Tujuh tahun menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea di Korea,
benar-benar tidak disia-siakan oleh Mugiyanto, yang umurnya sudah tidak
terbilang muda. Bapak satu anak yang tinggal di Dusun Silowan, Kelurahan Pager Sari, Kecamatan
Bergas,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini merasa cukup mengais modal dengan tiga
tahun menjadi buruh bimbel (1997-2000), dan empat tahun menjadi buruh tekstil
(2005-2009). Setelah itu, ia menekuni bisnis pembuatan batako, paving, bis
beton, kolong selokan, dan lain-lain.Sekitar tujuh tahun menjadi TKI merupakan
waktu yang sangat singkat sekali dalam mencari modal. Oleh karena itu, ia tidak
membuang-buang waktu yang relatif singkat tersebut untuk bekerja dan menabung.
Mengapa ia tidak membuang-buang waktu? Sebab, Mugiyanto setelah mendarat di
tanah Air akan menjalani usaha sendiri. Mugiyanto menjelaskan, untuk melakoni
bisnisnya tersebut modal yang dibutuhkan mencapai ratusan juta. Modal tersebut
dikucurkannya untuk membeli tanah tempat produksi dan gudang sederhana sebesar
Rp90 juta. Untuk peralatan dan mesin cetak batako, bis beton, dibutuhkan modal
sebesar Rp45 juta.
Membeli dua unit truk kecil untuk mengantar produk pesanan dan operasional
diperlukan uang sebesar Rp100 juta. Nah, itu belum terhitung bahan-bahan, seperti
pasir, semen, dan sirtu.
Jadi, dalam membuka usahanya, ia menyiapkan modal kurang lebih sebesar
Rp225 juta. "Semua uang saya peroleh dari menabung selama menjadi TKI di
Korea," ujarnya.
Kini, usahanya berjalan maju. Mugoyanto mengaku dirinya mampu meraup untung sebesar Rp5 juta hingga Rp 7 juta per bulannya.
Sumber : artikelbisnisusaha.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar