Rabu, 01 Mei 2013

Berbisnis Kerajinan Perak


Jiwa seni yang mengalir deras dalam tubuhnya mengantarkan Nyoman Suarti menjadi desainer perak kelas dunia. Ketika dunia bisnis berada dalam genggamannya, ia justru memutuskan pulang ke tanah kelahirannya, Bali. Bagaimana lika-likunya menembus pasar mancanegara? Gelung Arjuna dalam ajang New York Fashion Show itu membetot ratusan penikmat seni kerajinan perak. Memadukan gaya kontemporer dengan sentuhan klasik Bali, produk dengan kerang atau bebatuan indah seperti mutiara dibalut ornamen ukiran khas Bali itu mengantarkan sang desainer, Desak Nyoman Suarti, berkibar di jagat sosialita New York.  Sejak momen yang berlangsung tahun 1980 itu, sosok energik, lincah, ramah dan cekatan itu, mendapat julukan Suarti Perak Bali. Namanya makin berkibar ketika ia mendirikan galeri kerajinan perak Balinesia Inc. di jantung kota New York, 1986. Setelah itu, kiprah Suarti sebagai desainer perhiasan perak melanglang sampai ke London, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya. Pesanan dari selebritas dunia pun membanjir. Produk Suarti muncul di Value Vision, jaringan televisi belanja di Amerika Serikat. Majalah Vogue Alture pun mengulas rancangan kelahiran Ubud, Bali 25 Mei 1958 ini. 

Mengundang decak kagum banyak kalangan, namanya pun menjadi merek desainer kerajinan perak kelas atas. Kini, sudah ribuan desain yang dihasilkan ibu tiga anak dan nenek dua cucu ini. Toh, hujan emas di negeri orang itu justru menggelitik Suarti untuk pulang ke tanah kelahirannya pada 1990. Bersama sang suami, Peter Luce, ia pulang ke Bali dan mendirikan PT Suarti. Padahal, bisnis perak Suarti tengah berkibar di mancanegara seiring kiprahnya membeli perusahaan perak Kanada, Bali Inc.  Suarti tentu punya alasan. Kepulangannya ke Bali ternyata untuk memperbesar produksi. Suarti tak tanggung-tanggung merogoh koceknya hingga Rp 5 miliar buat mendatangkan mesin-mesin produksi agar para tukang peraknya menyelesaikan order tepat waktu. “Waktu penyelesaian menjadi kendala terbesar dalam menyelesaikan pesanan,” ungkapnya. Mesin-mesin ini diharapkan Suarti bisa meringankan kerja para tukangnya tanpa meninggalkan pekerjaan manual yang menjadi syarat sebuah hasil kerajinan tangan. Sementara pemasaran, Suarti sejak awal memfokuskan diri menggarap pasar ekspor saja dengan meneruskan pasar yang telah dibinanya saat masih di AS. Hampir 90% karyanya diekspor ke AS, Australia, Eropa dan negara-negara Asia. Suarti hanya bekerja sama dengan mitra-mitra bisnisnya secara wholesale. “Kebijakan harga ritel produk saya serahkan sepenuhnya pada mitra bisnis,” ujarnya. Dengan sistem ini membuatnya bisa lebih fokus mendesain dan berproduksi saja. “Saya tidak mau direpotkan dengan permintaan perorangan,” tambahnya. Walaupun diakui bila menjual ritel tentu keuntungan yang berhasil diraup akan jauh lebih besar.

Untuk membantu merealisasi ide-idenya, ia membentuk Suarti Design Centre, yang saat ini menaungi tiga desainer yang siap merealisasikan idenya. “Saya tetap memberikan makna dan jiwa pada setiap produk yang digarap tim,” ujar Suarti sambil memperlihatkan hasil desainnya. “Tanggung jawab desain dan memberikan jiwa pada setiap produk Suarti tetap di tangan saya,” imbuh Suarti menggambarkan posisinya sekarang. Dia mengaku tidak akan pernah kehabisan ide mengingat begitu beragamnya budaya Indonesia yang bisa diadaptasi. “Desain saya dipengaruhi gerak tari Bali,” katanya.  Suarti memang teguh mengeluarkan rancangan bergaya tradisional yang mempunyai kesan unik untuk tetap bersaing di pasar internasional. “Saya tetap berkomitmen untuk tampil melestarikan kehebatan budaya,” tutur Suarti di teras belakang rumahnya yang bergaya tropis, menghadap langsung ke laut lepas di Desa Ketewel, Gianyar, Bali.

Dengan 120 karyawan yang bekerja di kantornya yang letaknya berhadapan dengan rumah tinggalnya, dan tidak kurang dari 350 tukang yang bekerja di rumah masing-masing, Suarti merasa agak kewalahan memenuhi order yang harus diselesaikan untuk bulan Mei-Juli, yang menghabiskan bahan baku hingga mencapai tidak kurang dari satu ton perak yang dikombinasikan dengan berbagai bebatuan. Selain memenuhi pesanan mitra bisnis wholesale-nya, secara rutin setiap dua bulan Suarti juga tampil di home shopping network AS dan Inggris dengan air time empat jam untuk memperkenalkan desain terbarunya berupa satu tema terpadu mulai dari cincin, gelang, kalung, anting hingga bros yang rata-rata dihargai US$ 100 untuk cincin, sedangkan kalung US$ 350. Dari tampilnya di TV itu, Suarti mengaku meraih Rp 1-2 miliar per bulan dengan margin keuntungan rata-rata 30%. Pemasaran produk Suarti memang masih ditangani sendiri. Selain rutin tampil di QVC dan Value Vision, ia juga mengikuti pameran di luar negeri untuk mencari mitra bisnis wholesale, sebagai upayanya memperbesar pasar. “Aktif jemput bola. Go and get it. Ayo desainer Indonesia, you can do it,” ujarnya bersemangat. 

Kerja keras dan bertanggung jawab dijadikan dasar pijakan Suarti untuk terus berkembang di pasar internasional. Tak heran ia begitu bersemangat melakukan perjalanan karena baginya tiga showroom yang ia miliki di Bali hanya dipakai untuk memajang contoh produknya dan sisa hasil ekspor (bila ada), bukan untuk menjaring pembeli eceran. Dengan alasan yang sama, ia memilih tidak mempunyai toko sendiri di luar negeri, melainkan hanya mitra bisnis yang diberi kebebasan menjual secara ritel, tersebar di AS, Inggris, Jerman, Australia dan Jepang, yang rata-rata mampu memberi pemasukan hingga Rp 29 miliar ke pundi-pundi Suarti setiap tahun. Karakteristik pembeli di negara maju, menurut Suarti, sangat gampang ditangkap. “Asal bisa jujur, mempunyai komitmen dan bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan,” katanya. Setelah hampir 20 tahun, ia berhasil membesarkan PT Suarti tidak hanya memproduksi aksesori berbahan baku perak. Saat ini tidak kurang dari 9 anak perusahaan bernaung di bawah PT Suarti seperti Suarti Ritual of Fire (fashion jewelry), Suarti Homeware, Suarti Gold, Visnu (pengembangan dan kreasi), Luh Luwih (Sanggar Seni Wanita Bali), Maestro Resto Sanur, Maestro Bistro Celuk, dan Swamitra Visnu (koperasi).

Kejelian mengendus peluang bisnis dipadu dengan kekuatan “jiwa” dalam setiap produk yang dihasilkan adalah kunci keberhasilan Suarti mengekspor aksesori perak ke mancanegara dengan omset puluhan miliar rupiah. Padahal, latar belakangnya bukanlah keluarga wirausaha. Ia justru lahir dari keluarga seniman. Kakek dan neneknya, Dewa Limbak dan Jero Nesa, dikenal sebagai pionir penari Legong Keraton. Sang ibu, Jero Gambir, terkenal sebagai penari Arja yang juga menempa Suarti menjadi penari andal. Sementara sang ayah, Dewa Putu Sugi, berprofesi sebagai pelukis. Alhasil, pada usia 10 tahun (1968), Suarti sudah menyabet juara satu Lomba Tari Taruna Jaya dalam Festival Gong Kebyar se-Bali. Mengikuti jejak ayahnya, Suarti juga piawai melukis. “Saya merasa seolah-olah berada di surga saat mulai membuat goresan di atas kanvas,” tutur sulung dari tiga bersaudara ini. Perasaan itu, menurutnya, karena sebelumnya ia hanya bisa mencoret-coret tanah karena kemiskinan orang tuanya. Lukisan perdananya ini ternyata mengundang kekaguman seorang editor terkenal dari New York, Mr. Levine. Tidak hanya tertarik pada lukisannya, Levine juga mengupah Suarti kecil bersama grup tarinya untuk menari. Di kemudian hari Levine banyak membeli dan menjadi penggemar fanatik lukisan Suarti. 

Perjalanan Suarti sebagai pengusaha sejatinya dimulai dari kepiawaiannya menari. Diawali dengan petualangan pertama ke luar negeri pada 1972 saat diajak bergabung oleh Anak Agung Gede Mandra, penari dan pemilik grup tari asal Peliatan, Ubud – yang sangat terkenal saat itu – menjadi Duta Kebudayaan Indonesia untuk ikut menari di Australia. Sejak saat itu, perjalanan Suarti melanglang buana seolah tak terbendung. Apalagi setelah ia diperistri Charles Levins, warganegara AS pada 1973, yang kemudian mengajaknya menetap di Singapura. Pemerintah Singapura kemudian memintanya menjadi pengajar tari Bali yang dilakoni Suarti sambil belajar fashion. Ia sempat menimba ilmu di Prett School of Design dan New York School of Design. 

Seiring perceraiannya setelah 7 tahun menikah, Suarti memutuskan hijrah ke AS. Ia mulai berkiprah di New York Asia Society dan memantapkan diri untuk hidup di dunia seni dengan mengajar tari di seluruh universitas di AS. Ia kemudian menemukan jodohnya, Peter Luce, tahun 1983. Setelah menikah yang kedua kalinya, Suarti mulai menekuni dunia fashion dengan fokus mendesain dan membuat kerajinan berbahan baku perak. Bermula dari produksi kecil-kecilan dengan jumlah terbatas dan hanya dipasarkan di kampus tempatnya mengajar tari, bisnis kerajinan peraknya ternyata berkembang pesat di luar perkiraannya. Namanya berkibar setelah ia mendirikan galeri kerajinan perak Balinesia Inc. di New York, 1986. Ia mengaku modalnya didapat dari hasil “proyek” Presiden Jimmy Carter, yang mengenalnya sebagai duta seni Indonesia. Ia juga sempat mengamen di restoran-restoran untuk menambah modal demi membesarkan usahanya. Suatu hari, seorang pengusaha terkenal yang juga pemilik gerai perhiasan terkenal di Fifth Avenue New York, Henry Bundle, tertarik mengajak Suarti bergabung menjadi model di toko milik Bundle yang menjual perhiasan dari para desainer terkenal di seluruh dunia. 

Kiprah bisnis Suarti makin menjadi saat dirinya dipercaya memiliki gerai sendiri untuk memajang karya-karyanya dengan label Suarti Collection, yang mengantarkannya menjadi desainer perak kelas dunia. “Aksesori saya mampu berbicara sendiri,” ungkap Suarti tanpa bermaksud menyombongkan diri. Artinya, “Desain saya mengandung filosofi dan bermakna sehingga mempunyai ‘jiwa’,” tambah peraih Kartini Award 2007 ini.  Memiliki “jiwa”, kelebihan itu yang menurut Suarti menjadikannya bisa menyejajarkan diri dengan para desainer aksesori dunia lainnya yang secara teknis diakuinya jauh di atas kemampuan dia. “Secara teknis kami kalah jauh,” ia mengakui. “Jiwa” yang berhasil ditampilkan pada setiap desainnya, lanjut Suarti, lebih disebabkan kedekatannya dengan budaya Bali dan darah seni yang mengalir deras di tubuhnya sehingga ia lebih mudah berekspresi untuk menciptakan suatu desain. Talenta dan kejelian mengendus peluang bisnis meluaskan garapan Suarti ke home accessories peranti makan dan perabot rumah tangga, seperti sendok garpu dan hiasan dinding. Juga makin menyebar ke pasar internasional seiring strategi pemasaran yang dikembangkannya lewat dunia maya. Tak pelak, ragam produk Suarti hadir di sejumlah situs belanja dunia.

Keberhasilan bisnis tak membuat Suarti melupakan akar seni tari. Di balik tubuh rampingnya, pemilik beberapa tato di tubuhnya ini aktif memimpin Forum Peduli Budaya Bali yang didedikasikan untuk melestarikan budaya Bali. Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung di bisnis yang menjual seni, Suarti mengaku paham benar kalau telah terjadi kegiatan ilegal mematenkan motif tradisional. Sehingga untuk bisa memakai motif tertentu, perajin harus membayar sebesar nilai tertentu kepada pihak yang mempunyai hak paten. Ancaman hukuman dan penolakan dari negara pengimpor hasil kerajinan menurut Suarti cukup meresahkan para perajin. “Saya tetap pasang badan di barisan terdepan untuk menjaga warisan budaya leluhur kita. Jangan sampai di kemudian hari kita harus membayar pada pihak asing untuk bisa menggunakan budaya kita,” tutur Suarti. Kepedulian Suarti untuk bisa maju bersama-sama ditunjukkannya dengan membuka lebar pintu komunikasi bagi yang tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang seluk-beluk bisnisnya mulai dari produksi hingga bagaimana bisa menembus pasar luar negeri. Maka, ia berencana mendirikan sekolah desain plus di mana selain mengajarkan tentang seluk-beluk desain, juga manajemen pemasaran. Tidak hanya itu, di tengah aktivitasnya mendesain dan melakukan perjalanan bisnis, Suarti tidak pernah melupakan obsesinya mendirikan Museum Perak. ”Sebagai bentuk kecintaan saya pada dunia seni, khususnya kerajinan perak,” ungkapnya. 

Keterbukaan Suarti dirasakan benar oleh para karyawannya. Suarti yang akrab dipanggil Mami oleh karyawannya ini tak canggung mendidik langsung bila ada karyawan yang baru bergabung. Hal ini dirasakan oleh salah seorang karyawannya, Dewi, yang langsung bergabung begitu lulus SMK Pariwisata, tiga tahun lalu. “Mami baik dan penuh pengertian,” kata Dewi. Menurutnya, Suarti tak pelit berbagi ilmu dengan para pegawainya. Dari Suarti-lah, Dewi yang tidak punya latar belakang pengetahuan tentang perak, sekarang tahu banyak tentang produksi hingga pemasarannya. “Mami tidak menjaga jarak dengan anak buahnya, ” tambah Dewi.

Sumber : franchise-entrepreneur.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar