Kamis, 15 November 2012

Cerita Sukses Mantan Presiden Soeharto

Ketika kondisi kesehatan Soeharto makin memburuk. Tak heran jika setiap detik, media massa elektronik terus memantau. Sambil menunggu perkembangan, kisah-kisah tentang tokoh yang wafat pada hari Ahad 27 Januari 2008 ini ditayangkan berikut analisisnya. Tak kurang berperan, kisah hidup Siti Hartinah (Ibu Tie), istrinya yang telah wafat ikut menjadi warna. Sebab, peran Ibu Tien bagi Soeharto begitu besar. Bahkan ketika ia meninggal seluruh Indonesia mengibarkan bendera setengah tiang.

Soeharto yang pernah berkuasa dengan Orde Barunya di Indonesia selama 32 tahun itu, ternyata tidak bisa lepas dari pengaruh istrinya Siti Hartinah atau yang akrab di sapa Bu Tien. Bu Tien yang lahir di Solo itu, dalam buku ini, dalam konteks dunia batin orang Jawa, mempunyai wangsit keprabon yang pada akhirnya wangsit itu merasuk kepada suaminya yang kemudian mengantarkan suaminya Soeharto menjadi seorang yang terkuat dan paling berpengaruh di Asia, sebagaimana yang pernah diakui majalah Asiaweek pada tahun 1996.


Padahal, seperti yang pernah dikatakan Soeharto dalam autobiografinya, dia tidak pernah bercita-bercita atau bermimpi menjadi seorang presiden karena memang dia berasal dari keluarga miskin di sebuah dusun kecil di Yogyakarta, yang tidak punya apa-apa. Namun, dengan menikahi Siti Hartinah pada 26 Desember 1947, yang masih keturunan Mangkunegoro itu, dan dengan laku spiritual atau melalui jalan keberuntungan yang harus ditempuh Soeharto, wangsit yang tersembunyi dalam diri Siti Hartinah akhirnya datang menghampiri Soeharto dan menjadikan Soeharto berkuasa di Indonesia. Begitulah Arwan menandaskan dalam Bu Tien Wangsit Keprabon Soeharto ini.


Arwan mengungkap rahasia-rahasia di balik kesuksesan Soeharto, yaitu dengan pendekatan ruang dunia batin Jawa atau dunia spiritual orang Jawa, ia menjelaskan keberadaan Bu Tien di sisi Soeharto telah menjadi pulung bagi keberlangsungan kekuasaan Soeharto.


Sebagai keturunan Mangkunegoro III, Bu Tien telah menitiskan trah kekuasaan ketangan Soeharto. Ia laksana api keramat kerajaan yang mampu megangkat rakyat biasa, seperti Soeharto menjadi raja.


Bahkan, Arwan mengatakan kalau seandainya Soeharto tidak menikahi Siti Hartinah, barangkali nasib yang menghampirinya tidak akan semujur itu. Sebab, sangat mungkin justru melalui Siti Hartinah itulah wangsit keprabon turun ke Soeharto, mengingat Soeharto adalah keturunan orang biasa, sedangkan Bu Tien adalah keturunan seorang raja.


Ong Hok Ham, dalam bukunya, Dari Soal Priyayi Sampai Nyai Blorong (2002: 217) membenarkan hal itu. Menurut Ong, perempuan (baca: Bu Tien) keturunan raja ini memiliki pusaka paling keramat karena darinya berasal api keramat kerajaan yang dapat mengangkat rakyat biasa menjadi raja.


Kapan wangsit keprabon itu masuk tubuh Soeharto? Menurut Arwan, tepat pada taggal 11 Maret 1966, saat Soekarno membubuhkan tanda tangannya pada surat perintah di Istana Bogor yang kemudian terkenal dengan Supersemar itu, maka saat itulah wangsit keprabon mulai angslup di tubuh Soeharto, sehingga Soeharto pun sakit.


Hal itulah yang kemudian menjadikan nasib Soeharto mujur. Dalam konsep masyarakat Jawa, ada istilah ndilalah kersaning Allah atau kehendak Tuhan. Selain itu, dalam konsep Jawa, juga dikenal dengan istilah pulung. Pulung itu datang dari langit dan ditunjukkan kepada Soeharto. Menurut ajaran Jawa, pulung merupakan suatu anugerah, wahyu dan tanda dari langit. Pada saat pemilihan Kepala Desa di desa-desa Jawa, misalnya, masyarakat biasanya memperhatikan pulung yang berseliweran, kepada siapa pulung itu akan jatuh.


Nah, dari sini dapat dikira bahwa di balik kesuksesan Soeharto itu sesungguhnya ada kekuatan gaib dari Bu Tien yang menopang dari belakang. Demi Soeharto, seperti yang dijelaskan Arwan, Bu Tien melakukan tapabrata, kungkum, ngombe banyu pitung sumur, nyekar, dan berbagai macam laku prihatin lain.


Dengan tapabrata dan berbagai macam laku prihatin yang dilakukan Bu Tien itu, kekuasaan Soeharto makin tertopang, baik ketika Soeharto meniti kariernya sebagai militer maupun ketika menggantikan Soekarno menjadi presiden. Dengan begitu, Bu Tien atas kekuasaan Soeharto mempunyai andil yang cukup besar secara spiritual.


Namun bukan sepenuhnya kekuasaan Soeharto itu diraih dari kehebatannya Bu Tien. Soeharto bukan orang yang bodoh, yang kemudian menjadi penguasa hanya gara-gara ada wangsit dari Bu Tien. Ia memang orang yang cerdas dan punya siasat yang jitu, yang hampir-hampir tak dimiliki sebagian besar rakyat Indonesia. Akan tetapi, seperti yang telah terjadi, Soeharto bukanlah seorang presiden yang tangguh ketika tanpa Bu Tien. Seperti yang kita ketahui, Soeharto makin mengalami kemunduran ketika Bu Tien wafat.


Seharusnya, begitu Bu Tien wafat pada 28 April 1996, Soeharto sudah tidak mau lagi dicalonkan menjadi presiden. Bu Tien sendiri sebenarnya sudah pernah menyampaikan pesan kepada rakyat Indonesia, kalau dapat jangan mencalonkan Soeharto lagi. Sebab, pada waktu itu usia Soeharto sudah 72 tahun dan Bu Tien 70 tahun.


Jika umur sudah setua itu, dalam tafsir kejawen, sudah saatnya Soeharto menyampaikan sabda pandhito ratu.


Akan tetapi, Soeharto tidak melakukan hal itu, malah ia bersedia dicalonkan kembali, sehingga terbukti setelah Bu Tien meninggal, dan pada 70 hari sesudah MPR mengukuhkan Soeharto sebagai presiden dan B.J. Habibie sebagai wakilnya pada 21 Mei 1998, terjadi perubahan besar. Soeharto oleh rakyat dipaksa "turun" dari kursi kepresidenannya.


Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Soeharto tanpa Bu Tien tidak bisa jadi presiden. Logikanya seperti yang dikatakan Arwan yang banyak menulis buku tentang laku spiritual Soeharto ini, bila wangsit keprabon yang dimiliki Bu Tien yang masuk diri Soeharto itu sudah hilang, kekuasaan Soeharto juga akan hilang. 


Sumber : blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar