ULET dan tekad Wahyu Indra, warga Pondok Cina, Depok
ini patut dicontoh. Prinsip hidup tersebut mampu mengembangkan usaha
waralaba mie ayamnya, hingga kini tersebar di 120 titik di seluruh
Indonesia.
Padahal, pria beranak tiga ini dulu bergelut dengan PH perfilman
nasional. Namun karena iklim perfilman tak begitu segar lagi baginya,
dia pun banting setir ke bidang kuliner. Dengan modal awal sekira Rp27
juta, kini Wahyu sudah mempunyai penghasilan sebesar Rp50 juta per bulan
dari sistim waralaba mie ayam grobakan yang dipilihnya.
Dengan dana kemitraan Rp7,5 juta, Wahyu pun telah memiliki 120 mitra
di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kemudian di Bandung,
Semarang, dan Pekanbaru.
“Alhamdulillah dengan fokus saya bisa mengembangkan usaha ini. Yang
penting kuncinya spekulasi yang terukur dalam menjalankan usaha,”
tuturnya kepada Okezone di Kantor Pusat Mie Ayam Grobakan di Jalan Merpati 6 No 221, Perumnas Depok I, belum lama ini.
Berawal dari hobi makan mi ayam, Wahyu pun tertarik untuk berjualan
mi ayam. Ketertarikan itu muncul karena penggemar mi ayam dari segala
umur. Wahyu pun mulai gencar melakukan survei mi ayam berbagai produk.
Dari mi ayam terkenal, hingga yang biasa.
Pada 2007, suami dari Ervina Widamayanti itu pun mulai mencari resep
untuk membuat mi ayam yang enak dan sehat disantap. Setiap menemukan
resep membuat mi dari berbagai sumber, Wahyu pun mencoba mi buatannya
itu ke pasar. Baik itu di acara keluarga hingga acara di RT dan RW.
Hasilnya Wahyu pun menemukan resep mi yang enak, lembut, dan tidak
mudah putus. Tak hanya itu bebas bahan pengawet, kimia, dan halal.
“Kemudian juga bumbu. Bumbu serta sambal yang menyatu di mi ayam itu
menari di lidah. Trial eror saya bahkan sampai setahun, jadi awalnya
tidak begitu mulus, hasilnya memuaskan,” paparnya.
Modal awal digunakan untuk membeli mesin pembuat mi Rp6,5 juta, bahan
baku serta menyewa tempat berjualan di Jalan Mawar. Tepat sehari
setelah Lebaran pada 2008, Wahyu resmi berjualan mi ayam. Sambutannya
pun luar biasa. Hampir 100 mangkuk mi ayam seharga Rp7.000 pun terjual.
Kemudian Wahyu pun pindah ke Jalan Merpati. Walaupun pindah mi ayam
Wahyu tetap diburu konsumen.
Tak ingin puas dengan buatan mi ayamnya, Wahyu pun mencoba
mengembangkan usahanya. Mulainya Wahyu membaca buku tentang waralaba.
Setelah yakin Wahyu pun mengembangkan usahanya dengan cara waralaba.
Namun pasang surut pun pasti menghampiri usaha Wahyu. Namun semangatnya
kembali muncul karena ia belajar dari kegigihan tukang tongseng.
“Waktu makan tongseng saya tanya sama pedagangnya, dia sudah sukses
punya ruko, saya tanya ruko ini sewanya berapa per bulan. Dia bilang
punya sendiri. Saya tanya lagi berapa lama jualan tongseng, dia bilang
lima belas tahun dan mulai tahun ke sepuluh merasakan enaknya. Di situ
saya terpecut. Saya baru satu tahun buka saja sudah menyerah, payah
banget kan, akhirnya saya bangkit lagi,” katanya.
Setiap kemitraan yang ingin membuka waralaba mi ayam Wahyu hanya
cukup merogoh kocek berinvestasi sebesar Rp7,5 juta. Dengan dana itu
akan mendapatkan gerobak mi ayam yang terbuat dari kayu jati Belanda dan
mendapatkan 28 item lainnya. Selain itu diberikan juga pelatihan cara
membuat mi, bumbu mi ayam, dan sambal.
“Dari 120 mitra, 20 persennya ada yang berhenti karena berbagai hal.
Ada juga berhenti lalu melanjutkan kembali. Sisanya sukses, bahkan sudah
ada yang 100 mangkok per hari. Kepercayaan menjadi komitmen kami,”
imbuhnya.
Analisa investasi dari modal Rp7,5 juta itu adalah pemasukan mi ayam
per hari Rp187 ribu (25 mangkuk), teh botol Rp75 ribu, bakso (dua buah)
Rp30 ribu, pangsit rebus (dua buah) Rp15 ribu. Jika dihitung per bulan
maka penghasilannya Rp9,2 juta. Sedangkan pengeluaran per bulannya
mencapai Rp2,3 juta.
Sumber : economy.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar