan sehingga bisa mencapai pemasukan Rp1 miliar dalam satu tahun pertama. "Tapi, dalam tiga bulan pertama kami enggak dapat apa-apa. Semua keuntungan diputar lagi jadi modal. Bulan keempat baru kami berpikir bahwa tenaga yang kami sisakan sepulang kantor untuk mbungkusin produk juga harus dihargai. Akhirnya, ya, kami ambil keuntungan dibagi Rp 600.000 per orang. Berikutnya berlipat ganda," ujar Rozi.

Setelah melihat perkembangan bisnis yang pesat, Rozi dan Fadli mengambil keputusan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan fokus menekuni usaha. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah memproduksi kaus-kaus lucu bagi anak-anak dan produk sandal jepit unik bagi remaja. Untuk sandal lucu, setiap agen bisa membeli 150 pasang sandal dengan modal Rp 2 juta. Sementara paket reseller, 15 pasang dengan modal Rp 250.000.

Kini, semua usaha itu juga dipasarkan secara online melalui beberapa situs web, di antaranya www.rajasendal.com dan www.myjapit.com. "Memulai bisnis itu jangan takut, tapi juga jangan ngawur. Sekali dua kali mungkin gagal, tetapi jangan berhenti. Biasanya mereka yang gagal berbisnis karena mereka berhenti untuk mencoba lagi. Memulai usaha itu tidak selalu dengan modal besar," kata Rozi.

 sumber : kompas.com 

Ide Kreatifnya Sukses Ciptakan Soto Jamur Instan ‘Sotoji’

SIAPA yang tak tahu Soto! Makanan Indonesia yang banyak dijual di restoran, kedai, cafe, hingga di warung kaki lima. Rasanya yang menggiurkan dan enak disantap dikala hujan. Bisa Anda bayangkan, bila soto dijual dalam kemasan seperti mi instan yang sudah familiar di masyarakat. Adalah Rohmat Sastro Sugito yang menjadi ahli dalam membuat dan meracik soto instan. Berbekal keinginan menyajikan makanan siap saji, namun tetap kaya gizi, terpikirlah membuat penganan tersebut.

“Awalnya banyak petani jamur. Nah, kalau sedang panen harganya kan jadi murah. Kalau diolah harganya jadi stabil,” katanya saat berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Dari awalnya iseng coba-coba membuat menu dari berbagai macam jenis jamur yang ada, saat ini dia mengaku sudah mematenkan makanan yang dibuatnya yaitu “Sotoji” atau Soto Jamur Instan. Menurutnya, rasa jamur tiram-lah yang mampu diterima pasar dan enak untuk dijadikan olehan Sotoji-nya.

“Sebelumnya sempat dicoba segala jenis jamur, ada tiram, kancing, akhirnya setelah dipertimbangkan yang paling bisa diterima pasar adalah jamur tiram,” akunya.

Saat ini, usahanya ini telah menjadi sebuah perusahaan kecil dengan nama PT Tri Rastra Sukses Sejahtera. Meski diakuinya perusahaan ini masih dalam bentuk skala kecil, yang hanya memproduksi 40 dus setiap harinya, namun dia menargetkan dalam waktu dekat bisa memproduksi lima kali lipat

“Sehari 40 dus, satu dus isi 20 pieces. masih skala kecil karena terbatas di mesin,” akunya.
Untuk memulai usaha, tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Saat disinggung berapa modal yang digunakan untuk memulai usaha yang masih tergolong hijau ini, dia enggan menyebut angka pasti. “Yang jelas, modalnya seharga satu unit mobil kijang,” katanya berkelakar.

Dalam waktu dekat, perusahaan akan segera mendatangkan mesin baru yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Dengan datangnya mesin baru tersebut, dipastikan produksi akan bertambah menjadi sekira 500 dus per hari. Karena menurutnya, jumlah optimal yang seharusnya diproduksi adalah sekira 100 dus per hari.
“Mesin dari Malang, pokoknya produknya, semuanya dari Indonesia,” akunya mantap.

Berbicara modal, tentunya tidak terlepas dari berapa pundi-pundi yang dikantongi. Dengan rendah hati dia memastikan, setahun pertama belum ada keuntungan fantastis yang bisa diraihnya. Sebab, usahanya ini masih tergolong muda dan masih perlu banyak waktu untuk semakin maju.

Saat ini, per dus sotoji di jual seharga Rp50 ribu. Dalam sehari, perusahaan baru memproduksi 40 dus dan rencanannya akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Jadi jika dikalkulasikan, pendapatan per hari Rp2 juta atau jika dihitung dalam satu bulan bisa meraup pendapatan Rp60 juta.
“Namun tahun pertama belum untung. Masih dalam tahap ekspansi pasar,” elaknya.

Usaha yang digelutinya ini diakuinya akan dibuat sistem waralaba. Bentuk waralabanya ini juga masih dalam proses pengembangan. Dalam kedai-kedai yang sudah dimilikinya saat ini, selain dijual Sotoji kemasan, juga dijual yang sudah siap makan. Hal ini menjadi salah satu cara pemasaran Sotoji. Sebab, belum banyak yang menjual Sotoji kemasan. Karena, Sotoji baru bisa diperoleh di beberapa toko kecil.

Untuk lokasi kedainya juga baru berada di kawasan Depok. Dan dia berencana akan terus berekspansi ke pasar lokal yang menurutnya memiliki banyak peluang. “Masuk pasar luar memungkinkan kenapa tidak. Tapi fokus di pasar Indonesia karena saat ini kemungkinan terbuka masih sangat luas,” katanya lagi.

Berbicara produk tidak terlepas dari bagaimana cara pemasaran yang baik agar produk tersebut cepat dikenal oleh masyarakat. Rahmat memiliki cara unik dan jitu dalam memasarkan Sotojinya. Bagaimana caranya?

“Gerakan pertama lomba blog, menggunakan ranah online. Hal itu dilakukan karena terbatas dana. Mereka (peserta lomba) membuat blog segala hal mengenai Sotoji,” tutupnya


Sumber : wirasmada.wordpress.com 

Kaos khas Medan Fauzan tembus omzet 70jt/bln

Kehidupan masyarakat yang semakin konsumtif, termasuk dalam memilih pakaian membuat prospek bisnis konveksi semakin manis. Namun, dibutuhkan kreatifitas lebih agar produk yang dihasilkan dapat memenangkan pasar pakaian yang menyajikan kompetisi yang cukup panas. 

Melihat manisnya prospek bisnis konveksi, memunculkan ide bagi Fauzan (35) bersama dua rekannya Muklis dan Zulkarnaen untuk terjun ke usaha T-Shirt. Ingin tampil beda dari yang lain, desain khas Kota Medan lah yang dipilih sebagai andalan mereka. Baru dua bulan berjalan, kaos rasa Medan dengan merek dagang “Kaos Medan Bah” ini pun telah beromzetnya mencapai Rp70 juta per bulan dari pengeluaran untuk modal hanya Rp40 juta.

Kaos rasa Medan ini pun kini sudah dikenal hingga ke Bandung, Surabaya, Jakarta, Kalimantan, Semarang, Aceh dan Lampung, melalui media promosi dari mulut ke mulut dan internet, maupun brosur. “Medan kan belum punya souvenir khusus kaos seperti Bandung dan Jogja, kalaupun ada belum semua orang bisa dapat. Medan kan punya potensi dari karakter bahasa yang khas dan unik, kami tergerak untuk memantapkan dan membuat T-Shirt dengan rasa Medan ini,” ujarnya saat Okezone berkunjung ke gerai tokonya di Jalan Abdullah Lubis, depan Masjid Al-Jihad, Medan, belum lama ini.

Fauzan mengaku, saat ini sudah terdapat 20 jenis lebih kaos dengan gambar maupun tulisan yang khas Medan. Di antaranya desain tulisan Mantap Krina, Medan Heritage, Horas, Ku Tungggu Ko Balek Medan, Cocok Kam rasa, Kreak Tapi Aktif, Kombur Molotop, Ini Medan Lae dan desain lainnya yang tidak kalah unik.

“Alhamdulillah, dua bulan berjalan, responsnya luar biasa, bahkan terkadang kita kewalahan karena stok ukuran yang tersedia habis,” katanya.

Fauzan pun berharap, hasil tangan kreatifnya tersebut bisa menjadi ikon Kota Medan, seperti makanan khas Bika Ambon dan lainnya. Untuk menjaga kualitas tetap terjaga, saat ini proses pembuatan masih dipesan dari Bandung langsung, dengan alasan bila dicetak di lokal, maka hasilnya kurang memuaskan.

Kemudian, guna menjaga ciri khas bahwa karya tersebut adalah hasil buatannya, maka hak paten akan segera dibuat. “Nah, masalah hak paten itu kan biasanya per item nama, jadi sepertinya untuk awal logo terlebih dahulu yang di patenkan dan itu akan secepatnya,” imbuhnya.

Selain T-Shirt, stiker, gantungan kunci juga sudah dibuat. Ke depan akan dibuat kembali, T-Shirt yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Untuk harga kaosnya sendiri saat ini per item di banderol Rp80 ribu. “Untuk penjualan bisa dilakukan langsung maupun via internet dari Facebook dan website,” tandasnya.

Sumber :  economy.okezone.com

Andika Lubis Pengusaha Sukses Beromzet 5M

Meraih kesuksesan bisnis bisa lewat banyak cara. Salah satunya aksi nekat seperti yang dilakukan Andika Lubis. Tanpa bekal, ia pergi ke Amerika Serikat. Kini perusahaan yang dia bangun sukses besar mencatat omzet hingga Rp 400 juta per bulan.

Banyak pengusaha yang sukses meski tanpa modal besar. Salah satunya adalah Andika Rama Lubis. Pria lulusan Arsitektur Institut Teknologi Nasional Bandung ini lebih banyak memulai bisnisnya dengan modal nekat. Toh, kenekatan itu menggiringnya menjadi pengusaha muda ber-omzet Rp 5 miliar per tahun. Saat ini, lewat bendera Eprodeco, Andika berhasil menjadi dekorator tepercaya sejumlah pengelola mal besar di Jakarta. Kliennya mulai dari Plaza Indonesia, sampai perusahaan besar macam Panasonic dan XL Axiata. Satu proyek dekorasi bisa bernilai hingga Rp 300 juta.

Tak hanya dekorasi, lewat induk usaha PT Andrafa Abiatama, Andika juga menyediakan one stop shopping desain kreatif, printing, merchandise, dekorasi, dan event organizer. Sejak pertama kali didirikan pada 2008, klien Andrafa sudah mencapai ratusan perusahaan. Kebanyakan mereka memanfaatkan jasa Andrafa pada acara peluncuran produk.

Dari kecil, Andika yang lahir di Kinabalu, pada 18 September 1974, memang pekerja keras. Ayah Ibunya selalu menekankan untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. “Kalau mau mainan, saya harus beli sendiri dari hasil tabungan, ditambah uang ayah sedikit,” kenang Dika, begitu ia disapa.

Demikian pula saat kuliah. Lantaran usaha ayahnya di bidang desain interior bangkrut terimbas krisis moneter pada 1998, Dika harus pontang-panting mencari biaya tambahan kuliah dengan bekerja serabutan. Beruntung, kala itu Citibank menawarkan program kartu kredit untuk mahasiswa. Ia menjadi agen penjualnya. Keuntungannya lumayan. “Bisa buat nambah-nambah uang kuliah,” ujarnya.

Prinsip kerja keras itu menempa Dika menjadi tidak mudah menyerah dan berani mengejar mimpi. Selulus kuliah, ia sempat bekerja di satu perusahaan. Tapi, tak seberapa lama, ia memutuskan mundur lantaran ingin ingin menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman kerja di Amerika Serikat (AS).

Dengan bermodal pinjaman dari sang nenek sebesar Rp 10 juta untuk membeli tiket, Andika nekat pergi ke AS. Padahal, saat itu situasi tengah genting setelah terjadi tragedi WTC 11/9. Beruntung, ia lolos di pembuatan visa turis sampai administrasi di bandara. Karena hanya berbekal uang 100 dollar AS dari pamannya, ia terpaksa tidak makan saat pesawat transit di Singapura dan Jepang.

Sesampai di AS, Dika menyambangi tantenya untuk menumpang hidup. Lantaran hanya menumpang, ia tak berani meminta uang lebih. Ia memutuskan mencari pekerjaan. Peluang termudah adalah menjadi loper koran. Kebetulan, ada seorang loper koran dekat tempat tinggal tantenya mempercayakan pekerjaannya ke Dika.

Saban dini hari, Dika mengantarkan koran dengan meminjam mobil sang tante. Upah mengantar koran lumayan. Dalam dua minggu, ia mendapatkan bayaran 1.500 dollar AS. Tak sampai dua bulan, ia bisa bayar utang ke neneknya.
Hidup Dika juga banyak ditopang oleh belas kasih orang lain. Selama belum memiliki visa kerja, ia ditolong seorang warga China-Amerika. “Saya menggunakan ID dia selama bekerja,” ujarnya. Singkat cerita, Dika mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa pelajar. Ia ingin kuliah di universitas swasta di bidang manajemen bisnis. Tak disangka, ia diterima.

Sembari kuliah, Dika menambah jam kerjanya dengan menjadi penjaga toko, mulai dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Ia tidur selama dua jam, lantas mulai pukukl 24.00 hingga pukul 06.00 mulai mengantar koran. Ia melanjutkan waktunya untuk kuliah mulai pukul 7.00 pagi sampai pukul 13.00 siang. “Saya melakukan rutinitas itu selama empat tahun,” ujar Dika. Pada tahun 2003, ada kabar duka datang dari Indonesia. Ayahnya meninggal dunia karena sakit. Ibunya memanggil pulang Dika. Ia harus menggantikan sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Dengan berat hati, Dika meninggalkan bangku kuliah dan memulai usaha dari nol di Indonesia.

Usaha pertamanya adalah membangun creative design dan event organizer bersama seorang teman. Usaha itu sempat sukses dan berhasil membukukan omzet hingga Rp 2 miliar per tahun. Sayang, lantaran ada konflik internal, Dika memutuskan keluar.

Bermodal uang tabungan, bersama sang istri, Rany Fauziah Pospos, yang dinikahinya pada tahun 2005, Dika membangun usaha tandingan. Lewat bendera Andrafa Abiatama, ia mulai mendapatkan aneka proyek. “Pertama, saya dipercaya Panasonic menyediakan aneka merchandise dan produk printing,” kata Dika.

Dika juga menggarap dekorasi mal dan interior apartemen. Sejumlah apartemen di Jakarta pernah mendapat sentuhan desain Andika. Kini, ia tengah bernegosiasi membangun dekorasi panggung acara sirkus. “Nilainya mencapai Rp 700 juta karena panggungnya harus kuat dinaiki gajah,” kata Dika.

Sumber :  ferri239.wordpress.com