Sudah banyak cerita pedagang kaki lima yang kemudian menjadi pengusaha
sukses. Salah satunya adalah Muhammad Adi, pemilik CV Intascus Sport,
produsen tas yang cukup besar.
Bisa dibilang, Adi merintis usahanya
ini benar-benar dari bawah. Pria tamatan sebuah SMA di Surabaya ini
sudah kenyang makan asam garam sebagai pekerja rendahan.
Mulanya,
selulus SMA pada 1981, Adi mencoba mengadu nasib merantau ke Sulawesi
dengan menjadi buruh di sebuah toko agen barang pecah belah. Adi
terpaksa merantau karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya.
Namun,
ia tidak lama bekerja di toko itu. Adi pun kemudian meloncat ke
Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh kasar di PT Newmont. Namun,
lagi-lagi, Adi tak betah dan memutuskan pulang ke Surabaya.
Ternyata
pulang ke rumah malah membuatnya gelisah, apalagi kalau melihat
adik-adiknya yang membutuhkan bantuannya. Karena itu, pada 1982, Adi
nekat ke Jakarta. Di ibu kota negara ini, Adi tinggal di kawasan Senayan
berkat kebaikan sesama perantau asal Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Mereka bekerja sebagai pelayan dan buruh,” ujar pria kelahiran
Surabaya, 12 April 1962 ini.
Untuk menyambung hidup, Adi bekerja
serabutan. Pagi hingga siang hari ia menjadi penjual tas keliling dari
kantor ke kantor. Malam harinya Adi menjadi juru parkir di Senayan.
Meski
penghasilannya kecil, dengan sekuat tenaga Adi berusaha menyisihkan
penghasilannya untuk modal berbisnis. “Modal pertama saya hanya Rp
50.000,” kenang Adi.
Dengan uang segitu, Adi kulakan tas di Pasar
Pagi untuk dijual kembali. Beruntung, dagangannya selalu habis terjual.
“Hasil jualan saya putar lagi,” kata bapak tiga anak ini.
Sayang,
jiwa muda Adi yang masih bergelora membuatnya tergoda untuk
berfoya-foya. Namun, setelah menikah pada 1985, Adi mulai berpikir
serius menjadi pengusaha tas sendiri. Ketika itu, modalnya pun
pas-pasan. “Saya terpaksa menjual perhiasan istri untuk modal awal,”
kata Adi. Lagi-lagi dengan uang Rp 50.000 Adi memulai usahanya.
Lantaran tak punya mesin jahit, Adi terpaksa meminjam milik temannya. Sedikit keahlian menjahit ia manfaatkan sebaik-baiknya.
Setelah
enam bulan berjalan, usahanya mulai menampakkan hasil. Adi pun
memberanikan diri menggaji seorang karyawan untuk meningkatkan produksi.
Dengan satu karyawan itu, Adi mampu menghasilkan 150 tas per tahun
seharga Rp 20.000 per tas. Dari harga segitu, Adi mengambil laba Rp
12.000 per tas. Maklum, modal membuat satu tas hanya Rp 8.000.
Sejak
saat itu, setiap enam bulan sekali Adi menambah seorang karyawan. Untuk
pemasaran, Adi memanfaatkan jaringan yang telah ia rintis saat masih
berdagang tas keliling.
Pada 1987, Adi mulai menjalin kerja sama
dengan panitia penyelenggara rapat atau pelatihan di hotel-hotel. “Pada
1987 saya sudah memiliki tenaga pemasaran 18 orang,” tutur Adi.
Omzetnya
pun telah melonjak hingga Rp 3 juta per hari, jumlah rupiah yang sangat
besar kala itu. Sementara itu, total produksi mencapai 600 unit per
hari. Laiknya roda kehidupan, posisi Adi tak selalu di atas. “Saya
pernah kekurangan modal untuk menyelesaikan pesanan sampai harus menjual
kendaraan operasional,” tutur Adi.
Masa yang paling suram bagi
Adi adalah saat pecah kerusuhan pada Mei 1998. Saat itu, para
karyawannya ketakutan dan memilih pulang kampung. Sialnya, barang
dagangan juga ikut mereka bawa hingga tak ada yang tersisa. “Saya rugi
ratusan juta,” kenang dia.
Toh, semangat Adi tidak pernah surut.
Berbekal pinjaman bank, Adi mencoba bangkit. Beruntung, pada 1999 bisnis
tas kantor kembali naik daun. Adi pun kembali menggenjot produksi dan
mampu mencetak omzet Rp 50 juta per bulan.
Sekarang, dalam sebulan
paling sedikit Adi memproduksi lebih dari 1.000 tas. “Omzetnya sekitar
Rp 100 juta, dengan margin laba 20 persen sampai 40 persen,” ungkap Adi.
Kini, ia punya klien tetap dari instansi pemerintah, seperti Departemen
Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia.
Selain tas kantor, Adi juga memproduksi jenis tas lain, seperti tas perempuan. “Ini hasil belajar otodidak,” ujar dia.
Bagi rezeki
Sudah
menjadi kodrat, setiap orang membutuhkan orang lain. Begitu juga dalam
bisnis. Karena itu, untuk memenuhi banyaknya pesanan tas, Muhammad Adi
tak segan-segan membagi order ke konveksi lain. Adi mengatakan,
kadang-kadang jumlah pesanan tas memang tak bisa ia tangani sendiri.
Alhasil, daripada order lepas, ia membagi lagi (subkontrak) pesanan
kepada konveksi lain. “Hitung-hitung berbagi rezeki dengan orang
lainlah,” ujar Adi.
Untuk pola dalam bisnis kerja sama ini, Adi memilih
menggunakan sistem bagi hasil yang ia nilai lebih adil. Artinya,
keuntungan yang ia peroleh dari penjualan tas akan ia bagi ke pengusaha
lain sesuai dengan porsi yang mereka kerjakan.
Soal pesanan, Adi
tak terlalu khawatir. Pasalnya, ia sudah memiliki pelanggan tetap, yaitu
Kepolisian Republik Indonesia dan Departemen Perhubungan.
Misalnya,
Polri biasanya memesan tas kantor dua kali dalam setahun. Satu kali
pesanan sebanyak 8.000 unit dengan tenggat waktu pengerjaan selama empat
bulan. “Pesanan rutin ini baru empat tahun belakangan ini,” imbuh Adi.
Di
luar pesanan Polri, Adi biasanya menerima pesanan tas belanja dari biro
perjalanan. “Jumlahnya memang tidak sebanyak pesanan Polri. Rata-rata
500 unit
sumber : pengusaha-sukses.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar