Senin, 07 Oktober 2013

1. Sukses Bergelut Diusaha kulit kacang



Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur.  Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai.

Eny Prihtiyani warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.
Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.

”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,” katanya.

Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.

”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah kami,” ujarnya.

Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar mengolah tahu.

Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja,” cerita Edy

Eksperimen

Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit kacang.

Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang, briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan tongkol jagung.

Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.

Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya mencapai 180 kg kulit kacang. Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.

”Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional. Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar,” ujar Edy.

Sederhana

Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis Bantul ternyata cukup membantu.
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.

Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah liat seharga sekitar Rp 10.000. ”Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000. Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Edy.
Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau kertas.

Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif. November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citi Peka.
Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.

Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai Desember mendatang.
”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata Edy.

Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam. Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500. Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy. 
Sumber : wirausahamodalkecilkita.blogspot.com

Rezeki Mengucur Dari Bisnis Budidaya Jamur



Menggeluti bisnis budidaya jamur memang menjanjikan sukses besar bagi pelakunya. Peluang inilah yang diambil Sumedi Purbo, warga Dusun Grogol, Cangkringan.

Menggeluti bisnis budidaya jamur memang menjanjikan sukses besar bagi pelakunya. Tanpa mengenal latarbelakang pendidikan, profesi maupun status sosial, semua orang memiliki peluang yang sama untuk bisa sukses menjalankan bisnis budidaya jamur. Peluang inilah yang diambil Sumedi Purbo, warga Dusun Grogol, Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta untuk menapaki kesuksesannya.

Memiliki latarbelakang pendidikan yang cukup tinggi ternyata tidak membuat Medi (panggilan akrab Sumedi Purbo) merasa malu berprofesi sebagai petani jamur. Meskipun beliau mengantongi gelar Sarjana Filsafat dari sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, namun Medi lebih memilih berbisnis jamur dibandingkan harus bekerja di kantoran seperti rekan-rekan lainnya.

Keputusan ini diambil Medi setelah Ia memperdalam ilmu tentang budidaya jamur di daerah Karawang, Jawa Barat dan dibimbing langsung oleh Yos Surya Adinata, seorang petani jamur yang ternyata lulusan S3 sebuah perguruan tinggi di Jerman. Suwarta juga merupakan seorang petani jamur yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Indonesia (UI). Moment inilah yang akhirnya memperkuat tekad dan motivasi Medi untuk lebih menekuni bisnis budidaya jamur.


Kisah sukses Medi diawali dari sebuah pelatihan budidaya jamur yang diikutinya pada tahun 1994. Pada saat itu Medi masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Filsafat UGM. Pelatihan jamur yang diadakan oleh sebuah lembaga riset asal Taiwan itu dijalaninya dengan setengah hati, karena pada awalnya Ia terpaksa mengikuti program tersebut dengan alasan solidaritas terhadap pemuda desa di lingkungan rumahnya yang mendapatkan amanah untuk mewakili Kecamatan Cangkringan guna mengikuti pelatihan budi daya jamur.

 Walaupun Medi telah mengikuti pelatihan budidaya jamur, namun Ia tidak lantas mengerti tentang potensi bisnis jamur. Yang Ia tau hanyalah jamur merupakan salah satu tumbuhan yang hidup ditempat kotor seperti di kayu yang sudah lapuk, di tumpukan sampah atau menempel di kotoran hewan. Bahkan pada saat itu bapak dua putra ini belum berani mengkonsumsi jamur, karena Ia masih beranggapan bahwa sebagian besar jamur mengandung racun dan tidak mengandung gizi apapun.

Setelah mengikuti pelatihan tersebut, di tahun 1996 Medi mulai tertarik untuk mempelajari segala hal tentang jamur. Dari mulai cara budidaya jamur, kandungan gizi, sampai manfaat dan aneka olahan jamur Ia pelajari sebagai modal awal memulai usaha. Bersama dengan rekan-rekannya, Medi kemudian serius menekuni budidaya jamur dengan membentuk Kelompok Tani Jamur Lancar. Dua tahun berjalan kelompok ini telah berkembang menjadi Koperasi Jamur Lancar yang berhasil mengekspor jamur kuping ke pasar Taiwan. Namun sayangnya belum genap 3 tahun berjalan, koperasi jamur tersebut mengalami kebangkrutan saat pasar Taiwan menghentikan impor jamur dari Yogyakarta pada tahun 1999.

Melihat rekan-rekannya mulai meninggalkan bisnis jamur, lelaki kelahiran 21 Agustus 1973 ini masih tetap gigih menjalankan usahanya sembari menambah wawasan dan pengalaman di bidang budidaya jamur. Setelah satu tahun berhasil bangkit dari keterpurukannya, di tahun 2000 Medi pun membagi ilmu yang Ia miliki dengan mendirikan Sanggar Tani Media Agro Merapi sebuah lembaga pengembangan dan pelatihan agrobisnis jamur.

Melalui lembaga Media Agro Merapi, kini Medi yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Jamur Jogjakarta memberikan pelatihan dan binaan kepada para petani jamur di seluruh pelosok Indonesia. Bahkan untuk mengoptimalkan pelatihan yang diberikan, Medi memperdalam ilmunya dengan melanjutkan studi S2 di bidang Agroindustri di UPN Yogyakarta. Melalui petani binaannya, Medi berhasil membudidayakan jamur dengan teknik kultur jaringan serta mengembangkan aneka macam budidaya jamur  seperti jamur kuping, jamur tiram, jamur lingzhi, dan jamur shitake.

Dengan tekad kuatdan kerja kerasnya dalam mengembangkan budidaya jamur, kini Sumedi Purbo berhasil meraup omset ratusan juta dari bisnis jamur yang dijalankannya, serta mendapatkan banyak saudara di berbagai pelosok nusantara berkat pelatihan dan binaan yang diberikan kepada para petani. Semoga profil pengusaha sukses rezeki mengucur dari bisnis budidaya jamur ini bisa menginspirasi para pembaca untuk segera memulai usaha. Karena pada dasarnya selalu ada jalan menuju kesuksesan bila kita mau berusaha. Mulai dari yang kecil, mulai dari yang mudah, mulai dari sekarang. Ayo berbisnis jamur!!!
Sumber : bisnisukm.com

Astra Graphia Optimis Bisa Mengantongi Omzet Rp 3 Triliun



SPC, Jakarta – PT Astra Graphia Tbk berharap kinerja di paruh ke dua tahun ini bisa jauh lebih baik dari tahun lalu. Perusahaan yang memiliki kode saham ASGR ini akan menggenjot dua lini usahanya, yaitu di bidang solusi dokumen dan bidang teknologi informasi dan komunikasi
.
Di segmen solusi dokumen, anak usaha Grup Astra ini akan mengerek kinerja melalui produk baru. Marshel Matulessy, PBS Product Marketing Head Astragraphia Document Solution membocorkan, pihaknya akan menerbitkan empat produk printer baru pada September 2013 mendatang. “Empat produk kami akan terbagi atas tiga jenis, yaitu printer kecil, sedang, dan besar,” ujarnya, seperti dikutip Rabu (31/7/2013).
Lebih lanjut, Marshel menjelaskan, untuk jenis printer kecil, ASGR akan mengeluarkan produk Fuji Xerox dengan tipe C560 yang dibanderol dengan harga Rp 300 juta per unit. Targetnya, tahun ini, perusahaan itu bisa menjual sedikitnya 70 unit printer C560 dan akan menyasar wilayah Papua.

Untuk produk printer sedang, ASGR meluncurkan dua tipe printer, yaitu C75 dan J75. Harga per unit printer jenis ini sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar per unit. ASGR menargetkan total penjualan bisa mencapai 20 unit hingga akhir tahun.

Selanjutnya, untuk printer besar, ASGR akan meluncurkan produk dengan tipe I Gen. Harganya dibanderol Rp 7 miliar per unit. Khusus produk ini, ASGR berharap sedikitnya delapan unit printer bisa terjual sampai akhir tahun ini.

Tahun ini, ASGR akan fokuskan penjualan ke pasar copy shop. Menurut Marshel, segmen ini masih memiliki potensi yang besar. Tahun depan, perusahaan itu juga akan mencoba masuk ke area percetakan.
Arifin Pranoto, Direktur Astra Graphia menambahkan, adanya keempat produk anyar tersebut, divisi solusi dokumen bisa menyumbang pendapatan hingga Rp 850 miliar. Hingga semester I-2013, ASGR meraup fulus hingga Rp 650 miliar dari bisnis tersebut.

Maka, sampai tutup tahun 2013, pendapatan dari divisi solusi dokumen diharapkan bisa berkontribusi sebesar Rp 1,5 triliun terhadap Astra Graphia. Sementara itu, ASGR juga berharap bisa mendulang fulus dari divisi usaha yang lain, yaitu yang lain, yaitu teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui anak usaha, PT Astragraphia Information Technology (AGIT), lini bisnis ini diharapkan bisa menyumbang sekitar Rp 1,5 triliun terhadap ASGR. Sehingga, di akhir tahun, Astra Graphia sedikitnya bisa mengantongi omset Rp 3 triliun. Hingga semester I-2013, ASGR membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 966,41 miliar.
Sumber : Kontan

1. KISAH SUKSES PETERNAK AYAM DI BOGOR



Perkenalkan nama saya Agus Suhendar, peternak ayam broiler asal Bogor, tepatnya Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Ada sedikit pengalaman yang ingin saya bagikan kepada teman-teman peternak ayam broiler.
Berawal dari kekhawatiran akan kualitas sapronak yang menurun terhitung mulai bulan September 2012 hingga sekarang yang menyebabkan produksi juga ikut menurun, padahal harga sapronak terus naik. Berbagai cara saya lakukan, antara lain: meningkatkan manajemen, mencari pakan alternatif, memberikan obat untuk meningkatkan performans, melakukan program pemberian pakan, tetapi hasilnya tidak ada, malah menambah ongkos produksi.

Melalui Dokter Unggas, saya disarankan untuk mencoba menggunakan suatu produk yang bisa memaksimalkan pertumbuhan. Satu buah jerigen ukuran 5 liter tanpa label atau merek datang ke rumah saya melalui Dakota Cargo. Sang pemilik produk SMS saya agar saya mencoba untuk ayam 1.000 ekor saja dengan dosis 1 sendok makan untuk 4 liter air. Awalnya saya ragu, soalnya saya pernah menggunakan produk probiotik untuk meningkatkan performans ayam broiler saya, hasilnya biasa saja. Maka dari itu saya hanya menggunakan produk ini untuk ayam 1.000 ekor sesuai petunjuk, padahal dalam satu kandang terdapat 8.000 ekor ayam.

Produk ini saya gunakan mulai umur 5 hari, 5-6 jam sehari, waktu pemberian sore hari. Umur 7 hari belum terlihat reaksi dari produk ini untuk pertumbuhan, hanya terlihat dari kotoran yang lebih kering, padahal di minggu pertama saya gunakan pakan dengan kandungan protein tinggi. Umur 14 hari mulai terlihat, bobot ayam mencapai 500 gram dengan FCR 1,097 (hati saya mulai tergerak…sepertinya bagus produk ini), padahal pada ayam yang tidak menggunakan produk ini bobotnya hanya mencapai 460 gram. Kayakinan saya akan produk ini mulai meningkat setelah saya melakukan penimbangan pada umur 21 hari, bobot 920 gram dengan FCR 1,304. Dengan hasil yang diperoleh di minggu ketiga ini, saya sampaikan kepada tim dokter unggas pada saat ayam saya berumur 23 hari beliau jauh-jauh dari Jawa Timur datang ke tempat saya. Beliau melakukan pengecekan mulai dari kotoran, sekam bahkan melakukan penimbangan sendiri. Lalu beliau memberikan satu lembar kertas label dengan tulisan ‘Zipromax‘. Ternyata produk Zipromax lah yang bisa bikin ayam saya sehat, tumbuh dengan cepat, berbeda dengan ayam yang menggunakan produk lain

Dengan keyakinan penuh tanpa sepengetahuan Tim dokter unggas sepulangnya dari Bogor, saya langsung menginstruksikan pekerja kandang agar memberikan sisa Zipromax untuk seluruh ayam yang saya pelihara, dan hasilnya ‘LUAR BIASA’.
Pada umur 26-28 hari ayam saya panen, dengan rata-rata bobot 1,44 kg dan FCR 1,479. Hasil yang sangat menggembirakan!
Periode depan bukan 1.000 atau 8.000 ekor yang akan menggunakan produk Zipromax, tapi 14.000 ekor dalam 2 kandang yang akan menggunakan Zipromax.
Sumber : kandangclosedhouse.wordpress.com

Benny Irawan Putus Sekolah, Sukses Jadi Peternak Ayam Petelur



Banyak remaja putus sekolah yang lantas merasa cita-citanya tidak akan dapat terwujud. Tidak lagi memiliki semangat juang untuk meraih prestasi dalam hidupnya. Tidak demikian halnya dengan Benny Irawan, pengusaha ternak ayam petelur dan trading pakan ternak ayam kelahiran Kartasura, Jawa Tengah.
Situasi politik yang kurang kondusif pada tahun 1966 menyebabkan sekolahnya ditutup dan Benny yang saat itu baru berusia 15 tahun pun kesulitan melanjutkan ke sekolah negeri maupun sekolah lainnya.  Tak ingin menganggur, Benny pun membantu orang tuanya berdagang di toko roti “Liem” tak jauh dari Pasar Kartasura. Kala itu, orang tua Benny juga beternak babi. Dari situlah Benny berkenalan dengan supplier pakan ternak ayam dari Thailand, PT Charoen Pokphand Indonesia pada tahun 1970. Mengikuti intuisi bisnisnya, Bapak dua orang putri ini akhirnya memberanikan diri menjadi supplier pakan ternak ayam pada tahun 1973 lalu pada 1985 Benny membulatkan tekadnya untuk menjadi pengusaha pakan ternak ayam.
Seperti dilakukan orang tuanya, untuk mengatur keuangan dengan cermat, Benny pun menyimpan hasil jerih payahnya dengan menabung di bank. Pilihan Benny jatuh kepada PT Bank Central Asia Tbk. (BCA). Kebetulan kedua orangtuanya juga sudah menjadi nasabah BCA sejak lama. Benny menjadi nasabah BCA  Kantor Cabang Utama Solo Slamet Riyadi sejak tahun 1990 dan langsung merasakan peran BCA dalam perkembangan usahanya.
Masih lekat dalam kenangan Benny, saat mengisahkan cerita suksesnya menjadi pengusaha ternak ayam petelur.   BCA memiliki andil besar dengan memberikan pinjaman modal usahauntuk mengambil alih sebuah peternakan ayam seluas 5 hektar yang kolaps di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada tahun 1990. Karena pihak bank menilai profil usahanya bagus, maka pada tahun 2000 Benny kembali dipercaya untuk memperoleh pinjaman modal dari BCA untuk memperluas peternakan ayamnya.
Kini Benny memiliki lahan peternakan seluas 25 hektar dengan populasi 500.000 ayam petelur dan memberikan lahan pekerjaan tak kurang dari 300 orang. Di bawah bendera PT Sempulur Unggas Raya, peternakan Benny berhasil menguasai 40% market share penjualan telur ayam di Solo dan sekitarnya untuk memasok kebutuhan pasar induk, pasar tradisional dan minimarket. Bahkan setiap harinya, Benny juga mengirim 18 ton telur ayam ke pedagang ritel di Jakarta. “Jangan putus asa meskipun situasi kondisi memaksa pendidikan formal kita terhenti. Kalau kita ada kemauan pasti ada jalan. Kesuksesan itu berawal dari tekad bulat, keuletan, kemampuan membina hubungan baik dengan berbagai pihak dan bisa dipercaya,” ujar pria murah senyum yang dekat dengan kalangan Kasunanan Surakarta dan sangat mencintai budaya Jawa ini.“Selama pelaku usaha tidak pernah melakukan kesalahan dalam berbisnis, maka semua akan running well,” tambahnya.
Bukan hanya usaha ternak ayam petelurnya yang sukses, hingga kini Benny PT Manyar Mandiri, perusahaan miliknya yang bergerak di bidang pakan ternak ayam juga masih berjalan.  Pehobi motor gede ini pun mulai melibatkan kedua putrinya dalam pengelolaan bisnisnya dan memperluas usahanya dengan membuka Rumah Makan khas menu masakan Solo, seperti nasi liwet, nasi rames, ayam bakar dan sebagainya.
Sebagai satu-satunya bank yang dipilihnya menjadi mitra usaha, Benny merasa BCA bukan hanya menjadi mitra bisnis tapi juga pendamping hingga menjadi pengusaha sukses. Mulai dari peminjaman modal, proses transaksi, layanan hingga jaminan keamanan, bahkan sebagian ilmu bisnis diperolehnya karena menjadi nasabah BCA.
Hampir semua pelangganan Benny yang berasal dari dalam maupun luar Pulau Jawa memilih melakukan transaksi bisnis melalui rekening BCA. Tak heran, hingga kini Benny setia menggunakan produk dan layanan BCA.
Sumber : swa.co.id