Rabu, 13 Februari 2013

Rusdi Ahmad Juragan Batik


Bagi bangsa Indonesia, keputusan Badan PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO) menjadikan batik sebagai warisan dunia adalah kebanggaan luar biasa. Tapi, bagi Rusdi Ahmad Baamir, batik bukan sekadar kebanggaan, melainkan juga jalan menuju kesuksesan. 

Bagaimana tidak. Dari berdagang batik, Rusdi kini menjadi salah satu pengusaha batik papan atas. Ia memiliki 11 toko batik di pusat perdagangan Tanahabang, memasok batik di 38 gerai Ramayana Department Store, dan memiliki dua workshop (pabrik) batik di Pekalongan, Jawa Tengah.

Rusdi meraih kesuksesan itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ia harus jatuh bangun dalam merintis usaha batik yang diberi merek Salsa. 

Sejak kecil, pria kelahiran Surabaya, 13 Juli 1974, ini sudah memiliki bakat wirausaha. Saat berumur 10 tahun, Rusdi yang sudah kehilangan ayah, membantu menyokong ekonomi keluarga dengan berjualan tali rafia dan plastik bekas di Pasar Ampel, Surabaya. “Waktu itu, saya bisa mengantongi Rp 50 per hari,” kenangnya. 

Menginjak usia 12 tahun, Rusdi menjual parfum dan cenderamata dari Arab Saudi. “Kebetulan, ada kerabat yang tinggal di sana,” ujarnya. Pada 1993, selepas SMA, ia masih berjualan hingga tahun 1995. Tapi, lantaran ingin merasakan menjadi karyawan, ia bekerja pada sebuah pabrik sepatu di Surabaya. Meskipun digaji kecil dan hanya cukup untuk makan dan ongkos, ia tak berkecil hati. “Yang penting dapat pengalaman sebanyak mungkin,” ungkapnya. 

Sebenarnya, Rusdi bekerja di bagian gudang. Tapi, karena lebih tertarik pada bagian pemasaran, ia membujuk seorang temannya di bagian sales marketing untuk mengajaknya keliling bila sedang dapat libur. Ternyata, perannya dalam memasarkan sepatu cukup terlihat. Buktinya, catatan penjualan si salesman meningkat dan mendapat pujian dari atasannya. 

Tapi, setelah berjalan beberapa lama, rekan Rusdi itu memutuskan jalan sendiri lantaran takut ketahuan atasannya. Hasilnya, omzet penjualan kembali merosot. Setelah perusahaan menyelidiki, baru ketahuan bahwa selama ini penjualan bagus lantaran peran Rusdi.

Sadar akan potensi Rusdi, perusahaan lantas mengangkatnya menjadi tenaga sales marketing. Lantaran tak lagi buta di dunia marketing, ia sukses menjual stok sepatu yang menjadi tanggung jawabnya. 

Sayang, karena dihajar krisis ekonomi 1998, perusahaan tak mampu membayar gaji karyawan. Rusdi memilih mengundurkan diri.

Lantaran tak memiliki pekerjaan, Rusdi mencoba memproduksi sepatu hanya dengan modal Rp 2 juta. Tapi, usahanya gulung tikar dengan cepat lantaran kekurangan modal. Saat ini, daya beli masyarakat juga belum pulih. Ia sempat bekerja di perusahaan garmen. Tapi, itu pun tak lama lantaran perusahaan itu akhirnya bangkrut. 

Bosan bekerja sebagai karyawan, Rusdi lantas mencoba berjualan batik di Pasar Turi, Surabaya. Ia mengambil stok baju batik yang menumpuk di gudang pakaian beberapa perusahaan di Surabaya. Ia menjual setelah batik itu dicuci ulang. Sayang, usaha itu tak bertahan lama lantaran kalah bersaing dengan pedagang lain.

Pada tahun 2000, saat mengantarkan saudaranya ke Solo, secara tidak sengaja, Rusdi menemukan pabrik kain yang tutup. Di dalamnya, ada stok kain yang sudah dua tahun menumpuk tak terpakai. Ia lantas membeli kain itu seharga Rp 4.000 per yard dan menjualnya lagi seharga Rp 5.000 per yard ke Pekalongan. “Saya lihat, kain itu masih bisa diproses menjadi batik,” ujarnya.

Dalam satu hari, Rusdi bisa meraup untung Rp 40 juta dari berjualan kain. Bahkan, dari usaha itu, ia mampu membeli rumah seharga Rp 400 juta. Tapi, pada 2002, usahanya merosot lantaran kalah bersaing dengan pengusaha lain yang bermodal lebih besar.

Tak mau putus asa, Rusdi lantas punya ide mengolah kain itu menjadi batik. Ia lantas belajar membatik secara autodidak. Ia memulai bisnis dari nol dengan terjun langsung ke Pekalongan, mendatangi perajin dan penjahit. Dari sini, ia menguasai bisnis batik dari hulu ke hilir.

Rusdi lantas mencoba menjual batik buatannya di Surabaya. “Ternyata diterima pasar,” tuturnya. Memasuki tahun ketiga, tepatnya pada 2005, ia mulai memproduksi batik dalam jumlah besar. Ia memiliki pencetakan, pewarnaan, hingga menghasilkan batik siap jual. 

Tak disangka, usahanya semakin menggeliat. Pada 2006, ia membuka pabrik batik lagi di Pekalongan. Tahun 2007, ia membuka gerai di Tanahabang dengan merek batik Salsa. Nama itu diambil dari nama anak pertamanya, Salsabila.

Saat ini, omzet satu gerai batik Salsa di Tanahabang mencapai Rp 100 juta per bulan. Jumlah karyawannya sudah mencapai 300 orang. Bahkan, sejak 2009 lalu, ia memasok batik ke gerai Ramayana Department Store. Kini, buah kerja keras Rusdi berbuah manis.

Sumber : peluangusaha.kontan.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar