Kamis, 27 Juni 2013

Darwis Triadi Ikon Fotografi Indonesia

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar nama Darwis Triadi? Fotografi? Barangkali itu bukan hanya akan menjadi jawaban Anda saja, melainkan juga sebagian besar yang lain. Ya, di Indonesia, pemilik nama lengkap Andreas Darwis Triadi tersebut memang begitu identik dengan urusan “memotret”. Bahkan rasanya tidak berlebihan jika dikatakan Darwis—akrab ia disapa—adalah salah satu ikon fotografi Indonesia. Namun, tahukah Anda bahwa sebenarnya Darwis tak sekalipun pernah mengenyam pendidikan formal di bidang yang digelutinya selama puluhan tahun? Berikut petikan kisah hidup pria kelahiran Solo, 15 Oktober 1954 tersebut di bidang fotografi.

Awalnya Darwis muda adalah seorang pilot. Ia sempat menuntut ilmu di sebuah sekolah tinggi penerbangan di daerah Curug, Tangerang sekitar tahun 1975. Namun, belakangan Darwis merasa tak cocok dengan profesinya sebagai penerbang. Pada tahun 1979, akhirnya ia mengambil sebuah keputusan  berani: banting stir ke dunia fotografi. Padahal, pengetahuan Darwis di bidang fotografi kala itu tak bisa dikatakan memadai. Apalagi latar belakang pendidikan formal pria yang kini berusia 56 tahun tersebut pun tak bersangkut paut dengan bidang fotografi. Saat ditanya bagaimana ia dulu menekuni bidang barunya, Darwis menjawab,” Karena waktu itu orang masih belum tahu mau belajar (fotografi) kemana, jadi saya belajar sendiri.” Menuntut ilmu secara otodidak ia lakukan dengan banyak membaca buku dan aktif melakukan praktik di lapangan.

Mengapa memilih berkarier di bidang fotografi? Darwis sendiri tak memiliki jawaban pasti. Yang jelas, berpuluh tahun yang lalu itu ia hanya memikirkan sebuah keahlian yang kira-kira dapat menjadi sumber kehidupannya kelak di masa depan, tanpa perlu kembali ke bangku perkuliahan. “Saya enggak tahu tiba-tiba kepikiran foto. Akhirnya terus saya jalanin foto,” ungkap Darwis. Menurutnya, bidang fotografi di Indonesia pada waktu itu belum terlalu diperhitungkan orang. “Tapi saya berpikir fotografi itu enggak seperti ini nantinya. Makanya saya harus belajar benar,” tambahnya. 

Selama kurang lebih empat tahun, Darwis mencoba menekuni fotografi secara mandiri. Sekitar tahun 1983, ia mulai mencari beragam informasi dan mengikuti kursus fotografi di sejumlah negara seperti Jerman dan Swiss.  Untungnya Darwis bukanlah tipe orang yang pelit untuk berbagi ilmu. Seiring dengan pengalaman dan pengetahuannya yang semakin bertambah, sejak tahun 1985 ia mulai giat menjadi pembicara dalam berbagi seminar dan pelatihan terkait kegiatan “menembakkan” kamera. Dari situ, keinginan untuk membuat sebuah lembaga pendidikan fotografi kemudian timbul. Darwis mengungkapkan,” Pernah waktu itu saya berjanji, kalau saya jadi fotografer beneran, saya mau bikin sekolah fotografi yang nonformal, tapi profesional.” Apa yang mendasari lahirnya janji tersebut? “Mungkin karena dasarnya saya senang ngajar ya,” jawab Darwis. 

Janji itu lunas ketika pada tahun 2002 Darwis berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan fotografi yang diberi label sesuai namanya. Berlokasi di Jalan Pattimura No.2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Darwis Triadi School of Photography membuka kesempatan kepada siapapun yang ingin mahir “menjepret” mewujudkan harapannya. Membuat sebuah sekolah fotografi diakui Darwis tak mudah, terutama dalam menyusun kurikulum. Namun, pemotret yang karyanya pernah dimuat di majalah internasional Vogue dan Hasselblad tersebut tak ingin begitu saja menyerah. Seiring perjalanan waktu, Darwis terus mencoba menyempurnakan kurikulum di sekolah yang didirikannya tersebut.

Dari tahun ke tahun, Darwis Triadi School of Photography menunjukkan perkembangan yang signifikan. Selain sudah mempunyai cabang di Bandung dan Surabaya, sekitar 11 ribu orang juga tercatat pernah menimba ilmu di sekolah tersebut sejak pertama kali dibuka. Inilah salah satu janji yang terlunasi dengan manis. Bagi Darwis sendiri, berkah menjadi kian melimpah karena semakin hari ia semakin merasakan kesenangan pribadi dari aktivitasnya mengajar. Ia menuturkan,”Saya merasakan ngajar itu sangat menyenangkan. Malah kadang saya merasa sangat frustasi kalau yang saya ajar itu enggak ngerti.”

Makna fotografi dalam hidup
Secara terang Darwis mengatakan bahwa ia menemukan makna kehidupan dalam fotografi. Bahkan bergelut dengan dunia yang dicintainya selama lebih dari 30 tahun terakhir telah membuat Darwis merasa dapat mengalami hidup lebih dari dimensi yang sebenarnya. Ia menjelaskan,“Saya motret (karena) ingin menemukan bahwa sebetulnya dasar fotografi itu apa. Bukan hanya sekadar motret jegrek jadi gambar.” Lebih lanjut penulis buku Kembang Setaman, Secret Lighting, dan Terra Incognita itu menguraikan bahwa fotografi telah menuntunnya dalam proses pencarian jati diri hingga akhirnya menemukan makna kehidupan yang sejati.

Passion hidup Darwis memang tercurah pada bidang fotografi. Hal ini membuatnya tak pernah lelah melakoni profesi yang sama selama berpuluh-puluh tahun. Darwis menerangkan,“Karena saya sudah menemukan (bahwa) begitu saya berbicara foto, saya motret, saya hidup.” Begitu menyatunya Darwis dengan fotografi, ia sampai kesulitan menjawab ketika ditanya pengalaman apa yang paling menarik selama menapaki jenjang kariernya. Bagi Darwis, urusan memotret selalu meninggalkan kesan menarik.

Walaupun sudah terjun selama puluhan tahun, dalam beberapa momen Darwis mengaku masih terbebani akan tanggung jawab pekerjaannya. Momen yang bisa membuatnya merasa demikian contohnya ketika ia mesti memotret untuk kepentingan iklan atau mengambil gambar para pejabat. “Untuk saya berat,” kata Darwis. Selain itu, beberapa kali Darwis juga dihinggapi duka terutama jika apa yang ia pikirkan, rencanakan, atau imajinasikan tidak terealisasi dalam foto sebagaimana yang diharapkan. Namun, Darwis segera memberi catatan dengan mengatakan,” Tapi sukanya, karena itu pekerjaan, hobi, hidup, (dan) jiwa saya, senang akhirnya. Apapun bentuknya kalau fotografi itu bawaannya senang.”

Tips bagi fotografer pemula 
Perjalanan Darwis hingga berada di posisinya saat ini sungguh panjang. Ia memulai pekerjaan sebagai fotografer dari titik nol. Kepada mereka yang ingin menekuni profesi sebagai pemotret, Darwis pun menekankan pentingnya tiga hal: spirit (semangat), motivasi, dan sikap mental. Menurut pria berkaca mata tersebut, tiga hal di atas terkadang tak dipedomani dengan baik oleh para fotografer pemula. Dalam pandangan Darwis, sejumlah fotografer pemula memiliki daya juang yang kurang tinggi.“Spiritnya, kadang-kadang, anak-anak sekarang kurang tinggi. Semuanya serba instan, ingin cepat,” tukasnya. 

Selain kurang berdaya juang, Darwis menilai sejumlah pemotret pemula juga tampak minim motivasi. Padahal faktor itu sangat penting bagi seseorang untuk bisa menunjukkan yang terbaik dan menjalani fotografi dengan sebuah konsekuensi tanggung jawab moral. Berkaitan dengan sikap mental, Darwis mengambil contoh sikap sombong dan cepat merasa puas terhadap hasil yang dicapai. Ia mengatakan,” Karena (di bidang) fotografi, pada saat kita menganggap kita baik, itu hancur. Sebetulnya sama dengan kalau manusia itu sombong, tinggal ambruknya aja.”

Pesan untuk anak muda
Darwis telah membuktikan bahwa kesetiaan dalam menjalani pekerjaan yang dicintai akan menghasilkan pencapaian mengesankan. Kepada generasi muda, pria yang pernah ditunjuk produsen lampu Bron Elektronik AG asal Swiss untuk mengisi kalender Broncolor tahun 1997 itu menegaskan perlunya ketekunan di bidang-bidang yang tengah dijalani.“Semua bidang yang kita tekuni, pasti menjanjikan,” ungkap Darwis. Lebih jauh ia juga berpesan agar orientasi dalam melakukan sebuah profesi tidak semata-mata tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik. “Yang kita kejar adalah prestasi (dan) dedikasi kita,” lanjut Darwis.

Menurut Darwis, kesuksesan seseorang dalam bekerja utamanya bisa diukur dari seberapa besar manfaat keahlian yang bersangkutan bagi masyarakat banyak. Ia pun cenderung berpikir bahwa urusan rezeki sebaiknya dipisahkan dari tanggung jawab moral terhadap profesi. Dari situ, totalitas menjalani profesi akan dapat tercapai dengan lebih optimal. Darwis mengambil contoh musisi kaya dan terkenal, almarhum Michael Jackson. Ia menuturkan,”Berapa ratus juta orang yang terhibur kalau dia menyanyi? Begitu dia meninggal, orang kehilangan. Itulah hidup makna yang sebenarnya. Selain dia juga menghasilkan (uang) dari itu.” Di ujung perbincangan, Darwis tak ketinggalan berpesan soal pentingnya kecintaan terhadap profesi. “Cintailah profesi itu sama halnya Anda mencintai diri Anda di dalam berkehidupan,” pungkasnya.

Sumber : kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar