Senin, 04 Februari 2013

Inovasi Kain Jumputan


Selama 31 tahun, pasangan Bakarudin (65) dan Siti Supairoh (50) bergelut sebagai perajin kain tradisional jumputan khas Palembang. Jatuh bangun mereka alami berulang-ulang. Kesetiaan mereka untuk berinovasi menjadi modal mereka bertahan dari persaingan yang ketat dengan kain modern. 

Bakarudin dan Siti Supairoh memulai usaha kerajinan kain jumputan saat mereka masih pengantin baru pada 1982. Awalnya, pasangan itu adalah pekerja pengusaha kain jumputan yang telah lama ada di Palembang. ”Setelah mengumpulkan modal dan belajar tekniknya, kami memberanikan diri untuk usaha sendiri,” katanya, di Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (20/1/2013).

Dari Lorong Pisang, sebuah gang kecil di pinggiran Palembang, pasangan asal Serang, Jawa Barat, ini memulai usaha rumahannya. Saat itu, bisa dibilang belum ada persaingan untuk kerajinan tradisional kain jumputan Palembang. Di Lorong Pisang, yang menjadi sentra kerajinan kain jumputan di Palembang itu, baru ada sekitar lima perajin yang memproduksi kain itu.

Harganya pun terbilang masih tinggi dengan kualitas tinggi. Kain jumputan pada era sebelum 1990 dibuat dari bahan sutra alami dengan pewarna dari kulit rambutan, tanah, ataupun dedaunan. Kain biasa dijual dalam kemasan satu set yang terdiri atas kain untuk baju dan kain selendang. Pada 1990, harganya sekitar Rp 200.000 untuk 3 meter kain.

Pembuatan kain jumputan seluruhnya dilakukan secara manual, mulai dari melukis motif, menjahit jumputan, hingga mencelup warna. Untuk penyelesaian satu kain dibutuhkan waktu sekitar sepekan. Pembuatan kain jumputan Palembang tidak melewati teknik melapisi lilin, seperti dijumpai pada jumputan batik.

Motif kain jumputan Palembang pun lebih berani dengan dua atau tiga warna kuat yang umumnya dominan merah, hijau, dan kuning. Sejumlah motif tradisional di antaranya titik tujuh, kacang ijo, dan sasirangan.

Bakarudin pun pergi ke Yogyakarta dan Solo sebagai pusat kerajinan kain batik untuk memelajari teknik dan motif baru yang mungkin dikembangkan di kain jumputan. Perjalanan belajar ini di antaranya juga difasilitasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang. ”Beberapa hasil pemelajaran bisa diterapkan untuk mengembangkan kain jumputan,” katanya.

Seiring zaman, pasangan perajin itu mengganti bahan dasar dengan kain sutra sintetis dan pewarna kimia. Hal ini karena bahan alami yang semakin mahal dan sulit dicari. Sepanjang waktu itu, jumlah perajin kain jumputan di Lorong Pisang terus bertambah hingga mencapai belasan usaha kerajinan rumahan. Persaingan semakin ketat sehingga harga terpaksa ditekan. Penggantian bahan baku juga dimaksudkan untuk menekan harga sehingga terjangkau masyarakat luas.

Usaha pasangan ini mencatat sukses pada sekitar 1995. Saat itu, mereka sampai mempunyai 15 karyawan untuk memenuhi pesanan. Namun, pada awal 2002, badai menerpa. Harga bahan baku meroket hingga 1,5 kali lipat. Bahan sutra sintetis naik dari Rp 9.000 per meter menjadi Rp 15.000 per meter. ”Kami merugi besar-besaran. Kios terpaksa dilepas, para pekerja dihentikan semua,” ujarnya.

Bakarudin dan Siti banting setir menjadi perajin batik. Namun, usaha ini hanya berjalan setahun. Tingginya persaingan dengan kain batik dari Jawa membuat usaha batik dari Palembang sulit bertahan.

Modal dan inovasi
Setelah mencari modal ke sana ke mari, Bakarudin dan Siti kembali merintis kain jumputan. Tahun 2010, usaha ini mulai bangkit kembali. Kebangkitan kain jumputan tak lepas dari peran para desainer busana yang menggunakan kain jumputan dalam rancangannya dan mempromosikan di tingkat nasional. Salah satunya adalah pengembangan kain jumputan bermotif pelangi yang dikenal dengan nama ”kain pelangi”.

Namun, persaingan pun semakin ketat. Kain-kain tradisional tetapi modern menyerbu pasar. Kain-kain yang bermotif tradisional, tetapi dengan teknik pembuatan modern itu dibuat secara massal dengan harga lebih murah sehingga menjadi saingan berat bagi perajin kain tradisional.

Bakarudin dan Siti pun harus memutar otak agar produknya selamat di pasaran. Selain menjaga kualitas, mereka terus berinovasi sehingga produknya terus diminati masyarakat. Salah satunya adalah menyiasati sehingga harga terjangkau menjadi Rp 50.000 untuk selendang, dan Rp 150.000 untuk kain ukuran 5 meter. ”Keuntungan per set memang jauh lebih rendah dari sebelumnya, tetapi asal sekarang banyak yang terjual, keuntungan total diharap bisa lebih tinggi,” kata Siti.

Di bidang motif, mereka mengembangkan motif gradasi dengan warna-warna yang digemari anak muda. Mereka juga tidak hanya membuat kain jumputan pada sutra pelangi, tetapi juga pada kain katun, kain tenun alat tenun bukan mesin, dan kain gamis.

Ukuran kain pun kini dibuat beragam tak hanya satu set kain yang harganya mahal. Mereka mulai membuat ukuran selendang dan kerudung yang digemari generasi muda. Upaya ini berhasil. Omzet mereka terus meningkat hingga kini sekitar 1.000 lembar kain jumputan sebulan.

Kain jumputan dari Lorong Pisang mampu menembus pusat-pusat perbelanjaan modern hingga ke butik-butik dan toko cendera mata terkemuka di Palembang. Selain menjual ke pasar lokal, Bakarudin dan Siti juga mulai mengirim kain jumputan ke Bali sekitar 200 lembar sebulan. ”Saat ini lumayan maju, pekerja kami sudah 10 orang,” kata Siti.

Awal tahun 2013, pasangan ini juga memperoleh suntikan modal dari pinjaman lunak sebesar Rp 30 juta dari program kemitraan bina lingkungan PT Semen Baturaja. Pinjaman berbunga rendah ini sangat mereka butuhkan untuk pengembangan usaha.

Dalam persaingan yang kian ketat saat ini, usaha kain jumputan Bakarudin dan Siti terlihat menjanjikan. Pengalaman jatuh bangun 31 tahun menggeluti kain jumputan membuat mereka tahan banting.

Sumber : female.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar