Kebetulan, demikian jawab banyak
entrepreneur sukses saat ditanya mengenai apa yang menyebabkan ia bisa terjun
dan berhasil dalam apa yang dikerjakannya sekarang. Betulkah kesuksesan hanya
sebuah rentetan kebetulan belaka? Tentu tidak. Kiki Gumelar, misalnya. Ia adalah salah satu contoh nyata
bagaimana ‘kebetulan’adalah sebuah akumulasi dari sikap dan pola pikir yang
positif yang terbangun secara sengaja. Kini ia menjadi entrepreneur sukses
dengan skala usaha yang makin menggurita.
Awalnya waktu itu Kiki, sapaan
akrabnya, masih bekerja di Yogyakarta. Ia memasukkan dodol dalam coklat dengan
niat iseng saat ortu berkunjung ke kosnya. Dodol itu ternyata enak setelah
masuk lelehan coklat cair.
Kiki pun memutuskan untuk pulang kampung tetapi tak
mau menjadi pengusaha dodol. Ia beralasan, “Sudah banyak orang berjualan dodol
di Garut kampung halaman saya. Mana mungkin saya pulang hanya untuk menambah
banyak jumlah pengusaha dodol di sana?” Kiki bertekad untuk membuat dodol
buatannya lebih unik dan menggabungkannya dengan promosi pariwisata kabupaten
Garut sehingga memiliki keunikan tersendiri dari pembuat dodol lainnya.
Karena gemar makan coklat, Kiki
memilih coklat karena Indonesia adalah negara produsen coklat ketiga terbesar
di dunia dan lahir industri coklat terbesar di Asia Pasifik seperti Ceres
yang lahirnya di Garut. Garut juga dikenal sebagai Swiss van Java. “Swiss saja
bisa terkenal karena coklat kenapa Garut tidak?” tutur Kiki. Alasan lain
mengapa ia memilih dodol sebagai makanan untuk digabungkan dengan coklat ialah
karena ia kelahiran Garut. Keluar dari zona nyaman
Kiki mengakui pernah berada di zona
nyaman karyawan. “Tapi banyak tekanan saat bekerja di Yogyakarta dan lalu saya
memutuskan pulang kampung,” terang Kiki. Visinya sederhana, ia ingin bisa Mandiri
dan menggaji orang.
Titik balik dalam kehidupannya dimulai saat ia harus
mengalami masalah rumah tangga. Ia pun memutuskan kembali ke Garut untuk
memulai kehidupan dari nol.
Untuk memulai dari nol ini, Kiki Gumelar menghadapi
tantangan. “Gaji numpang lewat sehingga saat ke Garut saya tak punya pilihan
lain selain meminta bantuan dana dari ortu.
Akhirnya saya mendapatkan bantuan dana dari kartu
kredit ibu karena keuangan keluarga masih harus dialokasikan untuk adik-adik
yang kuliah,” ujar Kiki.
Tentangan dari ortu setelah bekerja tetap selama 7
tahun juga ia dapatkan. Orang tuanya bertanya, “Mengapa mau berjualan coklat di
Garut. Kan Garut kota kecil?” Toh ia bertekad jalan terus dan yakin bahwa ide
bisnisnya itu akan berhasil.
Ia dengan gigih tawarkan produknya ke sejumlah toko di
Garut. “Hanya 4 toko yang mau membeli. Modal 17 juta dari kartu kredit ibu saya
ini digunakan untuk membuat berbagai produk coklat, cochodot, coklat isi dodol
dulu. Prosesnya 1 bulan hingga matang untuk dipasarkan. Pertama produksi 200 kg
saja. 2000 batang,” ia menjelaskan dengan detil.
Kampanye marketingnya dilakukan dengan memperkenalkan
dummy dan sampel sehingga mendorong munculnya pesanan atau order. Setelah mulai
dijual, ada respon yang makin bertambah hingga sekarang perusahaan kiki bisa
menghasilkan 20 ton dalam satu bulan. Tentu ia makin bersemangat saja.
Branding
Kiki mengatakan, “Added valuenya
dalam produk kami ialah keunikan, kreativitas, penamaan. Awalnya “Chocodot”, coklat with dodol Garut,
kini berkembang pula berbagai varian lain seperti coklat van Jawa yang
ditambahi cabai, kayu manis, dan sebagainya,” jawabnya sembari menerangkan
perkembangan produknya.
Desain kemasan dibuat oleh tim desain khusus dengan
standar internasional karena menyasar wisatawan internasional. Untuk wisatawan
di Bali, ada varian tersendiri: "Bali Cantik Coklat".
"Mechok", atau melayu coklat, ialah varian lainnya yang dijual khusus
di sekitar Batam yang terkenal dengan potensi buah naga yang melimpah ruah.
Inilah kiat suksesnya merambah daerah lain, yakni pintar-pintar memilah potensi
lokal yang bisa dikombinasikan dengan produk awalnya. “Sesuaikan produk dengan
karakter daerah yang akan dipasarkan itu penting,” ia membuka rahasia. Dengan
kata lain, kunci membuat bisnis baginya adalah dengan menambahkan local
wisdom.
Tak hanya itu Kiki juga menambahkan
kopi dan teh sebagai kekayaan bangsa dalam coklat. Ia juga berusaha mengerti
karakter konsumen yang lebih sadar hidup sehat dengan membuat coklat yang bebas
gula Lihat saja “Cokor” (Coklat
Korma) yang dipasarkan di Saudi Arabia. “Sudah ada pesanan ke Arab,” ujarnya
dengan bangga.
Untuk pangsa pasar anak muda dan socialite di
Indonesia, istilah galau terkenal dan Kiki mengangkat ini dalam produknya.
“Untuk pasar di Jakarta yang terkenal sebagai tempat yang penuh dengan stres
dan kebosanan akibat kemacetan, dirilis produk coklat dengan nama Coklat Obat
Stress. Orang Jakarta yang sering stres bisa makan ini untuk melupakan stres
yang mereka alami,” demikian kata Kiki.
Tak cuma nama yang unik, Kiki juga
memberikan konten berupa fakta nutrisi produk yang bukan bersifat informatif
tetapi untuk semata-mata menghibur konsumen: “Tenang 100%, senang 100%, sabar
100%, kalori nikmatin aja”. Dalam produknya “Coklat Tolak Miskin” ia mengaku
‘membidik’ pembeli yang ingin menjadi entrepreneur, dan masih banyak lagi
varian lainnya yang memiliki nama-nama yang sangat unik
Menang packaging taraf
internasional.
Di Milan, Italia, Kiki diminta Kedubes RI untuk
mengikuti kompetisi produk makan nasional berbasis tradisional dan mengirimkan
produk ke sana. Ia menyabet gelar juara pertama karena kemasan besek yang
dibuat oleh perajin di dua desa di kecamatan Samarang, Garut, Jabar, yang
tergolong inovatif, unik dan ramah lingkungan. “Added valuenya ialah mengangkat
kerajinan besek khas Indonesia menjadi kemasan coklat yang unik. Beseknya kecil
dan berisi coklat,” tuturnya singkat.
Meski banyak yang sukses, tak semua
produk dari buah pikiran Kiki meraih sukses seperti Chocodot. Produk gagal juga
ada, seperti coklat yang dicampur dengan singkong. Ini karena coklat yang
dikombinasikan dengan singkong perlu sama kuat dalam rasa. Satu resep
rahasianya bagi pengusaha kuliner yang ingin berkreasi meggabungkan dua bahan
makanan ialah jika salah satu unsur lebih kuat, akan peluang untuk dirilis
lebih kecil. Dalam kasus ini, rasa coklat lebih dominan dibandingkan dengan
singkong.
Sumber : bisnisusaha.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar