Kamis, 07 Februari 2013

Yoyo Pengusaha Karet


Pendidikan sekolah tak selalu menjamin kesuksesan seseorang. Sudah banyak contoh orang-orang sukses tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi. Yoyo Saputra, salah satu contohnya.

Lelaki kelahiran Ciamis, Jabar, 41 tahun lalu ini hanya memiliki ijazah setingkat SD. Namun dengan bekal pendidikan yang pas-pasan itu, kini Yoyo mampu menjadi wirausahawan yang sukses.

Usaha yang ditejuni oleh Yoyo adalah memproduksi suku cadang mesin-mesin industri yang terbuat dari karet dan plastik. Memang kesuksesan Yoyo ini tidak datang secara tiba-tiba. Prosesnya cukup panjang.

Dimulai pada tahun 1982 ketika Yoyo nekat meninggalkan tanah kelahirannya di Ciamis. Tanpa bekal apa-apa, Yoyo yang baru lulus SD ini merantau ke Bandung. Tujuannya untuk bekerja.

“Saya diterima kerja menjadi buruh perusahaan yang membuat suku cadang mesin yang terbuat dari karet,” kata Yoyo ketika ditemui SH di rumahnya di kawasan Kiara Condong PSM Bandung.

Yoyo padahal sama sekali awam dengan pekerjaan yang ditekuninya saat itu. Beruntung Yoyo tergolong orang yang mau belajar. Lambat laun Yoyo pun mulai bisa mencetak sendiri suku cadang mesin yang terbuat dari karet seperti kopel dan poli eretan maupun selang. Kemampuannya itu terasah secara otodidak.

Di tempat kerjanya, Yoyo belajar lebih banyak lagi. Tidak sekadar hanya belajar membuat produk, tapi mulai belajar mencari order pesanan. Menurut Yoyo, dirinya memiliki pengalaman tak terlupakan kala coba-coba mencari order sendiri. Sebagai ongkos untuk pergi mencari order ke Jakarta, Yoyo harus melego jaket kulit kesayangannya. Yoyo lupa jaket kulit miliknya saat itu laku terjual dengan harga berapa. Yang pasti, kenang Yoyo, uang dari penjualan jaket kulit hanya cukup untuk ongkos berangkatnya saja.

Untuk kembali ke Bandung, Yoyo harus mencari tumpangan secara gratis. “Waktu itu saya gagal. Ternyata tidak gampang mencari order,” aku Yoyo.

Kegagalan di pengalaman yang pertama tak membuat Yoyo patah arang. Yoyo tetap terus berusaha. Hingga akhirnya, ia memperoleh order sendiri. Setelah dirasa punya cukup pengalaman, Yoyo keluar dari pekerjaannya.

Yoyo memberanikan diri untuk membuka usaha yang sama pada tahun 1985-an. Karena tidak mempunyai modal, Yoyo membuka usaha dengan uang pinjaman sekitar Rp 200.000. Dengan uang pinjaman ini, Yoyo membeli mesin press bekas.

Karena sudah mulai banyak dikenal, tidak sulit baginya untuk mendapatkan order pesanan. Pesanan pertama yang diterimanya kala itu adalah membuat semacam terminal las serta klep pompa air. Pesanan pertama ini dikerjakannya dengan baik hingga membuat si pemesan puas.

Menurut Yoyo, dirinya punya prinsip membuat produk yang kualitasnya baik dengan tepat waktu seperti yang diinginkan oleh pihak pemesan.

Dengan prinsip ini, lambat laun pesanan yang diterimanya terus bertambah. semakin banyak pemesan yang percaya pada dirinya. “Modal saya pas-pasan. Makanya saya selalu minta uang muka dari pemesan. Uang muka itu saya pakai untuk membeli bahan baku karet,” tutur Yoyo.

Kerja keras dari Yoyo mulai berbuah kesuksesan. Ketika krisis moneter melanda negeri ini sekitar tahun 1997-an, usaha yang dirintis oleh Yoyo terbukti mampu bertahan. Saat itu pesanan yang datang justru berlipat-lipat jumlahnya.

Sayangnya tidak semua pesanan mampu dipenuhinya. Harga bahan baku karet yang naik hingga 300 persen merupakan penyebabnya. Yoyo mengatakan banyak pemesan yang keberatan ketika harga produknya dinaikkan, pPadahal dengan naiknya harga bahan baku karet, sulit bagi Yoyo untuk tidak ikut menaikkan harga.

Sampai sekarang harga bahan baku karet yang terus naik selalu menjadi masalah bagi Yoyo. Di awal tahun 2005 lalu, harga bahan baku karet kembali naik hingga 10 persen. Bukan hanya harga saja yang naik, Yoyo pun ternyata harus menanggung pajak PPn untuk semua karet yang dibelinya.

Pengenaan pajak ini dikeluhkan oleh Yoyo. “Usaha saya ini usaha kecil, masak diberlakukan sama dengan industri besar, harus membayar PPn juga,” ujar suami dari Ratna Sulastri ini. Pengenaan PPn berikut harga bahan baku karet yang terus naik menjadi masalah bagi kelangsungan usaha yang dirintis oleh Yoyo.

Pasalnya, tidak semua pemesan mengerti. Ketika Yoyo harus menaikkan harga produknya, sebagian besar pemesan membatalkan pesanannya. Hingga akhirnya Yoyo harus bersiasat untuk menentukan harga.

Menurut Yoyo kalaulah harga produknya naik, kenaikan harga tidak dapat serta-merta mengikuti kenaikan harga bahan baku. Paling-paling yang dilakukannya adalah menekan keuntungan. “Dapat untung antara 10 persen-15 persen sudah bagus,” katanya.

Kalau Yoyo coba-coba cari untung lebih banyak, pihak pemesan bakal beralih ke tempat lain. Maklum, usaha sejenis seperti yang ditekuni oleh Yoyo jumlahnya sekarang sudah sangat banyak.

Persaingan di antara mereka semakin ketat. Yoyo menyikapi persaingan ini dengan cara wajar. Yoyo mengatakan kalau kemudian pihak pemesan mengalihkan order ke yang lain, berarti hal itu memang bukan rezekinya. Sikap pasrah ini justru membuat Yoyo selalu berlapang dada.

Toh pesanan selalu mengalir. Nama Yoyo yang telah dikenal sepertinya menjadi jaminan. Terlebih lagi Yoyo berani bersaing dengan menawarkan produk yang berkualitas serta menyelesaikan pesanan tepat waktu sesuai keinginan si pemesan.

Kini, Yoyo memang mulai menikmati kesuksesannya. Pesanan yang terus datang, sebanyak 11 mesin pres dan mesin bubut yang dimiliki serta 7 pekerja yang membantunya menjadi indikator kesuksesan usaha milik Yoyo.

Omzet sebesar Rp 25 juta/bulan adalah indikator lain dari keberhasilan Yoyo merintis usahanya. Semua keberhasilan ini tak membuat Yoyo cepat berpuas diri.

Sumber : cepiar.wordpress.com

2 komentar: