Kamis, 22 November 2012

Bubuk Kertas Menjadi Panel dinding


Setetah di-PHK dari pekerjaannya lantaran krisis ekonomi, Sumarsono beralih menjadi wirausaha. Setelah hampir tujuh tahun belajar secara otodidak membuat panel atau ornamen dinding penghias ruangan dari kertas bekas, pemilik Laxvin Art itu kini bisa mencatatkan omzet hingga Rp 60 juta per bulan.


Krisis ekonomi tahun 1997 meninggalkan pengalaman pahit bagi Sumarsono. Pemilik usaha pembuatan panel atau ornamen dinding berbahan kertas penghias ruangan berbendera Laxvin Art ini menjadi salah satu korban krisis ekonomi itu. Ia menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu perusahaan periklanan di Jakarta.



Lebih "dua tahun Sumarsono bertahan hidup berbekal uang pesangon. Pada tahun 2000, ia memutuskan bekerja serabutan dengan cara menjual benda-benda seni seperti patung dan lukisan.



Keahlian dalam bidang seni ia peroleh dari keluarganya yang kebanyakan seniman. "Kebetulan saya besar dari dari keluarga seniman pematung," ujar pria kelahiran Banyumas tahun 1970 silam itu.



Sembari memperjualbelikan benda seni itulah, Sumarsono bereksperimen mengolah koran bekas menjadi bubur kertas. "Saya yakin, koran bekas itu bisa diolah menjadi kerajinan yang bernilai tinggi," kata Sumarsono.



Namun, upaya Sumarsono pertama kali membuat bubur kertas dari koran bekas berujung sia-sia lantaran ia belum paham dengan takaran air dengan takaran kertas agar menghasilkan bubur kertas yang seimbang.



Namun, pria yang belajar mengolah kertas secara otodidak itu pantang menyerah. Kegagalan demi kegagalan ia lewati, hingga akhirnya tahun 2007 Sumarsono sukses membuat bubur kertas sekaligus mengolah-- nya menjadi panel atau ornamen hiasan dinding.



Modal yang terbatas, ia pun nekad menjual sepeda motor serta meminjam modal dari kerabat untuk memulai usaha panel. "Saat itu, modal saya kumpulkan Rp 60 juta," kata Sumarsono yang membuka usaha di Cilebut. Bogor, Jawa Barat itu.



Modal kerja itu. ia gunakan untuk membeli peralatan daur ulang. hanan baku kertas koran, cat serta biaya operasional. "Modal itu untuk membiayai produksi pertama," ungkap Sumarsono.



Dari situ, Sumarsono bisa memproduksi 11 unit panel yang siap jual. Panel itu dipasarkan di salah satu pasar di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hanya dalam waktu dua jam saja, sembilan lembar panel ukuran 85 centimeter (cm) x 120 cm itu laris terjual. "Omzet pertama saya waktu itu capai Rp -1 juta," urainya.



Mengetahui karyanya bisa, "Peminatnya juga dari perkantoran,hotel danrestoran," kata



Sumarsono memutuskan menambah produksi. Produk panel miliknya kemudian dikenal di Cibinong. Bogor dan juga Depok. "Peminatnya juga dari perkantoran, hotel dan restoran" tutur Sumarsono.



Karena sering mendapat pembeli dari perkantoran, membawa Sumarsono berkenalan dengan pejabat pemerintah. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi pembicara dalam acara kewirausahaan di salah satu kementerian.



Hingga kini, pria yang hobi jalan-jalan itu bisa menjual panel berukuran 45 cm x 45 cm sebanyak 400 buah per bulan. Untuk setiap panel, Sumarsono menjualnyaseharga Rp 150.000 per panel.



Dalam sebulan, Sumarsono bisa meraup omzet hingga Rp 60 juta. Dari total omzet tersebut, ia mengaku mendapatkan margin usaha hingga 50%. "Labanya bisa mencapai Rp 30 juta," ujarnya terus terang.



Dalam bekerja. Sumarsono dibantu oleh tiga orang karyawan. Tugas mereka adalah untuk membuat bubur kertas, proses cetak, penje-muran hingga pengecatan panel. "Proses penjemurandan pengeringan cat menggunakan tenaga matahari," jelas Sumarsono



Sukses dalam meniti karir bukan berarti Sumarsono lupa diri. Belakangan ia sibuk memberikan motivasi kepada orang lain untuk melakukan wirausaha seperti dirinya.



Ia mengaku tidak pdn dalam membagi dan memberikan ilmu cara mengolah kertas menjadi panel dengan benar. Saya akan mengajarkan mereka yang mau belajar," ujarnya.

Sumber : wirausaha.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar