Minggu, 30 September 2012

Mahasiswa Sukses


Berwirusahalah dengan gigih, penuh ketekunan, tidak gampang menyerah, dan selalu menyikapi segala keadaan dan kebutuhan dengan kreatif, dan memiliki mimpi sukses. Dewi Tanjung Sari (33) adalah tipe orang yang gigih memperjuangkan cita-citanya sebagai pewirausaha sukses. Ia telah memulai usaha sejak awal kuliah di Program Diploma III, Universitas Brawijaya Malang, kemudian mengembangkan usahanya dengan berbagai kendala dan hambatan, melanjutkan kuliah lagi di jurusan yang sama di IKIP  Budi Utomo-Malang, Jawa Timur.
Sebagai anak yatim sejak kecil, anak semata wayang ini telah terlatih hidup mandiri sejak masa kanak-kanak. Ibunya yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menguatkan keinginannya agar kelak mampu menjadi anak yang dapat mensejahterakan ibunya.

Semua berawal dari keinginannya untuk mencari uang, membantu ibunya yang saat itu mulai membuka warung, dan berjualan kecil-kecilan untuk biaya hidup dan kuliahnya. Sejak masuk kuliah di Program Diploma Univeristas Brawijaya, tahun 2003, Dewi sering sepulang kuliah mencari daun-daun kering, limbah yang banyak berserakan di kampusnya untuk digunakan berbagai produk kerajinan.

Daun-daun kering tersebut dibersihkan, kemudian dikeringkan dan dibentuk menjadi pigura foto,  kotak pensil, undangan, dan bentuk kerajinan lainnya. Modal untuk membuat kerajinan tersebut juga tidak banyak, hanya Rp50 ribu. Hasil kerajinan tersebut ia jual kepada teman-teman di kampusnya. Bahkan dalam sebuah pameran produk kerajinan yang diadakan dikampusnya, kerajinan milik Dewi yang dijual seorang teman ternyata habis terjual. 

Suatu hari di tahun 2005, ia bertemu dengan seseorang yang menjadi eksportir produk-produk kerajinan yang terbuat dari berbagai limbah. Ia kemudian  memperoleh pesanan pembuatan kerajinan dari daun kering berbagai bentuk cukup banyak.  Dari sinilah awal usahanya berkembang. Semula semua kegiatan ia lakukan sendiri, namun karena permintaannya cukup banyak ia kemudian melibatkan 16 orang karyawan lepas yang sebagian besar adalah para tetangganya untuk membuat produk kerajinan pesanan untuk ekspor tersebut.  

Namun diluar dugaan, tahun 2007 perusahaan eksportir yang biasa memesan hasil kerajinan kepadanya ternyata bangkrut. Dewi bingung bagaimana harus mengelola orang dan produk yang sudah dibuat. Ia juga berfikir bagaimana melanjutkan usahanya.

Untuk sementara ia menghentikan kegiatan produksi dan mencoba memasarkan sendiri produknya ke berbagai teman. Ia juga memajang produk di warung ibunya, yang berhadapan dengan sebuah kantor. Saat ada orang yang belanja di warung ibunya dan tertarik dengan salah satu produk hasil kerajinan produk Dewi. Tamu tersebut kemudian memesan sebanyak 750 pcs dengan harga Rp1500/pcs yang akan digunakan untuk merchandise perkawinannya.  Bukan main senangnya.

Saat itulah ia menyiapkan produk merchandise dan memberinya label sendiri dengan label De Tanjung. Pada label tersebut tercantum telepon, alamat,  serta website yang dibuatnya secara sederhana. Selain itu ia juga menitipkan produk-produknya ke Gramedia, pusat-pusat kerajinan dengan cara penjualan konsinyasi, hasilnya cukup laku di pasaran. Ia juga rajin menghadiri event fashion show serta wedding expo yang diadakan di berbagai kota untuk mengetahui tren serta perkembangan terbaru dalam industri yang berkaitan dengan wedding. Bahkan secara periodik Dewi juga bekerjasama peragawati untuk melakukan pameran souvenir dan kartu undangan perkawinan. Hal ini ia lakukan karena pernak-pernik, souvenir dan kartu undangan perkawinan sudah menjadi lifestyle, khususnya untuk kalangan menengah atas. Untuk memberikan layanan sesuai anggaran pelanggan, anak tunggal pasangan alhamrhum Adi dan Suharti ini menyediakan aneka produk dari harga Rp3ribu hingga Rp50 ribu per pcsnya. 

Untuk memperluas dan skala bisnis,  Dewi telah mengembangkan usahanya dengan sistem franchise, dan sebagian besar mitranya adalah para pelanggannya yang kini sebagai franchisee di Malang, Bontang, Palu, Bekasi, Cirebon, bahkan Papua. Omzet usahanya juga kian meningkat dari Rp650 juta pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp935juta pada tahun 2009, dan tahun 2010 lalu omzetnya tembus mencapai Rp1,1 miliar dengan keuntungan bersih mencapai Rp273juta.   

Sebuah kebanggaan bagi Dewi, kini ia mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 52 orang yang bekerja dari usahanya. Sebagian besar keryawannya adalah anak-anak muda yang berada di sekitar tempat tinggalnya.“Bagi saya karyawan-karyawan inilah yang membantu usaha saya berkembang lebih besar,” ujarnya.

Sumber : profil-sukses.wirausahanews.com/

Sukses dengan Batik Grup Mirota


Membangun bisnis batik tidak cukup hanya dengan mengandalkan modal dan kerja keras. Tapi juga diperlukan strategi dan kreativitas dalam memasarkan produk batik tersebut. Itulah yang dilakukan Hamzah Sulaiman, seorang pengusaha sukses, pengelola kelompok usaha Mirota. Ini adalah jaringan ritel legendaris di Yogyakarta.
Peritel ini antara lain mengoperasikan, Mirota Batik, yang dikenal sebagai penyedia batik, kerajinan kayu, perak, tas laptop bermotif batik, dekorasi rumah, sepatu atau sandal, topi, tikar, asbak, minyak aroma terapi, dupa, hingga makanan ringan. Sebagai toko batik, suvenir dan kerajinan, Mirota Batik menjadi salah satu tempat favorit belanja wisatawan yang berlibur di Yogyakarta.
Kisah pria kelahiran Yogyakarta, 62 tahun silam, ini mengembangkan Mirota, bermula dari “terpaksa”. Saat berumur 25 tahun, ayahnya, Hendro Sutikno, meninggal pada tahun 1975. Hendro adalah pendiri cikal bakal Mirota. mau tak mau, Hamzah harus mewarisi toko kelontong di Malioboro warisan orang tuanya.
Hamzah bahu-membahu dengan kakaknya, membangun toko kelontong itu hingga besar seperti sekarang. Salah satu upayanya adalah membuka cabang Mirota di Jalan Kaliurang, sekitar 16,5 kilometer (km) dari Kota Yogyakarta. Setelah itu, ekspansi Mirota tak terbendung.
Oh, iya, nama Mirota sendiri berasal dari nama toko roti milik ibunya. Saat itu, ibunya membuka toko roti bernama “Minuman dan Roti Tart” yang disingkat menjadi “Mirota”.
Pusat Mirota hingga saat ini masih berada di Malioboro. Toko yang terdiri dari empat lantai ini selalu penuh sesak oleh pembeli. Toko ini mulai dirintis tahun 1977 dengan modal Rp 80 juta. Toko unik ini berdiri sejajar dengan toko-toko lainnya di jalan Malioboro.
Toh, Mirota mampu menarik minat banyak pembeli karena toko ini dikelola dengan cara unik. Misalnya mendesain toko dengan pernak-pernik budaya Jawa kuno. Kebetulan, sejak kecil Hamzah memang menyukai seni. “Sejak saya umur enam tahun, saya suka menari Jawa kuno,” ujarnya.
Dengan memadukan kesenian Jawa, Hamzah mengaku tidak hanya menjual batik dan suvenir saja di tokonya. Dia juga menjual suasana dengan kekayaan tradisi yang ada di Yogyakarta.
Berbagai ornamen Jawa yang menghiasi interior toko di antaranya bunga-bunga khas Keraton Yogyakarta, pernak-pernik keraton, sesajen dan gamelan. Bagi Hamzah, tokonya harus tampil beda dari toko-toko lain yang ada di Yogyakarta dan Jakarta.
Upayanya itu tidak sia-sia. Terbukti, kehadiran berbagai ornamen Jawa itu mampu menyedot minat konsumen untuk mengunjungi toko tersebut.
Dengan mengunjungi Mirota, Hamzah ingin pembeli sadar bahwa mereka sedang berada di Yogyakarta. Selain memasukkan ornamen jawa, Hamzah juga memiliki kiat lain dalam mengelola tokonya agar bisa sukses. Salah satunya dengan memperhatikan kesejahteraan karyawan
Untuk itu, ia menerapkan sistem bagi hasil. Jika penjualan di toko meningkat, karyawan akan mendapatkan penghasilan yang besar. Jika penjualan turun, pendapatan karyawan juga akan turun.
Mirota Batik kini menjadi salah satu tempat belanja favorit bagi wisatawan yang berlibur di Yogyakarta. Toko empat lantai yang terletak di Jalan Malioboro itu menjajakan berbagai produk batik dan kerajinan khas Yogyakarta.
Mirota Batik memang bukan lagi sekadar toko batik, melainkan pusat barang seni. Setiap pengunjung Mirota langsung disambut alunan gending Jawa, sehingga kesan tradisi Yogyakarta begitu kental.
Tak heran, bila Mirota Batik kini memiliki pasar dan pelanggan sendiri. Semuanya dimulai ketika ayah Hamzah, Hendro Sutikno meninggal dunia di tahun 1975. Kala itu, Hamzah yang baru menginjak usia 25 tahun mewarisi warung kelontong ayahnya di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Di tangannya, warung kelontong tersebut disulap menjadi Mirota Batik. Kecintaan pada seni dan budaya Jawa yang mendorongnya membuka toko batik.
Kebetulan ia juga bisa mendesain batik. “Bakat desain batik, saya kembangkan secara autodidak,” ujarnya.
Saat awal didirikan pada tahun 1978, Mirota Batik belum sebesar sekarang. Selain tempatnya kecil, pembelinya juga masih sepi. Apalagi, Malioboro saat itu masih sepi. Tapi Hamzah tak patah arang. Meski sepi pembeli, ia tetap memasarkan batik-batik hasil desainnya di Mirota.
Usahanya mulai berkembang saat ia menjalin kerja sama dengan pemilik Batik Danar Hadi. Selain mendapatkan pasokan batik dari Danar Hadi, Hamzah juga mendatangkan batik dari berbagai daerah.
Agar isi tokonya lebih bervariasi, ia pun mulai memasarkan barang-barang kerajinan khas Jawa. Untuk itu, ia suka membawa contoh barang ke perajin untuk dipasarkan di tokonya. Hubungannya dengan para perajin ini dimulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu, tak jarang ia mencari perajin hingga ke pelosok daerah. Lambat laun, usahanya itu mulai membuahkan hasil sampai akhirnya dilirik orang.
Selain isi toko makin bervariasi, desain interior toko yang unik juga menjadi daya tarik Mirota Batik. Bisa dikatakan, Mirota kini menjadi semacam miniatur Yogyakarta. Bahkan ada yang berpendapat, bagi wisatawan yang tidak sempat menyusuri Malioboro, cukup berkunjung ke Mirota karena semua sudah terwakili dan tersedia lengkap di sini.
Setelah Mirota Batik di Malioboro makin berkembang, Hamzah pun melakukan ekspansi dengan membuka cabang baru di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Toko di Kaliurang juga berkembang dengan pesat.
Namun, di tengah pesatnya pertumbuhan bisnis yang dikelolanya, sebuah musibah datang menghampiri. Pada 2 Mei 2004, Mirota Batik di Mailoboro terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa pasca kebakaran tersebut. Semuanya ludes dilalap si jago merah.
Namun, Hamzah tidak patah arang. “Cobaan berat itu harus dihadapi dengan sabar dan tetap berjuang,” ujarnya.
Setelah kejadian itu, Hamzah memutuskan membangun Mirota dari nol lagi. Tekadnya terbukti sukses. Mirota berjaya lagi bahkan berdiri menyerupai mal modern dengan ciri khas Yogyakarta.
Jatuh bangun menjalankan usaha sudah dirasakan Hamzah Sulaiman. Pengalaman pahit yang pernah dialaminya ketika Mirota Batik di Malioboro terbakar. Peristiwa itu terjadi pada 2 Mei 2004.
Tidak ada satu pun yang tersisa pasca kebakaran tersebut. Semuanya ludes dilalap si jago merah. Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Pantang menyerah dan terus berusaha memang menjadi moto hidupnya.
Untungnya, ia masih memiliki sisa tabungan untuk membangun kembali Mirota. Hanya dalam waktu setahun, Hamzah berhasil membangun kembali gedung Mirota Batik di Malioboro.
Bahkan, gedung baru tersebut tampak lebih megah dari bangunan lama. Terdiri dari empat lantai, Mirota Batik kini menyerupai mal.
Yang memakan waktu agak lama ketika ia harus mengisi dan mengembalikan detail toko. Konsepnya, ia ingin membangun tempat wisata belanja batik dan kerajinan yang nyaman. Tapi, semua kesulitan itu berhasil dilaluinya.
Mirota kali ini lebih mentereng dan lengkap. Jumlah pengunjung pun kian membeludak, terutama di akhir pekan. Setelah Mirota berkembang pesat, Hamzah memutuskan untuk mundur dan menyerahkan pengelolaan toko kepada orang kepercayaan. “Saya memilih pensiun,” ujarnya.
Namun, naluri bisnis tetap saja memanggilnya. Di masa pensiun, ia justru mendirikan restoran bernama House of Raminten. Restoran berbentuk kafe ini berdiri pada 26 Desember 2008 di kompleks rumahnya, di Jl FM Noto No 7 Kotabaru, Yogyakarta.
Hamzah membangun House of Raminten dengan harapan, ia tidak hidup kesepian setelah pensiun. Dengan adanya restoran ini, Hamzah masih memiliki kegiatan untuk menyibukkan diri. Dia ingin agar di masa pensiun ini dapat melakukan hal-hal yang ringan dan disukainya.
Lokasi House of Raminten berada di pendopo, tempat Hamzah latihan menari. Dan, awalnya menu yang ditawarkan hanya mi instan dan sejenisnya
Nah, dari sekadar ingin memiliki kesibukan, kini House of Raminten justru berkembang pesat. Dengan jumlah karyawan mencapai 82 orang, House of Raminten ramai dikunjungi pembeli. Buka selama 24 jam, restoran ini menawarkan menu andalan nasi kucing dengan harga Rp 1.000 per porsi.
Selain itu, resto juga menyediakan juga nasi putih, oseng tempe, serundeng dan teri. Rata-rata harga makanan di House of Raminten sekitar Rp 10.000 dan termahal Rp 20.000 per porsi.
Lantaran sudah besar, pengelolaan restoran kini diserahkan kepada anak angkat yang menjadi kepercayaan Hamzah. Suasana restoran pun dibuat seperti Yogyakarta mini, ada kereta kencana dan dokar. Dengan suasana ini, jumlah pengunjung terdongkrak. Dalam semalam pemasukannya mencapai Rp 1,5 juta.
Karyawan restoran ini bukan berasal dari kalangan profesional. Sebab, yang menjadi pelayan kebanyakan adalah karyawan lama Hamzah di Mirota Batik. Tugas mereka melayani dan menyajikan makanan pesanan para pembeli.
Namun, karyawan tersebut saling berbagi pengalaman, termasuk dalam hal memasak. “Ada juga karyawan yang ahli memijat, namun juga pintar memasak,” jelasnya.
Perusahaan adalah milik karyawan, karyawan adalah bagian dari perusahaan. Demikianlah motto Hamzah Sulaiman dalam mengembangkan usahanya selama ini. Sejak awal merintis usaha Toko Mirota Batik, ia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Baginya, karyawan merupakan pihak yang harus dirangkul dalam mengembangkan bisnis. “Sebagai pemimpin, saya harus bersama-sama karyawan membangun usaha ini,” kata Hamzah.
Contohnya, ketika Mirota Batik di Malioboro terbakar pada 2004 silam. Tak lama setelah peristiwa itu, Hamzah langsung mengumpulkan karyawan Mirota yang saat itu berjumlah sekitar 100 orang.
Di hadapan para karyawan, Hamzah menegaskan bahwa tak ada satu pun karyawan yang dipecat. Padahal, saat itu, Mirota sudah ludes dilalap si jago merah, dengan nilai kerugian diperkirakan mencapai Rp 4 miliar.
Kepada karyawan ia menegaskan, kebakaran Mirota bukan saja kerugian bagi dirinya, melainkan karyawan juga. Ia pun mengajak karyawan bangkit bersama dan membangun Mirota kembali. “Bagi saya, karyawan merupakan aset yang paling berharga,” ucapnya.
Metode ini terbukti sukses membangkitkan kembali kejayaan Mirota Batik. Setelah sukses, ia tidak lantas melupakan karyawan yang sudah bersusah payah ikut membantu mengembangkan usahanya.
Keuntungan Mirota tidak hanya dinikmati oleh Hamzah sebagai pemilik saja. Bahkan, karyawan juga diberi kesempatan memiliki saham. Karena memiliki saham, karyawan berhak mendapatkan dividen.
Sistem bagi hasil ditetapkan berdasarkan porsi kepemilikan saham karyawan di Mirota. Selain menerapkan sistem dividen, Hamzah juga membangun kompleks perumahan untuk didiami para karyawannya.
Hingga kini sudah ada empat kompleks perumahan karyawan yang dibangun Mirota. Pembangunan rumah ini bertujuan untuk membuat hidup karyawan lebih terjamin dan sejahtera. Dengan begitu, mereka bisa benar-benar fokus dengan pekerjaannya.
Hamzah juga memberikan gaji lumayan besar bagi karyawan. Di Mirota Batik Malioboro, saat ini terdapat 260 karyawan dengan gaji rata-rata Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan. Sementara jumlah karyawan di Mirota Batik Kaliurang sebanyak 15 orang, dengan gaji rata-rata Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan per orang.
Sementara jumlah karyawan di Restoran House of Raminten sebanyak 82 orang dengan gaji rata-rata Rp 3, 1 juta per orang. Gaji tersebut tergolong tinggi di Yogyakarta yang terkenal dengan standar biaya hidup yang rendah.
Dengan pendekatan semacam itu, seluruh karyawan betah bekerja dengan Hamzah. Lantaran banyak yang bertahan lama, hubungan Hamzah dengan karyawan sudah ibarat hubungan keluarga.
Kepada karyawan, ia juga tidak pernah marah. Kalaupun ada yang salah, ia tetap menegur dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus. Semua karyawan juga diajari sopan santun, dengan memberi contoh kepada mereka tentang tata krama dan bicara lembut.
Sumber : wirasmada.wordpress.com

Lakshmi Mittal Pengusaha Sukses

Lakshmi Mittal, Pengusaha Baja Terbesar di Dunia, yang mempunyai kekayaan senilai 32 Milyar USD atau sekitar 288 Trilyun Rupiah, yang menempati rumah mewahnya di London senilai Rp. 1 Triliun rupiah, bertetangga dengan orang-orang terkaya di dunia seperti Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei dan Raja Al Fahd dari Arab Saudi. Lakshmi Mittal ini sendiri merupakan orang terkaya di London, mengalahkan kekayaan Sri Ratu Inggris, pemimpin negara yang pernah menjajah negaranya Mittal yaitu India. Dan Hebatnya Lagi, Mittal ini memulai kerajaan bisnisnya dari sebuah daerah di Waru yang merupakan lintas Sidoarjo Surabaya, Indonesia. Woww ...

Lakshmi Mittal sendiri merupakan anak dari keluarga Mohan. Mohan ayah dari Mittal ini memberikan nama awalan Lakshmi di depan nama anak-anaknya, yang berarti Dewa Kekayaan. Mohan merupakan orang tua yang mementingkan pendidikan buat anak-anaknya, ia sadar bahwa pendidikan merupakan bekal sukses buat anak-anaknya. Untuk itu, Mohan yang tahan kerja keras, berani mengajak keluarganya bermigrasi dari tempat kelahiran mereka di sebelah barat India, ke sebelah timur India, agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan yang lebih baik di wilayah timur India ini. Mohan, si ayah memulai usaha di bidang baja, dengan membuat pabrik kecil. Mittal sambil kuliah, membantu ayahnya di bengkel baja. Mittal mewarisi semangat kerja keras ayahnya dan juga ia termasuk anak yang cerdas dan teliti. 

Sambil kuliah dan bekerja membantu ayahnya di pabrik baja milik ayahnya itu, Mittal berpikir bagaimana cara mengembangkan pabrik itu menjadi lebih besar. Namun, kondisi lingkungan berkata lain. Kondisi negaranya yang mengenakan pajak yang tinggi, hampir 97% dan adanya pembatasan kuota, memaksa Mittal berpikir mencari alternatif lain. Setelah menamatkan pendidikannya dan berkeluarga dengan anaknya yang baru berumur 1 tahun, Mittal melihat adanya peluang baru berkembang dan kesempatan besar di negara Indonesia. Ia pun memutuskan untuk merantau ke luar dari India menuju Indonesia. Keberanian ayahnya merantau dari sebelah barat ke timur India, membuat Mittal jauh lebih berani merantau ke luar negaranya. (Ehhhhmmm… guru kencing berdiri, murid kencing berlari).Dengan membawa istri dan anaknya yang baru berumur 1 tahun, Mittal bermigrasi ke Surabaya, tepatnya di Waru Sidoarjo. Di negara kita ini, ia hanya mempunyai saudara, yaitu saudara perempuannya yang terlebih dahulu sudah datang ke Indonesia menikah dengan warga negara Indonesia keturunan India yang berwirausaha di bidang Tekstil. Dengan segala keterbatasan bahasa, Mittal merekrut Nur Saidah, warga lokal untuk membantunya mendirikan usaha. Mittal waktu itu masih belum bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya pun tidaklah sempurna. Ia mendirikan pabrik baja kecil di daerah Waru, perbatasan Sidoarjo-Surabaya (kira-kira, kenapa. Area pabriknya merupakan daerah terpencil, dimana banyak orang menyebutnya sebagai “daerah tempat jin buang anak” ). Nur Saidah seorang wanita asal Surabaya ini menempuh perjalanan yang boleh dibilang berat untuk tiba di lokasi pabrik baja ini. Terkadang harus mengenakan sepatu boot karena daerah ini masih jauh dari memadai. Nur Saidah sekarang ini, menjabat sebagai Pimpinan dari PT Ispat Indo, sebuah pabrik baja di bawah naungan Mittal Corporation Saat ditanya kunci suksesnya, Lakhsmi hanya mengatakan bahwa itu semua adalah hasil sebuah kerja keras. "Banyak orang bekerja keras. Karena itu, jika ingin sukses kita harus bekerja lebih keras dan mendedikasikan diri pada tujuan yang ingin kita capai," sebut Lakshmi. Dengan kekayaan itu, Lakshmi tak lupa pada masa-masa sulitnya. Karena itu, meski tinggal di Inggris, ia tak lupa pada negaranya. Salah satu bentuk kepeduliannya yaitu dengan mengembangkan olahragawan di India agar bisa berprestasi internasional. Ia membuat Mittal Champions Trust dan menghibahkan dana US$9 juta untuk mendukung sejumlah atlet India agar bisa berprestasi dan mengharumkan nama bangsa. Selain itu, ia juga mengembangkan kepedulian pada negara tertinggal, seperti Kazahkstan dan Afrika Selatan, dengan menanamkan investasi di sana.

Sukses memang hak siapa saja yang mau berjuang meraihnya. Lakhsmi Mittal adalah salah satu contoh orang yang mampu merubah nasib dengan perjuangan keras dalam hidupnya. Namun, setelah sukses, ia pun tak melupakan negaranya. Tak hanya itu, ia pun peduli pada negara lain yang tertinggal. Sebuah kesuksesan, memang akan jauh lebih bermakna, jika kita bisa berbagi kepada sesama.


Saya sengaja mengambil kisah sukses pengusaha India satu ini, karena ia mengembangkan awal bisnisnya dari wilayah negara kita, dari yang bukan apa-apa hingga menjadi punya apa saja, tokoh pengusaha sukses dunia, dan karakter serta kondisi kedua negara, Indonesia dan India memiliki kesamaan, sama-sama negara berkembang.


Sumber : ary-widianto.blogspot.com/



Pengrajin Mahar Jadi Pengusaha

Bermula dari Ibu Rodiyah, 44, yang tidak ingin hanya berpangku tangan menjadi ibu rumah tangga biasa. Sejak dulu, dia bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga yang memiliki penghasilan tinggi.
Tekad sederhana itulah yang kini membawanya menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pembuatan pigura, hiasan mahar, dan hantaran kado pernikahan.

Rodiyah mulai merintis usaha pigura pada 1990. Saat itu, kondisi ekonomi keluarga yang serba pas-pasan mendorong dirinya dan suami, Yulianto, 45, mencoba merintis usaha ini.

“Dulu, suami saya bekerja sebagai pegawai honorer di kantor kecamatan di Kediri. Sebagai pegawai honorer, penghasilan yang diterima serba pas-pasan, tidak cukup untuk menghidupi keluarga,” ujarnya saat ditemui di toko miliknya yang diberi nama Toko Pigura Sabar Mulia, Jalan Urip Soemoharjo, Kota Madiun.

Kondisi serba sulit itulah yang mendorong Rodiyah dan suaminya belajar membuat pigura. Perlahan, dia dan suaminya semakin mahir membuat berbagai pigura untuk lukisan, gambar, dan foto. Hasil karyanya itu ternyata banyak diminati oleh pembeli.

Demi menekuni usaha lebih serius, Rodiyah dan suaminya saat itu memutuskan boyongan dari Kediri ke Madiun. Dua anaknya yang saat itu masih kecil yakni Sigit dan Heru juga diajak. “Saat itu, suami saya mengambil keputusan berhenti menjadi pegawai honorer dan serius menggeluti usaha pigura,” ujarnya.

Di Madiun, Rodiyah dan suaminya membuka usaha pembuatan pigura kecil-kecilan. Lambat laun, usaha itu terus berkembang dengan pesat. Untuk mengembangkan lagi usaha pigura itu, Rodiyah juga sempat meminjam modal ke sejumlah bank di Kota Madiun.

Pada 1997, Rodiyah mengembangkan usaha itu bukan hanya pembuatan pigura, namun juga menyediakan pembuatan hiasan mahar dan hantaran pernikahan. Rupanya, jasa pembuatan menghias mas kawin dan hadiah pernikahan itu banyak sekali yang meminati.

Bukan hanya dari daerah Madiun saja, melainkan pemesan dari luar kota juga lumayan banyak. “Pada 2000, usaha pembuatan hiasan mahar dan hantaran kado milik saya sudah cukup terkenal,” ujar Rodiyah.

Dia menangani sendiri pembuatan hiasan mahar dan hantaran pernikahan itu. Dia pun melayani setiap pemesanan berbagai model dan desain mahar maupun hantaran pernikahan yang diinginkan oleh pemesan.

Ada model koin yang ditata berbentuk simbol TNI AU. Ada pula model uang kertas pecahan Rp2.000 terbaru yang didesain simbol Polri dan lain-lain. Biasanya yang memesan hiasan mahar dengan simbol itu adalah anggota TNI AU atau anggota Polri yang bakal menikah.

Pesanan membuat hiasan mahar dan hantaran pernikahan dari masyarakat umum juga banyak. Biasanya, kata dia, mereka memesan hiasan mahar atau hantaran pernikahan berbentuk mesjid, bunga, atau lambang daerah.

Rodiyah mengaku, kini setidaknya dia memiliki 50 desain dan model hiasan mahar dan hantaran pernikahan. Mulai dari desain simbol, lambang, gambar, hingga model-model terbaru. Sedangkan, untuk biaya pembuatan hiasan mahar dan hantaran pernikahan itu tergantung dari tingkat kesulitannya. Ada yang hanya Rp40 ribu hingga yang paling sulit biayanya Rp1,5 juta.

Kini pemesanan pembuatan hiasan mahar dan hantaran pernikahan itu selalu ramai. Bahkan, dalam sebulan rata-rata pemesanannya mencapai 60-70. Selain dari Madiun, pemesanan itu juga kini banyak dari luar kota seperti Surabaya, Solo, Kediri, Tulungagung, Sragen, dan Tuban.

Untuk menjalankan usaha ini, Rodiyah kini dibantu oleh sembilan karyawan. Mereka ada yang mengerjakan pembuatan hiasan mahar, membuat hantaran pernikahan, hingga mengantar pesanan kepada pelanggan.

Dari sisi omzet usaha milik Rodiyah ini juga berkembang pesat. Dia mengaku, pertama kali merintis usaha ini di Madiun modalnya hanya Rp2 juta. Namun, kini rata-rata per bulan omzet penjualan mencapai Rp70 juta.

Meski sudah terbilang sukses, Rodiyah juga tetap sederhana. Dia juga selalu ikut terlibat mengerjakan pembuatan hiasan mahar dan hantaran pernikahan itu. Bagi dia, jalinan dirinya dengan pelanggan harus dijaga terus agar pelanggan merasa mendapatkan sentuhan pelayanan langsung dari dirinya.

Rodiyah yang lulusan SMEA ini juga merasa sangat bersyukur bisa membangun usaha mandiri ini. Dia juga bersyukur lantaran dua anaknya kini bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Mengenai obsesi, Rodiyah mengaku tidak ingin muluk-muluk. Prinsipnya sederhana, dia tipikal orang yang berpikiran apa yang harus diselesaikan dan dikerjakan hari itu harus diselesaikan hari itu juga. Bagi dia, tidak ada istilah menunda pekerjaan dalam kamus hidupnya.

“Ada pekerjaan sekarang, harus diselesaikan tuntas sekarang, itu saja. Bagaimana hari esok, bagi saya adalah apa yang kita kerjakan hari ini,” tandasnya
 


Sumber : jasalogounik.blogspot.com

Modal Pelepah Pisang untuk Usaha


Pelepah pisang yang sudah kering hanya menjadi sampah dikebun. Tetapi dengan tambahan sedikit lem, triplek dan pigura, barang yang tidak terpakai itu bisa diubah menjadi lukisan yang bernilai jula tinggi. Dan yang berhasil memanfaatkan peluang usaha. Unik dan Menarik ini adalah Budi Setiawan dan Heri Andi.
Bermula saat Budi Setiawan dan Heri Andi membuat lukisan dari rumput-rumputan dan kulit bawang putih atau bawang merah. kemudian bahan itu ditinggalkan karena medianya mudah terurai membuat lukisan mudah rapuh dan tidak tahan lama. Warna yang dihasilkan juga kurang bervariasi. Akhirnya, mereka mencoba pelepah pisang untuk dibuat lukisan.
Lukisan pelepah pisang lebih awet dan tahan lama disimpan karena kulitnya yang alot. Selain itu, pelepah pisang lebih kaya warna dibanding media lainnya. Cara membuatnya terbilang mudah, pelepah pisang yang sudah kering dipohon siap untuk dipanen. Kemudian, pelepah pisang kering itu di cuci dan direndam dengan kamper yang dicairkan dengan minyak tanah selama 1-2 jam. Kamper dan minyak tanah fungsinya untuk mengawetkan pelepah pisang dan membuang kuman yang melekat.
Setelah ditiriskan, pelepah pisang dipotong-potong dan siap untuk diaplikasikan di atas triplek yang telah dibuat pola dan dibubuhi dengan lem. Lukisan yang sudah jadi tersebut tinggal diberi pigura.
Usaha ini tidak membutuhkan banyak modal dan merupakan bisnis modal kecil. Budi mengaku hanya mengeluarkan uang untuk bahan, seperti lem, triplek, dan pigura. Sementara untuk pelepah pisangnya, tinggal mengambil di kebun. Mereka hanya perlu merogoh kocek kurang dari Rp 500.000 untuk menghasilkan sekitar 30 lukisan ukuran 50 x 50 cm.
Mereka bisa mendapatkan Rp5.000.000/bulannya dan meningkat ketika pameran atau hari libur. Untuk lukisan ukuran 20 x 30 cm dijual dengan harga 50ribu, sementara lukisan paling mahal dijual sekitar Rp3.000.000 dengan ukuran 1.5 m x 90 cm.
Sumber : bukausaha.com

Sukses Berawal Ampas Kopi


Berbeda dari kedai kopi lainnya, Refresho coffee shop tidak hanya menyajikan aneka macam menu minuman kopi bagi para konsumennya, namun juga melengkapi interior bangunannya dengan beragam jenis perabot rumah tangga yang terbuat dari limbah atau ampas kopi.
Dirintis pada bulan April 2010 silam, awalnya Sasang Priyo Sanyoto (sang owner) menekuni bisnis kerajinan yang semuanya diproduksi dari limbah atau ampas kopi. Namun seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen, sekarang ini Sasang tidak hanya memproduksi aneka macam kerajinan dari limbah kopi saja. Tetapi Ia juga mulai membuka bisnis kedai kopi dengan beragam menu andalan yang banyak digemari para pelanggan.
Mengambil ide bisnis dari tradisi “nyenthe” kebiasaan masyarakat Jawa Timur yang sering mengoleskan endapan kopi pada sebatang rokok untuk mendapatkan sensasi rasa baru. Sasang mencoba melakukan sedikit inovasi, dengan mengaplikasikan tradisi nyenthe pada barang perabot rumah tangga yang ada di sekitarnya. Sebut saja seperti piring, gelas, kap lampu, dan lain sebagainya. Tak disangka-sangka inovasi tersebut diminati banyak konsumen, sehingga Sasang mulai tertarik memasarkan kreasi kerajinan limbah kopi dengan mengangkat Centhe Merchandise sebagai brand produk yang Ia usung.
Melihat respon pasar yang cukup bagus, bapak satu anak ini memberanikan diri untuk melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka usaha kedai kopi. Mengambil nama Refresho yang merupakan gabungan kata “refresh” dan “Indonesia”, Sasang ingin menjadikan kedai kopinya sebagai media refreshing bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bermodalkan uang sebesar Rp 30 juta, Sasang membangun kedai kopi Refresho dengan konsep sederhana namun bersahabat, disesuaikan dengan jargon andalannya yakni “lebih kecil, lebih sederhana, dan lebih bersahabat”. Dimana kedai kopi tersebut sengaja menggunakan konsep sederhana agar bisa dijangkau semua kalangan konsumen, serta senantiasa memberikan pelayanan hangat dan bersahabat bagi setiap pelanggaan yang datang ke kedai kopinya.
Memiliki menu andalan seperti misalnya continental coffe, gingseng coffe, ginger coffe, kopi godhog, fruit coffee (kopi rasa buah), serta coffee late dengan hiasanlatte art yang menawan. Kedai kopi Refresho yang berlokasi di Sidoarjo ini dikunjungi sedikitnya 200 orang tamu setiap harinya. Tidak heran bila omset sekitar Rp 600.000,00 sampai Rp 1.000.000,00 per hari bisa dikantongi pengusaha sukses ini, bahkan angka tersebut bisa melonjak hingga dua kali lipatnya ketika memasuki hari libur atau akhir pekan (sabtu dan minggu).
Berkat kreativitas Sasang Priyo Sanyoto dalam menggabungkan kreasi kerajinan limbah atau ampas kopi dengan konsep bisnis kedai kopi yang Ia bangun, kini omset puluhan juta rupiah bisa masuk ke kantong Sasang setiap bulannya. Tidak hanya itu saja, sekarang ini bisnis kedai kopi Refresho telah berkembang menjadi bisnis kemitraan dan telah tersebar hingga Daerah Tulungagung, Padang, serta Makassar.
Semoga kisah sukses Refresho berawal dari ampas kopi ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus berkreasi dan berinovasi menciptakan peluang-peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan cukup besar. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.
Sumber : bisnisukm.com

Jumat, 28 September 2012

Sukses Usaha Salon

Nama besar bukanlah jaminan sebuah usaha bisa menjadi besar. Justru dengan nama besar namun tanpa disertai bukti kualitas produk, konsumen akan beralih ke produk lain. Demikianlah keyakinan Amrie Syambachrie, pengusaha salon bridal dan rumah mode di Balikpapan.

"Kami tidak pernah gentar dengan kebesaran sebuah produk. Sebab kami yakin, nama besar tanpa bukti nyata produk yang dihasilkan berkualitas, konsumen tidak akan pernah tertarik dan loyal," katanya dalam perbincangan dengan Bisnis di kediamannya di kawasan permukiman Balikpapan Baru.

Setidaknya, kenyataan hal itu sudah dibuktikannya melalui Salon Amrie yang saat ini terbukti menjadi pilihan utama kalangan kelas menengah atas di Kota Balikpapan dan kota-kota di Kalimantan Timur. Dengan mengandalkan SDM berkualitas dan sarat pengalaman, salon yang dipimpinnya nyaris tidak tersaingi, sekalipun dengan salon yang sudah memiliki reputasi nasional.

"Saya bersama suami, bahkan beberapa kali menerima order pengantin dari klien yang sudah bermukim di luar negeri seperti al. Jerman, Belanda. Atau klien-klien kami dari beberapa kota besar di nusantara," ujar ibu tiga anak masing-masing Vicha Mayavirha (18), Illiad Achsyarie (16), Wero Zulfikar Achmad (12), buah perkawinannya dengan Syam Bachrie Achmad, eksekutif di sebuah perusahaan asing di Balikpapan.

Selain mengandalkan SDM berkualitas dan memiliki kompetensi, Amrie tidak pernah lupa mengasah ilmu dengan mengikuti kursus-kursus singkat baik tingkat nasional maupun internasional. Baginya, dinamika di dunia bridal dan rumah mode sangat dinamis sehingga menuntut perlunya upgrading.

Untuk kepentingan hal itu, bersama suami ia rela mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan ilmu di luar negeri. Sejumlah kursus singkat di beberapa negeri seperti Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Perancis, telah memberinya pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga.

"Saya dan suami seringkali pergi bersamaan mengejar ilmu sampai ke luar negeri sekalipun, biar tidak ketinggalan," kata sarjana D2 ekonomi lulusan IKIP Makassar yang kini jadi Universitas Negeri Makassar

Kepada karyawan yang berprestasi, dia juga selalu memberi kesempatan mengikuti kursus-kursus singkat nasional. Tujuannya, biar ilmu mereka terus terasah dan produktif melakukan inovasi demi kepuasan konsumen.

Di bawah Salon Amrie, bernaung 4 bidang usaha meliputi bridal, rumah mode, salon kecantikan dan laundry. Dua diantaranya, bridal dan rumah mode, merupakan unit usaha andalannya. "Dalam sehari, kami setidaknya melayani 15 pasang baju. Kebanyakan diantaranya jenis pengantin Barat dan Cina." Tapi tidak berarti dua unit usaha lain tidak laris. Salon kecantikan misalnya, juga tidak kalah larisnya terutama untuk produk make up, cutting dan pewarnaan rambut.

Dia mengaku tidak membayangkan Salon Amrie yang didirikannya tahun 1989 dengan modal seadanya itu bisa berkembang sebesar saat ini. "Waktu itu, saya dan bapak hanya semata menyalurkan hobi. Saya suka menjahit pakaian, sementara dia hobi fotografi."

Namanya hobi, tuturnya, seringkali masalah untung rugi tidak menjadi masalah. Seringkali orang yang datang ke salonnya terutama kerabat dekat atau kenalan menikmati layanan gratis karena dirinya sungkan menolak permintaan gratis.

"Ya, sudahlah. Hitung-hitung hobi tersalur. Waktu itu lumayanlah, cukup menutupi modal usaha. Istilah orang, ...kembali pokok," ungkap dia tersenyum.

Seiring perjalanan waktu, didorong sang suami ia kemudian merintis pendirian rumah mode pada tahun 1994 Di tahap inilah prinsip business oriented sudah mulai diterapkan secara konsisten.

"Segmen yang kami sasar pun bukan sembarang orang. Umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas, terutama pejabat pemerintahan, pengusaha, ekspatriat, ibu-ibu pejabat pemerintahan."

Secara perlahan klien salonnya semakin banyak, hingga jumlah karyawan yang ada saat itu sebanyak 12 tenaga penjahit dirasakan sudah tidak bisa mengimbangi permintaan. Kini, tidak kurang 30 tenaga penjahit profesional dipekerjakan di rumah mode dan Salon Amrie.

"Mereka adalah tenaga-tenaga profesional berpengalaman yang berasal dari kota besar-kota besar seperti al. Jakarta."

Secara keseluruhan, 60 karyawan bernaung dibawah Salon Amrie yang berlokasi di kawasan jalan Gunung Sari Kota Balikpapan. Menurut pengakuan Amrie, modal yang digunakan dalam menjalankan usahanya ini sepenuhnya modal sendiri.

"Saya akui, usaha ini berkembang pesat berkat dukungan dan dorongan penuh dari suami," katanya mengaku beruntung bisa mendapatkan jodoh seorang suami yang memberinya ruang bergerak untuk menyalurkan kreativitas.

Kini, buah kerja keras sepasang suami istri selama 13 tahun lamanya sudah mulai dinikmati. Dari Salon Amrie Grup yang disebut-sebut memiliki omset Rp 1 miliar setahun itu, dia sudah memiliki rumah dan mobil mewah serta bisa menyekolahkan dua anaknya ke luar negeri. 

Sumber : ciputraentrepreneurship.com

Sukses Ayam Kremes


Apabila membicarakan tentang kuliner dalam bisnis maka akan ditemukan beragam padanan yang tercipta. Hal ini bergantung dari kreativitas dan kemampuan pebisnis untuk membuat usahanya bertahan bahkan berkembang dengan lebih baik lagi. Usaha kuliner menawarkan peluang yang tidak akan pernah habis untuk digali. Penikmat kuliner sendiri memiliki keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru sehingga sebagai seorang pengusaha kreativitas diperlukan. Untuk bisnis kuliner sendiri ada berbagai makanan yang terbuat dari bahan yang mudah ditemukan di sekitar kita, seperti ayam. Usaha kuliner dari ayam bisa menjadi pilihan bagi para pengusaha. Dengan bahan utama ayam, pengusaha bisa membuat berbagai makanan seperti ayam kremes, ayam goreng, ayam bakar, dan lain-lain.

Usaha ayam kremes memiliki banyak penggemar karena rasa makanan ini gurih dan lezat. Selain itu bahan baku daging ayam mudah diperoleh, begitu pun dengan penjualannya. Penjualan ayam kremes dapat dilakukan dimana saja, di restoran, warung makan, warung tenda atau memakai gerobak. Usaha ayam kremes memakai bahan baku ayam goreng yang dibumbui dan diberi taburan atau melekat dengan kremesnya. Sedangkan kremes sendiri adalah remah renyah yang terbuat dari tepung yang bisa menambah penampilan dan cita rasa ayam goreng sehingga lebih bernilai. Dalam ayam kremes selain bisa merasakan lezatnya daging ayam, remah gurihnya dapat dijadikan teman makan. Ada berbagai macam bentuk usaha ayam kremes ini, bisa dibuat ayam kremes siap saji atau dalam bentuk hidangan lengkap dengan nasi atau dapat juga dijual terpisah dari nasi. Jika usaha ayam kremes siap saji yang dipilih maka akan terlihat lebih unik jika dilengkapi dengan sambal yang enak. Dengan berasumsi bahwa produk ayam goreng ini berjalan simana untuk tahap awal bisa menjual rata-rata 15 ekor per hari maka omset yang diharapkan adalah Rp. 450.000,-/hari. Omset tersebut didapat atas dasar harga ayam goreng ini Rp. 30.000,- jauh lebih rendah dibandingkan harga produk sejenis. 

Keuntungan bersih didapat dari harga jual sebesar Rp. 30.000,- dikurangi total biaya sebesar RP. 26.000,- jadi Rp. 4.000,- adalah keuntungan yang diperoleh dari seekor ayam. Dengan demikian ekspektasi pengembalian modal (Return on Equity) yang akan diperoleh adalah 15% dihitung dari keuntungan dan modal yang dikeluarkan.

Sumber : infousahaku.com

Bengkel Vespa Berkualitas

PENGALAMAN menjadi guru paling berharga dalam menggeluti bisnis. Itu dibuktikan oleh Dudi Purwanto yang kini sukses menekuni bisnis bengkel Vespa beromzet Rp500 ribu per hari.

Tidak mudah memulai bisnis, apa pun bentuknya.Hal itu dibuktikan oleh pemuda kelahiran Jakarta bernama Dudi Purwanto. Sukses yang didapatnya saat ini dengan membuka bengkel Vespa di Jalan Kayu Manis Timur 11, Jakarta Timur, diraih setelah melewati waktu bertahun-tahun.

Itu pun setelah melalui kerja keras sejak merintis usaha. Sebelum bengkel bernama Gaya Mandiri (GM) tersebut berdiri, jatuh bangun membangun bisnis dijalani pria yang dikenal dengan sapaan akrab Doyok itu. Bahkan berkali-kali dia ditipu rekan bisnis sendiri yang dianggapnya memiliki niat baik dan bisa menjalankan bisnis bersama-sama.

Kisah sukses Doyok membangun bisnis dengan membuka bengkel berawal dari pemikirannya ketika bekerja di sebuah perusahaan swasta. Menurut dia, menjadi karyawan tidak ada jaminan untuk hari depan, termasuk tak mendapatkan kesejahteraan di hari tua. “Kalau bekerja sebagai karyawan, masa depan tidak terjamin. Belum hari tua nanti,” katanya ditemui di bengkel miliknya.

Sejak pemikiran itu muncul, dari situlah Doyok mulai berencana untuk membangun bisnis sendiri. Waktu itu pada 1995, Doyok memutuskan untuk keluar dari perusahaan tempat dia bekerja.

Langkah pertama berbisnis, Doyok melakukan kerja sama dengan temannya. Namun sayang, ketika usaha pertama yang dirintisnya, yakni bengkel untuk motor Jepang berkembang, Doyok justru ditipu teman bisnisnya.

“Waktu itu saya hanya kuat berbisnis dengan teman selama enam bulan, saya ditipu,” ungkapnya mengenang masa pahit menjalankan bisnis.

Setelah ditipu teman sendiri, Doyok kembali kehilangan segalanya. Modal awal untuk membuka bengkel motor pertamanya itu ludes dibawa kabur oleh rekan bisnisnya.

Namun, kegagalan pertama tersebut tidak membuat Doyok menyerah. Pria berkacamata tersebut akhirnya memutuskan untuk kembali membuka bengkel dan melakukan kerja sama. “Waktu itu, untuk memulai lagi, saya terpaksa meminjam uang,” kenangnya.

Namun, usaha bersama tersebut kembali runtuh. Doyok kembali tertipu teman sendiri. Dalam masa-masa trauma untuk menggeluti bisnis kembali, Doyok mendapat saran dari orang-orang dekatnya untuk kembali membuka bengkel, namun bukan motor buatan Jepang.

Dia disarankan untuk membuka bengkel khusus Vespa. Saran itu akhirnya diterima oleh Doyok dan akhirnya membuka bengkel Vespa dengan nama GM. Awal membuka usaha tersebut, bengkel milik Doyok hanya berukuran kecil dan terletak di beranda depan rumah orang tuanya.

Ujian bagi Doyok untuk merintis bisnis saat itu kembali terulang. Setelah tiga bulan bengkel tersebut berdiri, belum satu pelanggan pun datang untuk memperbaiki Vespa, apalagi datang meminta bodinya dicat biar lebih bagus. “Kalau diingat-ingat, tiga bulan pertama buka bengkel itu, tidak ada satu pun pelanggan yang masuk,” katanya.

Namun, Doyok tetap bersabar. Memasuki bulan keempat, pelanggan pertama pun datang meski teman sendiri. “Ada Vespa satu yang masuk, rasanya senang sekali. Vespa itu akhirnya saya pinjam dan saya pelajari detailnya,” kata Doyok.

Sejak itu, keberuntungan Doyok mulai terlihat. Sejak itu pula satu demi satu bengkelnya banyak didatangi para pemilik Vespa. Mulai dari servis hingga mengecat bodi dengan berbagai warna yang menarik dan inovatif. “Sejak itulah bengkel ini mulai banyak diminati. Saat ini saya kewalahan melayani perbaikan Vespa yang masuk,” ujarnya bersemangat.

Dari pengalaman menjadi mekanik di bengkel miliknya, Doyok menjadi tahu bahwa pelayanan yang berkualitas dan hasil pekerjaan memuaskan membuat dia tidak pernah takut kehilangan pelanggan. “Bagi kami kepuasan pelanggan itu nomor satu,” ungkapnya.

Selain itu, pengalaman ditipu teman, bahkan sampai dua kali, membuat Doyok menjadi lebih percaya diri bahwa dia bisa menjalankan bisnis sendiri. Dalam mengelola bengkelnya, Doyok tidak mau tanggung-tanggung.

Untuk itu, walaupun sudah memiliki tiga orang karyawan, Doyok tidak sungkan-sungkan ikut membantu karyawannya memperbaiki atau mengecat motor keluaran Italia tersebut dengan tangan sendiri. “Jangan mentang-mentang sudah bos, anak buah disuruh kerja sendiri,” katanya merendah.

Berkat ketelatenan dan semangatnya untuk terus maju, sekarang Doyok sudah memiliki ratusan pelanggan. Bahkan menurut Doyok, ada satu keluarga yang menggunakan Vespa selalu memperbaiki atau menyervis ke bengkelnya.

Sumber : economy.okezone.com

PHK Bukan Berarti Berhenti


Menjadi korban PHK tidak selamanya membuat nasib terpuruk. Justru setelah PHK, Aswan Nasser sukses berwirausaha di bidang perlengkapan bayi bermerek La Vindhy Children & Baby Wear. Kini Aswan mampu mencatat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. Bahkan dia sudah ekspor produknya itu ke Afrika Selatan.

Membangun usaha dari hasil jerih payah sendiri memang tak semudah membangun usaha hasil warisan. Hal itulah yang dirasakan Aswan Nasser, pemilik merek La Vindhy Children & Baby Wear yang merintis usaha perlengkapan bayi pada tahun 2004.

Walaupun sulit, Aswan membuktikan dengan kerja keras ia bisa membangun usahanya itu. Kini, Aswan sudah memiliki tiga gerai penjualan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat. Selain itu, Aswan juga memasok perlengkapan bayi ke sejumlah toko dan department store yang ada di Bandung hingga Jakarta.

Tak puas hanya menjadi produsen kelas lokal, sejak beberapa tahun silam, Aswan merintis ekspor perlengkapan bayi merek La Vindhy Children & Baby Wear ke Afrika Selatan dan Hongkong. "Butuh waktu juga untuk bisa ekspor itu," kata Aswan.

Namun dari semua cerita sukses itu, yang membuat Aswan senang adalah dia bisa memberi kesempatan kerja pada orang lain. Lihat saja, usahanya yang kini beromzet sekitar Rp 100 juta per bulan itu, telah mampu menampung sebanyak 32 pekerja.

Aswan mengungkapkan, sebelum terjun ke dunia bisnis, dia adalah karyawan Bank Exim sejak tahun 1987. Dia bekerja di bank milik pemerintah itu selama 13 tahun lamanya. Bahkan saat bank itu merger menjadi Bank Mandiri, Aswan menyandang jabatan Asisten Wakil Direktur Bank Exim. Karena merger itu pula, Aswan pun harus rela kehilangan pekerjaan alias terkena PHK. "Jabatan itu ternyata tidak lama, karena saya keburu di PHK," kenang Aswan.

Setelah PHK, Aswan sempat kebingungan lantaran jadi pengangguran. Walaupun ada niat ingin bekerja tetapi krisis ekonomi membuat lowongan pekerjaan di perbankan menjadi terbatas. "Saya sempat kebingungan, saya itu mau ngapain," jelas pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.
Karena terdesak kebutuhan ekonomi, Aswan memutuskan untuk berdagang. Dengan modal uang pesangon, Aswan memulai jualan seprai serta bed cover. Bersama sang istri, Aswan menjajakan seprai kepada para kolega dan teman-temannya. Walaupun labanya menggiurkan, tetapi seprai itu hanya laris pada waktu tertentu saja alias musiman. "Penjualan ramai hanya bulan puasa saja," keluh Aswan.
Setahun lamanya Aswan bertahan dengan berjualan seprai. Hingga akhirnya, ia memutuskan banting setir menjual produk lain yang lebih menguntungkan dan lebih banyak peminat, yakni berjualan pakaian dan perlengkapan bayi. "Selama masih ada bayi yang lahir, selama itu juga pakaian dan perlengkapan bayi akan dibutuhkan," ungkap Aswan.

Agar fokus untuk berjualan pakaian bayi, Aswan memboyong keluarganya tinggal di kota Bandung. Tujuannya agar bisa lebih dekat dengan produsen perlengkapan bayi yang banyak terdapat di Kota Kembang itu.

Dengan modal sebesar Rp 75 juta, sisa pesangon yang tersisa, Aswan pun serius menggarap usaha pakaian dan perlengkapan bayi itu. Aswan menjual perlengkapan bayi dengan cara memasarkannya dari toko ke toko hingga masuk ke department store.

Setelah mendapatkan langganan, Aswan mendapat batu sandungan. Produsen tempat ia mengambil perlengkapan bayi enggan memberikan barang kepadanya. "Pasokan barang sempat terhenti," ujar Aswan.

Demi menjaga nama baik kepada pelanggan, Aswan memutuskan untuk memproduksi pakaian bayi dengan membuka konveksi sendiri. Ia membeli mesin jahit dan mencari tenaga kerja terampil yang banyak di kota Bandung. "Saya nekat memproduksi perlengkapan bayi sendiri," kata alumni Universitas Diponegoro itu.

Bak gayung bersambut, keputusan Aswan memproduksi perlengkapan bayi mendapat sambutan baik dari sang istri tercinta Sri Gamawati. Kebetulan, Sri mahir menjahit pakaian tetapi bukan pakaian bayi.
Sembari belajar menjahit pakaian bayi, Sri mengkoordinir penjahit terampil asal Bandung untuk memproduksi aneka celana, baju, kaus kaki, dan sepatu untuk bayi. "Istri saya yang memproduksi, saya yang menjual," ungkap Aswan.

Sarjana dari penjualan kopi
Pengalaman berdagang semasa kuliah menyelamatkan Aswan Nasser dari kesulitan akibat kena PHK. Dengan pengalaman jualan kopi saat kuliah, pria 44 tahun itu merintis usaha perlengkapan bayi La Vindy Children & Baby Wear di Bandung. Namun merintis usaha memang tak mudah.
Bekerja belasan tahun di perbankan ternyata tidak menghapus jiwa entrepreneur Aswan Nasser, produsen La Vindy Children & Baby Wear, produsen pakaian dan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat.

Bakat sebagai seorang wirausahawan itu justru semakin kentara ketika Aswan harus kehilangan pekerjaan. Awalnya memang tertatih-tatih, namun Aswan akhirnya mampu membangun bisnis pakaian dan perlengkapan bayi tersebut.

Sebenarnya, Aswan memang tak buta sama sekali tentang dunia usaha. Bagaimana pun, pengalamannya sebagai bankir tentu juga bersentuhan dengan dunia usaha. Apalagi Aswan punya pengalaman sebagai penjual kopi ketika dia masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. "Saat kuliah, saya sudah berjualan. Jadi sudah terbiasa," kata Aswan.

Saat menimba ilmu itu, Aswan sudah nyambi dengan menjadi penjual kopi bubuk produksi orang tua sahabatnya. Ketika itu, dia hanya bermodal semangat. Namun dengan semangat itu pula, Aswan mampu berjualan kopi hingga ke Tegal, Pekalongan hingga ke Cilacap.

Bahkan, dia mengaku keasyikan berjualan sehingga sempat melupakan kuliah. "Sampai-sampai kuliah kerap bolos," kata Aswan dengan tawa mengembang. Dari laba jualan kopi itulah, Aswan mendapatkan tambahan uang saku dan juga untuk ongkos kuliahnya.

Walaupun orang tua Aswan terbilang mampu, Aswan tidak ingin merepotkan mereka. "Awalnya cuma coba-coba ternyata menguntungkan," jelas Aswan.

Nah, setelah jadi pengangguran, Aswan benar-benar mensyukuri pengalamannya berjualan kopi di masa lalu itu. Dari pengalaman itu pula, Aswan kembali tegak berdiri menyongsong masa depannya. "Pengalaman itu menjadi bekal saya sekarang ini," imbuh Aswan.

Aswan mengakui memulai usaha itu memang berat. Bisnis sebagai produsen dan pedagang aneka produk perlengkapan bayi, memang tak selalu bisa berjalan mulus. Bahkan ketika usaha sudah mulai berkembang sekalipun.
Ketika itu, Aswan mengenang, sempat kehabisan stok barang akibat produsen pakaian dan perlengkapan bayi langganannya menghentikan pasokan barang kepadanya. Karena tidak punya produk yang bisa dijual, usaha Aswan pun sempat goyah.

Namun bagi Aswan, merenungi masalah tak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, dia justru mengubah masalah itu menjadi peluang.  Untuk menyelesaikan masalah pasokan tersebut, Aswan memutuskan memproduksi sendiri aneka perlengkapan bayi itu. "Masalah saya jadikan peluang," tegas Aswan.

Saat merintis produksi perlengkapan bayi itu, Aswan menyewa sebuah rumah di Bandung. "Saya dan istri belajar tiga bulan agar bisa membuat perlengkapan bayi itu," terang Aswan.
Pertama kali produksi, Aswan bersama istrinya dibantu seorang karyawan. Dalam sepekan, Aswan mampu memproduksi 40 lusin pakaian bayi. "Hasil produksi itu saya pasarkan ke department store," kenang Aswan.

Setelah produksi berjalan lancar, halangan usaha ternyata belum berhenti. Aswan mengenang, ketika itu ada seorang pembeli yang gagal bayar pesanan senilai Rp 14,4 juta.

Sedikitnya ada 20 lusin tas perlengkapan bayi yang ia produksi menumpuk di rumahnya karena pembeli membatalkan pemesanan. "Hal ini membuat putaran modal saya terhenti," kata Aswan mengenang. Tak hanya itu, Aswan sempat merugi karena pesanan produk yang telah diproduksi itu ternyata tidak sesuai dengan pesanan.

Demi menjaga kepercayaan pembeli pula, Aswan pun rela merugi dengan mengganti semua pesanan yang tak sesuai dengan keinginan pelanggan itu. "Daripada hilang pelanggan, lebih baik keuntungan berkurang," ungkap Aswan.

Menurut Aswan, untuk menjadi pengusaha tangguh pantang patah arang, halangan-halangan usaha seperti yang pernah dia alami adalah sesuatu yang biasa. Ia juga yakin rintangan itu juga bisa terjadi pada pengusaha lain.

Rekrut penjahit pemula
Sukses menjadi pemasok perlengkapan bayi ke departement store membuat Aswan Nasser makin berambisi meluaskan usaha. Setelah membuka tiga gerai di Bandung, La Vindhy telah mempunyai empat terwaralaba. Kini Aswan juga sedang mempersiapkan pembukaan cabang baru di Solo dan Semarang.

Terampil melakukan penjualan membuat usaha pakaian dan peralatan bayi milik Aswan Nasser berkembang pesat. Hingga kini ia telah menjadi pemasok di 30 departement store yang tersebar di Pulau Jawa.

Tidak hanya itu, Aswan juga mulai meninggalkan ketergantungan dari pemasok dan mulai serius membuat produk sendiri. Nah, begitu mempunyai produk sendiri, Aswan pun membuka gerai yang dia beri nama La Vindhy Children & Baby Wear di Bandung. "Hingga sekarang saya sudah memiliki tiga gerai, seluruhnya ada di Bandung," kata Aswan.

Agar usahanya bisa berkembang, Aswan dalam waktu dekat berencana untuk mendirikan cabang di kota Solo dan kota kelahirannya, Semarang, Jawa Tengah. Selain itu, tahun lalu, Aswan juga menawarkan usaha waralaba perlengkapan bayi ini kepada khalayak. tak tanggung-tanggung, usaha waralaba yang ditawarkan Aswan adalah waralaba konveksi dan waralaba toko.

Untuk waralaba konveksi, Aswan sudah memiliki dua terwaralaba, semuanya dari Jawa Barat. Untuk waralaba konveksi itu, Aswan menawarkan paket investasi sebesar Rp 43 juta. Investor yang berinvestasi pada waralaba konveksi itu akan mendapatkan dua mesin jahit, mesin potong kain, bahan baku, serta pelatihan usaha.

Sedangkan hasil produksi dari konveksi bisa dijual lewat gerai-gerai La Vindhy. Hitungan Aswan, setidaknya 60 persen produksi terwaralaba konveksi itu dijual lewat toko La Vindhy. Sedangkan, "40 persen sisanya dijual ke pasar umum," terang Aswan.

Namun, penambahan pasokan perlengkapan bayi dari terwaralaba konveksi itu tidak semerta-merta mampu melayani seluruh permintaan. "Kami baru bisa melayani 25 persen dari total permintaan," terang Aswan.

Untuk melayani semua permintaan, Aswan berencana menambah penjahit untuk konveksi miliknya sendiri. Namun, untuk menghemat biaya, Aswan tidak mencari penjahit profesional. Ia malah mencari pejahit pemula.

Untuk mencari penjahit pemula, Aswan membuat program kursus menjahit gratis di sebuah perkampungan di pinggiran kota Bandung. "Program kursus menjahit gratis ini sedang berjalan," ungkap Aswan.

Peserta kursus menjahit yang dicari Aswan itu berasal dari pengangguran yang ada di perkampungan itu. Setelah diberi kursus dan mahir dalam menjahit, maka peserta itu bisa mendirikan usaha menjahit sendiri atau ikut bergabung dengan konveksi miliknya.

Jika program itu berhasil, maka Aswan tidak hanya mampu menambah produksi dengan menambah tenaga kerja dari penjahit pemula itu. Ia bisa berbangga hati karena ikut membantu tugas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. "Seharusnya program ini mendapat dukungan dari pemerintah," harap Aswan.

Dalam membuat perlengkapan bayi, Aswan mengaku membuat produk yang berkualitas. Sebab, pria asli Semarang itu membidik segmen pasar kelas menengah atas. Namun soal harga, ia berani menjamin harga yang bersaing. Ia memberi contoh, harga gendongan bayi dijual Rp 21.000 hingga Rp 50.000 per potong. Untuk tas bayi dijual Rp 24.000 - Rp 75.000 per potong, sedangkan baju bayi dijual Rp 60.000 per lusin. "Kami memberikan jaminan kualitas," klaim Aswan.

Adapun untuk paket waralaba toko perlengkapan bayi, Aswan mematok nilai investasi sebesar Rp 15 juta. Sejak ditawarkan tahun lalu, kini Aswan sudah mempunyai dua terwaralaba toko perlengkapan bayi. Kedua terwaralaba itu membuka gerai di Bandung.

Walaupun belum banyak yang menjadi terwaralaba, tapi Aswan mengaku tetap menjaga kondisi bisnis terwaralabanya. Ia mengklaim, setelah satu tahun bisnis waralaba berjalan, ia tidak menemukan adanya kendala. "Ini bukti usaha kami mengutungkan, karena tidak ada terwaralaba saya yang merugi," terang Aswan.

Sumber : bisniskeuangan.kompas.com