Jika bukan karena orang tuanya, Farry Tandean tidak mungkin bekerja
sebagai pengusaha mebel dan interior. Selain membuat mebel dengan desain
inovatif, ia juga berbisnis ubin dan panel dekoratif berbahan limbah
batok kelapa.
Di saat bisnis mebel ekspor melesu seperti sekarang, sebagian orang
bakal menganggap industri ini sedang tiarap. Padahal, jangan salah,
sebagian kecil eksportir tetap bertahan. Salah satunya adalah Farry
Tandean. Pemilik PT Jati Vision Raya (Java) dan Cocomosaic Indonesia ini
tetap bertahan dan mengekspor produk mebel dengan desain inovatif ke berbagai negara.
Sejak memulai bisnis mebel 16 tahun silam, Farry memang berorientasi
mengekspor produk ke luar negeri. Ia merupakan salah satu dari sedikit
produsen mebel asal Cirebon yang sejak puluhan tahun silam aktif
menjaring pembeli (buyer) luar negeri lewat pelbagai pameran.
Saat ini banyak pembelinya berasal beberapa negara di Eropa, Asia, dan
Amerika Serikat. Ia juga punya perwakilan penjualan di puluhan negara.
Tiap tahun, pendapatan Farry dari ekspor produk mebel bisa mencapai
US$ 5 juta–US$ 7,5 juta. Salah satu keunggulan bisnis Java adalah
memberi nilai lebih pada produk mebel dengan kualitas dan inovasi
desain. Baru-baru ini, produk Cocomosaic berhasil masuk dalam lima besar
Gaia Award 2011 di Dubai. Penghargaan ini diberikan bagi produk
inovatif di bidang konstruksi dan bangunan yang ramah lingkungan.
Lahir dari keluarga pedagang kelontong di Cirebon, sejak kecil 45
tahun silam, orang tua Farry biasa menerapkan disiplin dalam penggunaan
keuangan. Impian orang tuanya adalah anak-anaknya sekolah di luar
negeri. “Saya rela tidak dibelikan mobil demi bisa bersekolah di
Amerika,” ungkap anak keenam dari tujuh bersaudara ini.
Alhasil, setelah menyelesaikan SD dan SMP di Cirebon, saat kelas III
SMA, Farry dikirim orang tuanya ke Kanada untuk persiapan kuliah di
Amerika Serikat. Pada tahun 1990, Farry menamatkan pendidikan di
University of Minessota, dengan menyabet dua gelar master di bidang electrical engineering dan computer science. Semuanya diselesaikan dengan predikat magna cum laude.
Setelah kuliah, Farry ikut program management trainee di General Electric sebagai accelerated candidate untuk fast track Information Systems Management Program
(ISMP). Meski bergaji US$ 35.000 per tahun, ia merasa ada yang kurang.
“Mungkin karena orang tua saya pedagang, ada yang kurang jika saya hanya
menjadi karyawan,” katanya.
Pada tahun 1993, Farry memutuskan pulang ke Cirebon atas permintaan
orang tuanya. Sebagai anak lelaki pertama di keluarga, ia merasa punya
tanggung jawab besar merawat orang tuanya yang sudah tua. “Kakak-kakak
perempuan saya ikut suami ke luar negeri, sementara saya dan adik lelaki
saya di Cirebon,” katanya.
Usaha pertama Farry adalah meneruskan toko kelontong orang tuanya.
Tiap bulan, ia hanya mendapat uang jajan sebesar Rp 500.000. Ia juga
ikut membantu mengelola pemasar-an bisnis adiknya, Wika Tandean. “Adik
saya menjual rotan mentah ke perusahaan mebel di Cirebon,” katanya.
Masuk ke bagian pemasaran membuat Farry mengenal banyak buyer rotan dan mebel dari luar negeri. Suatu saat, ia mendapat tawaran dari seorang buyer
dari Jepang untuk memasok keperluan mebel ke Jepang. Alhasil, dengan
modal Rp 300 juta dari orang tua, pada tahun 1993, ia mendirikan
perusahaan patungan yang khusus menggarap pasar mebel untuk diekspor ke
Jepang.
Kurang lebih satu setengah tahun berkongsi, Farry memilih mandiri
dengan membuat perusahaan sejenis untuk menggarap pasar di luar Jepang.
Tahun 1995, ia mendirikan Java. Saat pengusaha rotan dan mebel masih
bergantung pada buyer yang datang, ia sudah aktif menawarkan
produk lewat pameran. “Sampai-sampai kegiatan produksi dan kualitas kami
kadang terbengkalai,” katanya.
Berkah krismon
Lantaran Farry menerapkan standar kualitas produk Eropa dan Amerika, para buyer
langsung tertarik menjadi pelanggan. Pada tahun 1998, bisnisnya semakin
besar. Saat terjadi devaluasi parah, sebagai eksportir ia malah pesta
pora. “Saya bisa mendapatkan untung Rp 100 juta dengan hanya mengirimkan
1.000 keranjang kecil seharga US$ 12 per unit,” ujarnya. Saat itu,
biaya produksinya hanya Rp 15.000, tapi kurs Rp 10.000–Rp 12.000 per
dolar.
Tahun itu juga, Farry memindahkan usaha di lokasi seluas 50.000
meter persegi. Kini, di atas lokasi itu sudah berdiri tiga pabrik dan
tiga ruang pamer. Perusahaan ini punya tiga divisi: Java, Bali luz
(lampu dekoratif), dan Valentti Lifestyle.
Untuk memperluas pasar, tahun 2010, Farry mendirikan Cocomosaic yang
mengolah limbah batok kelapa menjadi material dekoratif nan eksotis
untuk keperluan arsitektur dan desain interior. Pasarnya ada di puluhan
negara.
Farry mendapat pasokan batok kelapa dari masyarakat. Ia berharap,
dalam tiga tahun, Cocomosaic bisa menambah nilai ekspor Java mencapai
lebih dari Rp 30 miliar.
Sumber : jpmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar