Saat masa kanak-kanak, tanpa disadari, Anda
mungkin pernah memikirkan atau mengucapkan ingin menjadi apa. Boleh jadi Anda
sudah menentukan pilihan profesi dengan kejujuran bukan karena desakan orang
lain saat masih belia. Meski seiring perjalanan waktu, cita-cita terpendam itu
sempat beralih atau bahkan semakin menjauh dari kenyataan.
Perias pengantin berusia 25, Ristya Stefanie
mengalaminya. Perempuan asal Surabaya ini mengaku pernah mengucapkan ingin
berwirausaha saat masih belia. Meski boleh jadi saat itu ia belum mengerti apa
itu wirausaha dan ingin berwirausaha di bidang apa. Namun ucapan itu menjadi
nyata, karena kini cita-citanya menjadi entrepreneur terwujud. Sejak
usia 13, perempuan yang akrab disapa Tya memulai perjalanannya sebagai entrepreneur dengan
keahliannya sebagai penata rias wajah.
Saat itu, menggunakan make up
ibunya, Tya menawarkan diri merias teman-teman dekatnya untuk berbagai
keperluan. “Saya merias teman-teman yang ingin tampil di acara pertunjukkan 17
Agustus atau mereka yang butuh make up untuk acara lainnya. Modalnya, alat make up ibu
saya. Tapi, setelah mendapatkan bayaran dari teman-teman, saat itu sekitar
tahun 2000 saya menerima uang jasa rias wajah Rp 15.000 per orang. Dengan total
empat orang, saya mendapatkan uang Rp 60.000 untuk pertama kalinya dari merias
wajah dan membeli alat make up darinya.
Keterampilan Tya dalam merias wajah mendapatkan
apresiasi positif dari orang-orang terdekatnya. Kemahirannya semakin terasah
saat Tya mengeyam pendidikan S-1 Komunikasi di Universitas Petra. Sambil
kuliah, perempuan kelahiran Surabaya, 15 September 1986 ini pun memberanikan
diri merintis bisnis make up wedding. Belum juga meraih gelar sarjana, Tya
memutuskan mendirikan Ristya Stefanie Make Up & Wedding Design pada 2005,
di usia 19.
Tak mudah bagi perempuan muda untuk terjun ke bisnis tata rias pengantin. Seperti Tya yang mengalami penolakan dan diskriminasi. Meski terbukti sukses mempercantik perempuan dan memahami seluk beluk make up, namun ketika memutuskan terjun ke industri dan bisnis tata rias pengantin, keterampilan yang didapatkan secara otodidak menjadi pertimbangan banyak orang. Diskriminasi kerap dialami Tya karena usia muda dan keterampilan make up didapatinya tanpa berbekal ijazah sekolah tata rias profesional.
Tak mudah bagi perempuan muda untuk terjun ke bisnis tata rias pengantin. Seperti Tya yang mengalami penolakan dan diskriminasi. Meski terbukti sukses mempercantik perempuan dan memahami seluk beluk make up, namun ketika memutuskan terjun ke industri dan bisnis tata rias pengantin, keterampilan yang didapatkan secara otodidak menjadi pertimbangan banyak orang. Diskriminasi kerap dialami Tya karena usia muda dan keterampilan make up didapatinya tanpa berbekal ijazah sekolah tata rias profesional.
“Saat mengikuti kompetisi, menurut saya penata
rias wajah yang belajar otodidak menjadi prioritas ke sekian meskipun ia mampu
menciptakan make
up yang baik. Saya pernah menang di kompetisi tingkat nasional,
namun saya merasakan adanya perbedaan perlakuan dan saya melihat banyak peserta
lain yang belajar make
up otodidak memiliki keterampilan yang baik, namun kalah bersaing
dengan peserta lulusan kursus atau sekolah make up dengan keterampilan make up biasa
saja,” jelasnya.
Tak hanya itu, Tya juga pernah dipilih sebagai
penata rias pengantin sebuah keluarga di Surabaya, lantaran hasil riasannya
dianggap memenuhi selera. Namun ketika tahu, usianya masih muda dan masih
kuliah, keluarga tersebut membatalkan begitu saja lantaran tak percaya
perempuan seusianya mampu menangani riasan pernikahan.
Tya memang belum memiliki jam terbang tinggi
lantaran usianya pun masih muda. Namun, bukan berarti anak muda tak memiliki
keunggulan. Usia muda bukan berarti kemampuan dan keterampilan serta kualitas
personal patut dipertanyakan atau bahkan diragukan. Alih-alih berpikir negatif
atas berbagai penolakan yang diterimanya, Tya justru memompakan semangat ke
dalam dirinya untuk terus menjalankan bisnisnya.
“Legowo, sudah itu saja yang saya lakukan,” kata
Tya yang juga mahir merancang kebaya dan kini mengembangkan kemampuannya
merancang gaun pengantin bergaya internasional menggunakan batik.
Berbekal pengalaman, Tya konsisten mengembangkan
usahanya dan menjadi pebisnis yang diperhitungkan industri tata rias dan
busana pengantin modern, berbasis di Pondok Chandra Surabaya, Jawa Timur.
“Saya lebih suka menjadi owner ketimbang menjadi pegawai,” aku Tya
yang mematok biaya jasa rias pengantin Rp 15 juta khusus make up, atau Rp 42,5 juta untuk satu paket
tata rias dan busana pengantin.
Sumber : nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar