Selasa, 05 Februari 2013

Batik di Mancanegara


Sukses pasti menjadi milik mereka yang bekerja keras, pantang menyerah dan selalu berani mencoba hal-hal baru dalam hidupnya. Hal ini jugalah yang terjadi dengan pemilik batik Tobal, Fatchiyah A Kadir.

Setelah pernah sukses menaklukkan pasaran Eropa dan Amerika Serikat (AS) dengan kain batik Pekalongannya, kini dia justru sedang berjuang menaklukkan pasar domestik.

Fat, demikian perempuan matang berkepala enam asal Pekalongan ini biasa disapa kerabatnya, memulai usaha batik pada 1971. Kala itu, jiwa wirausaha telah mengalir dalam keluarganya, Fat nampaknya mewarisi bakat yang diturunkan ayahnya yang kala itu berjualan kain tenun.

“Pada dasarnya kan orang-orang di daerah pesisir itu pintar berdagang, jadi mungkin saya ada bakat juga berdagang,” tutur Fat kepada okezone beberapa waktu lalu.

Sadar akan bakatnya, ibu tiga anak ini mencoba peruntungannya dengan membuat batik bersama suaminya. Saat itu, Fat tidak mempunyai modal yang tidak mempunyai modal sama sekali nekat untuk menjahitkan batiknya. ”Istilahnya, saya dan suami cuma punya dengkul saja,” kenang dia.

Namun, karena hasilnya yang memuaskan, kepercayaan dari beberapa pihak seperti pengrajin batik dan pembeli semakin meningkat.

“Kami malah diberikan uang pangkal (down payment) dulu 50 persen. Dulu, pembayaran di muka itu  sesuatu hal yang sangat langka sekali dulu,” jelas Fat.

Saat itu, kata Fat, di Pekalongan pengembangan batik memang dikerjakan terpisah-pisah antara kain batik dengan penjahit batik. Sukses di daerahnya, Fat menargetkan pasar ekspansi pasar yang lebih tinggi.

Tak tanggung-tanggung, Fat membidik pasar internasional sebagai pangsa pasarnya. “Karena kebetulan saat itu, pasar dalam negeri memang sedang tidak kondusif,” tambahnya.

Alasan dia kala itu cukup logis. “Saat itu, sedang marak-maraknya trend batik printing yang dipelopori batik keris, jadi batik tulis saat itu bahkan terancam punah, jadi 1971 itu saya langsung ekspor saja,” kata Fat.

Dengan pola pengembangan batik jahit borongan atau yang sering disebut maklon, bahkan pada 1993 lalu, dirinya mendapat penghargaan upakarti dari Presiden Soeharto. Sistem maklon sendiri menurutnya adalah sistem pengembangan batik khususnya di daerah Selatan dengan mengubah pengrajin-pengrajin batik dalam kelompok-kelompok.

Fat masih mengingat, pasar Australia adalah pasar yang pertama yang berhasil ia taklukkan. Padahal, dia sama sekali tidak mempunyai akses ke luar negeri, lalu bagaimana caranya? Fat yang memiliki  jiwa wirausaha tak kekurangan asal.

Fat bukan menjajakan lewat promosi di media massa ataupun selebaran. Fat memilih membangun toko batik di kawasan yang sering disambangi oleh wisatawan asing.

Saat itu, Fat memilih pulau dewata, Bali, untuk menjadi mediasi pasar ekspornya. Terbukti, batiknya berhasil menembus Spanyol, Italia dan juga Amerika Serikat. “Mula-mula pesanan batiknya hanya sekira 10 ribu potong per dua bulan, jumlahnya terus naik sampai 400 ribu potong per tahun,” tambah dia.

Fat terus memperluas produksi batiknya, setelah Bali, Fat kembali membuka sebuah showroom di sekitar Pasar kembang, Yogyakarta. Hal ini dilakukannya untuk mempermudah akses terhadap orang-orang dari kawasan eropa dan Amerika yang lebih kerap berkunjung ke Yogyakarta ketimbang Pekalongan.

Pembukaan showroom batik di Yogyakarta pastinya menimbulkan pertanyaan di benak kita, pasalnya, Yogyakarta bukannya sepi akan produk batik ini. Meski begitu, Fat yakin batik buatannya memiliki ciri khas tersendiri yang disukai para turis.

“Batik Pekalongan itu memang berbeda dengan motif batik Yogyakarta dan Solo yang menggunakan pakem warna-warna cokelat dan hitam, kalau batik Pekalongan berani dengan warna-warna cerah,” jelas Fat. Untuk pangsa ekspor, dia menambahkan desain yang sifatnya semi kontemporer.

“Jadi saya masukkan juga motif-motif etnis Indian, Aborigin atau  Hawai. Mereka itu (pasar ekspor) juga lebih suka batik cap dan batik tulis kagok (batik tulis yang tidak terlalu halus),” tambah dia.

Kesuksesan batik Tobal, menurut Fat, juga didukung dengan kreatifitasnya dalam memadukan dan merancang warna dan kain batik rancangannya. Adapun cara yang digunakan untuk memenuhi pesanan batik, adalah dengan jahit borongan (sistem maklon).

Waktu itu, lanjut Fat, sistem maklon biasa dilakukan di desa-desa di daerah Selatan. Untuk sistem maklon ini, satu sistim mempekerjakan minimal 10 pengrajin. ”Waktu itu saya punya sekira 40 maklon,” jelas dia.

Namun, bukan usaha jika belum pernah terhempas badai. Lebih dari 30 tahun sukses mengekspor batik produksinya, badai itu datang pada 2007 lalu. Ditengarai karena krisis moneter yang terjadi di Indonesia, ditambah dengan kondisi keamanan yang tidak kondusif, membuat pelanggan-pelanggannya berhenti mengorder batik Tobal produksinya.

Tepat pada kuartal III-2007 Fat terpaksa melakukan Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK), pada sejumlah karyawannya. “Saya harus PHK banyak karyawan saya, dari 500-an karyawan harus saya pangkas menjadi 120-an karyawan saja. Sedih sekali rasanya saat itu, karena banyak dari mereka yang sudah bekerja ke saya lebih dari 20 tahun,” kenang Fat.

Berhenti mendapat permintaan ekspor batik ke mancanegara, tidak lantas membuatnya berputus asa dan berpangku tangan. Brand Tobal miliknya pun merubah haluan dengan membidik pasaran dalam negeri sejak 2007.

Masuk pasar nasional, batik olahan Fat menjadi pemain baru. Dengan produksi hanya sekira 50-75 ribu potong per tahun, Fat terpaksa menjual batiknya secara retail. “Jadi satu pengusaha bisa lakukan hanya dalam satu showroom,” jelasnya.

Saat ini, Fat telah mempunyai showroom di Jakarta, Semarang dan juga Surabaya. Sukses Fat jadi pengekspor, dilakoninya pula di dalam negeri. Karena dedikasi dan kesetiannya pada pengembangan batik nasional, di perayaan hari batik nasional yang jatuh pada 3 Oktober lalu di Pekalongan, dirinya mendapat undangan resmi dari Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono untuk berdiskusi mengenai pengembangan batik.

Setelah pada 2009 lalu UNESCO meresmikan batik sebagai warisan budaya adalah The Untangible Heritage, Fat berharap perkembangan batik di Indonesia akan terus dapat berkembang dan diterima di masyarakat.

“Karena batik kita berbeda dengan produksi batik di negara manapun, batik kita punya ruh,” kata Fat mengakhiri kisahnya.

Sumber : wirasmada.wordpress.com

1 komentar:

  1. Terimakasih untuk sharing informasinya.. Sangat menginspirasi.. Best Regards : Fitinline..

    alat membatik, pewarna batik

    BalasHapus