Selasa, 07 Mei 2013

Pengusaha Indonesia di Angola


PENGUSAHA yang jeli selalu melihat adanya peluang di tengah tantangan, seperti dialami oeh Marina Syopialdi yang merintis bisnisnya di Angola sejak lima tahun lalu. Sebagaimana dilaporkan dalam portal berita Kemlu, pekan lalu.  Dia tidak ingin sendiri, dia mengajak teman-teman pengusaha Indonesia untuk mau merambah peluang di negeri di belahan benua Afrika itu.

“Saya melihat, ke depan, masih banyak peluang di Angola, dan saya ingin Indonesia memanfaatkan kesempatan ini. Satu hal yang saya lihat adalah kesempatan untuk memasarkan produk Indonesia, kerja sama di bidang pertanian, peternakan, perminyakan, perikanan hingga sumber daya manusia," demikian disampaikan Marina Syopialdi mengungkapkan kepada Dubes RI di Windhoek, Agustinus Sumartono.

Marina Syopialdi membangun hotel bergaya Indonesia di salah satu daerah wisata di Angola, Malanje. Hotel empat lantai dengan 43 kamar tidur, dibangun dengan menggunakan tenaga kerja dan material dari Indonesia. Untuk keperluan ini, hampir 45 kontainer bahan baku didatangkan dari Indonesia. Usahanya untuk mengembangkan penginapan di daerah wisata terus berlanjut ke wilayah lainnya, yaitu: Ndalatando (Kuanza Norte), Luanda (termasuk Muxima), Cabinda hingga ke Huambo.

Menurut Dubes Sumartono, terlepas dari fakta tingginya biaya hidup di Angola, khususnya di ibukota Luanda, Marina Syopaldi, termasuk pengusaha Indonesia yang gigih dan “berani” menanamkan modalnya di negara penghasil minyak kedua terbesar di Afrika (1,75 juta barel/hari pada tahun 2011) dan produsen berlian kelima terbesar di dunia.

Menurut Dubes, ekonomi Angola tumbuh 7,4 persen (2012) dan tahun 2013 pemerintah Angola memperkirakan pertumbuhan ekonomi 7,1 persen, dengan tumpuan pertumbuhan masih bergantung pada sektor minyak bumi, yaitu sekitar 95 persen dari nilai ekspor. Dalam beberapa tahun ke depan, ekonomi Angola diperkirakan masih akan tumbuh stabil. Pemerintah merencanakan untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 2 juta barel/hari pada 2015.

Investasi asing di sektor pertambangan dan konstruksi, khususnya pembangunan infrastruktur, tampaknya akan menjadi andalan dalam percepatan pembangunan negara yang baru 11 tahun terlepas dari perang saudara yang berkepanjangan ini.

Akibat perang saudara, Pemerintah Angola memperkirakan kerugian infrastruktur sekitar USD 30 miliar. Itu sebabnya, pemerintah terus berupaya menciptakan berbagai kebijakan yang kondusif untuk menarik investor dan mendukung program pembangunan infrastruktur jangka panjang.

Dari segi stabilitas politik, dengan terpilihnya kembali Presiden Dos Santos untuk 5 tahun ke depan, resiko investasi di Angola secara politik bisa dibilang sangatlah kecil, demikian Dubes Sumartono. 

Sumber : indonesiarayanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar