Selasa, 16 Juli 2013

Mengintip Kisah Suksesnya Pendiri Indomie

Di ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai. Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ”Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,” tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.

Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu.

Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ”Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,” katanya mengenang.

Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ”Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,” ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. ”Dulu dagang susah, orang banyak bicara,” katanya. ”Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.”

Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ”pengusaha terkaya nomor enam di dunia”. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.

Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ”Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,” katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ”Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?” katanya kepada majalah TEMPO, media massa pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.

Selain dikenal sebagai ”raja bank”, kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ”raja semen” di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ”Kami bisa menentukan policy perusahaan,” kata Liem. ”Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.”

Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.

Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ”dikontrol oleh Mr. Liem”.

Menjelang usia 70, ”Oom Liem” ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ”Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,” katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ”Saya juga sudah jarang sekali teken cek,” katanya.

Sumber : indocashregister.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar