Selasa, 05 Februari 2013

Kuli Bangunan Jadi Bos Pabrik


Dari tak punya apa-apa, Tri Sumono akhirnya menjadi miliarder. Ia hanyalah anak seorang janda miskin di sebuah desa, Gunung Kidul, Yogyakarta yang merantau ke kota Jakarta mengadu nasib. Berkat keuletan dan ketekunannya, ia berhasil merebut kepercayaan orang lain mendirikan pabrik kemasan.

Dibesarkan ibunda tercinta yang merupakan seorang petani miskin di sebuah desa Gunung Kidul, Yogyakarta, Tri Sumono kecil hidup prihatin. Bertumbuh dengan gizi seadanya, ia juga harus membuang energi besar demi mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas (SMA) yang jaraknya 40 km dari desanya. Ke sekolah SMA itu, ia bolak-balik menggenjot sepeda setiap harinya. Peringkat yang dianggapnya sempurna layak ditorehnya untuk itu: 39 dari 40 siswa.

Tri tidak sedang bercanda. Ia bersyukur masih bisa lulus SMA. Setelah lulus dari sekolah tersebut tahun 1993 silam, ia pun merantau ke Jakarta. Dalam tas ranselnya hanya ada sebuah celana dan kaos oblong. Ia datang bersama sepupunya. ”Saya sudah melangkah dari rumah, saya tidak akan kembali ke rumah lagi sebelum saya sukses. Itu sudah prinsip,” tekatnya saat melangkah dari desa terpencil itu.

Ijazah nilai di bawah standar ditentengnya ke sana ke mari melamar kerja di Jakarta. Ia pun nyangkut mendapat peluang buruh bangunan di Ciledug. Tak lama berselang, dirinya mendapat tawaran kerja di tempat lain. “Saya diterima sebagai tukang sapu di kantor Kompas Gramedia (grup media massa red.),” lanjut Tri, begitu sapaan akrabnya. Ia bersyukur dengan profesi tersebut dari pada sekadar buruh bangunan.

Sedikit lebih mudah ketimbang buruh. Sebagai tukang sapu ia lebih santai membersihkan kantor berlantai-lantai itu. Tak heran bila tenaganya terlalu besar untuk menyelesaikan pekerjaan seenteng itu. “Akhirnya saya diangkat ke posisi yang lebih keren lagi, yakni office boy,” kenangnya. Di posisi tersebut ia sering berada dalam ruangan ber-ac. Ia mondar-mandir melayani beragam perintah para karyawan kantor di dalamnya.

Ia selesaikan perintah seisi kantor itu jauh lebih cepat dari yang diperkirakan mereka. “Saya pun diangkat menjadi marketing,” katanya sembari melanjutkan, posisi yang didudukinya setelah itu adalah penanggung jawab gudang. Hanya saja, gaji yang dia peroleh cuma cukup buat dua orang putrinya. Untuk itu, bersama istri ia mencari penghasilan tambahan. Bermodalkan Rp100 ribu dari sisa gaji, ia memilih berdagang keliling di sekitar kontrakannya di wilayah Palmerah, Jakarta.

Hari demi hari sepulang kerja, keringatnya bercucuran keluar masuk gang berjualan aneka kebutuhan pokok. Hari Sabtu dan Minggu pagi, ia menggelar dagangan di Gelora, Senayan. Modalnya mulai terkumpul, Tri mengambil space di Mal Graha Cijantung. Usaha itu pun melesat tajam, sebelum akhirnya dijual ke orang lain. “Tetapi hasil dari usaha itu, saya sudah punya tabungan,” lanjutnya. Tabungan tersebut, dipakainya untuk membeli rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara.

Di kediamannya itu, otak dagangnya belum tamat. Ia membuka warung kebutuhan pokok. Sambil menjalani itu, ia melihat peluang sari kelapa, sebuah produk hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Saya datang ke LIPI untuk meminta bakteri dan cara pembuatan sari kelapa,” jelasnya. Ia belajar membuatnya sendiri hingga rela belajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) agar sari kelapanya berkualitas. Lima ribu nampan berhasil ia suplai ke sebuah perusahaan tak jauh dari rumahnya.

“Saya bilang kepada penerima sari kelapa itu, kalau sari kelapa saya rusak tolong bilang rusak dan saya ganti. Dan begitu seterusnya,” katanya. Melihat keseriusan, kejujuran, keingintahuan yang besar serta ketelatenannya, pemilik perusahaan penerima sari kelapa itu diam-diam mengaguminya. Ia pun dimata-matai orang lain, yang punya niat baik bekerjasama dengannya.

“Saya bilang kepada penerima sari kelapa itu, kalau sari kelapa saya rusak tolong bilang rusak dan saya ganti. Dan begitu seterusnya,” katanya. Melihat keseriusan, kejujuran, keingintahuan yang besar serta ketelatenannya, pemilik perusahaan penerima sari kelapa itu diam-diam mengaguminya. Ia pun dimata-matai orang lain, yang punya niat baik bekerjasama dengannya.

Untuk itu, rumah berlantai dua dibelinya untuk gedung pabrik. Mesin kemasan puluhan juta diborongnya. Masalah karyawan ia selesaikan dengan memanggil kerabatnya dari kampung halaman. “Saya masih ingat, apakah ini mimpi atau tidak ketika pertama kali melihat uang satu miliar rupiah,” tukasnya tertawa lebar. Uang sejumlah itu, ia terima saat proyek sudah mulai berjalan untuk produksi 3 juta kemasan.

Setelah proyek tersebut selesai, ia pun melebar dengan mainan baru. Ia memproduksi kopi jahe yang diberi label Hootrii. Lebih dari 50 ribu saset kopi tersebut telah beredar di seluruh Indonesia. Belum lagi, order kemasan susu yang datangnya dari salah satu departemen pemerintah. Kini sebagai investasi ia memiliki 6 unit rumah, beberapa mobil, beberapa usaha peternakan, pertanian hingga perkebunan.

“Intinya kalau mau jadi pengusaha itu harus jujur, ulet, rajin dan tidak putus asa,” pungkasnya. Kini dari tak memiliki apa-apa, Tri telah menjadi miliarder. Uniknya, hingga kini ia masih bekerja di perusahaan ia bekerja dahulu. Selain itu, ia juga menjadi guru spiritual beberapa pemangku jabatan di beberapa perusahaan besar.

Sumber : jpmi.or.id

3 komentar: