Senin, 05 November 2012

Sukses Elektronik Glodok

Jika Anda berjalan-jalan ke kawasan Kelapa Gading untuk mencari gerai Glodok Elektronik (GE) bisa dipastikan Anda tak menemukan kesulitan. Sebab, tampilan gerainya di Jalan Kelapa Gading Boulevard amat ngejreng. Tembok tokonya berwarna kuning cerah dengan motif meteor berwarna-warni berikut lambang GE. Bukan hanya tampilan fisiknya, website GE pun sangat atraktif. Dengan warna kuning dan merah yang dominan, situs yang menjadi wahana penjualan semua produk GE ini terlihat menarik. Tampak sekali situs ini pun dikelola serius.


Meskipun namanya memakai embel-embel ”elektronik”, nyatanya GE tak hanya menjual alat-alat elektronik, tapi juga berbagai perabot rumah tangga (peralatan dapur dan rumah tangga lainnya), perkakas teknik (suku cadang otomotif, electrical & power tool, dan berbagai perangkat keras lainnya). Lihat saja, lantai satu toko GE di Kelapa Gading itu banyak diperuntukkan bagi perkakas teknik, sedangkan lantai dua diisi peralatan kantor, komputer, plus aneka jenis mainan anak-anak. Toko ini menjual aneka produk dari berbagai merek, mulai dari Sony, Sanyo, Panasonic, Sharp, LG, Toshiba, Maspion, Philips, Samsung, Electrolux, Pioneer, hingga Changhong.

Di Jabodetabek, kini ada lima gerai GE. Selain hadir di Kelapa Gading, gerai GE juga berlokasi di Gedung Sarinah (Jakarta Pusat), Pondok Indah, Bumi Serpong Damai (Tangerang), dan Cikarang.

Perkembangan GE tak lepas dari tangan dingin Budy Zakaria, pendiri dan pemilik jaringan gerai GE. Pria kelahiran 10 Februari 1953 ini mengungkapkan, ia mengawali bisnis penjualan barang-barang elektronik sebagai montir elektronik, karena iseng mengikuti jejak kakaknya yang lebih dulu menjalani profesi ini di Glodok. Budy remaja pun secara otodidak mempelajari keahlian yang ditekuni kakaknya itu. Tak berselang lama, Budy mulai melayani panggilan untuk memperbaiki perkakas elektronik yang rusak. “Awalnya saya diremehkan sama orang-orang. Kata mereka, 'Bisa memperbaiki beneran atau tidak, Dik?'” ujar Budy menirukan beberapa orang yang menggunakan jasanya pertama kali. Mendengar itu, mental Budy sempat menciut. Toh, dasar jiwa entrepreneurship-nya cukup kuat, ia tak cepat-cepat mundur. ”Meski keder juga karena diremehkan, tapi tetap saya selesaikan pekerjaan itu,” kata Budy.

Kala itu, Budy memperbaiki pesawat televisi. Sebagai pemain pemula, Budy hanya melayani perbaikan di lingkungan Glodok, atau barang-barang milik klien kakaknya saja. Lambat laun pasar Budy semakin meluas. Apalagi, dia kemudian memperkaya ilmunya – terutama mengenai televisi transistor – dengan belajar di ONG Elektronik, Pasar Baru, Jakarta.

Dari sini jaringannya mulai terbangun. “Semakin lama, banyak orang yang saya kenal. Lalu pelan-pelan saya juga disuruh menjualkan barang-barang mereka,” ujar Budy. Mayoritas pemilik toko elektronik yang menjadi klien Budy tidak bisa membenahi televisi yang rusak. Karenanya, Budy diminta bantuannya untuk memperbaiki sekaligus menjual barang reject itu.

Dalam hal penjualan, mulanya Budy hanya melempar barang dari satu toko ke lain toko. Ia belum berani melayani pembeli individual. Akibatnya, margin keuntungan yang diperoleh tidak maksimal. “Mulailah saya berjualan televisi sambil menjadi montir. Saat itu masih jualan di rumah,” kata Budy. Untuk mempromosikan dagangannya, ia memasang iklan di radio dan koran pada masa itu. “Tidak tahu nama korannya apa. Yang pasti banyak orang yang tahu keberadaan saya, sehingga permintaan semakin banyak,” ujar bapak lima anak ini. Alhasil, Budy mampu menjual 10 unit televisi per bulan.

Merasa pasarnya semakin berkembang, Budy memutuskan untuk keluar kandang. “Sebab, kalau hanya jualan di rumah, ya hanya orang-orang tertentu yang tahu saya. Akhirnya saya masuk ke Glodok tahun 1978,” cerita Budy. Di Glodok, Budy yang ketika itu berusia 23 tahun berkongsi dengan lima saudaranya membuka sebuah toko. “Karena lima orang bersaudara, toko kami itu diberi nama Pandawa Lima,” ujar Budy tentang toko yang hanya berukuran 4 x 6 meter itu. Ia mengakui, mulanya displai barang sama sekali tidak menarik. “Hanya ditumpuk begitu saja.”

Tak dinyana, bisnis mereka berkembang bagus, hingga menjadi 9 cabang. Masing-masing toko memiliki nama dari tokoh Pandawa Lima. “Ada Bima 1, Bima II dan lainnya sampai 9 toko,” ujarnya. Karena demikian majunya, mereka sempat ekspansi dengan membuka gerai di Plaza Indonesia. Namun karena tidak menuai sukses akibat pasar yang lesu, toko ini ditutup. “Di situ tidak pernah berhasil. Mungkin karena harga jual di mal yang tinggi, dan selain itu, orang masih rajin ke Glodok,” kata Budy menganalisis.

Pada 1983, musibah datang: Pasar Glodok terbakar. “Akhirnya, saudara-saudara saya berpencar ke berbagai tempat, sedangkan saya buka toko di Kelapa Gading (tahun 1984),” ujarnya. Budy mengisahkan, ketika itu kawasan Kelapa Gading masih sepi karena masih diisi hamparan sawah yang luas. “Saya sempat ditertawakan, kok buka toko di situ.” Akan tetapi, Budy punya alasan sendiri. “Di sini kan jauh dari Glodok. Jadi pasarnya potensial,” katanya sambil mengungkapkan pada saat itu untuk membuka toko (ukuran 15 x 4 meter) hingga ready for selling membutuhkan dana Rp 250 jutaan. Di sisi lain, untuk suplai barang, dia mengaku tidak kerepotan. Pasalnya, Budy memiliki banyak jaringan. “Barang tidak ada masalah, teman-teman di Glodok, Kramat Jati, dan tempat lain mengisi toko saya. Sistemnya konsinyasi,” katanya sambil menjelaskan meski berlokasi di Kelapa Gading, ia tetap mengaplikasikan dua konsep Glodok, yakni selain displai barang apa adanya (ditumpuk saja), juga memberlakukan pola tawar-menawar.

Untuk menarik perhatian pembeli, ia membuat terobosan dengan cara memasang harga banderol pada fast moving item. Dia mengklaim dirinyalah yang pertama kali mengaplikasi metode ini. “Tapi biar sudah dipasang tarif, barang masih bisa ditawar,” ucapnya seraya terkekeh. Ide ini muncul saat Budy kerepotan menghadapi konsumen yang memberondongnya dengan pertanyaan. Tidak jarang dia harus kehilangan calon pembeli lantaran tidak terlayani. “Kalau yang nanya satu-dua masih bisa, tapi pas ramai tentu tidak bisa, akhirnya mereka (konsumen) tidak jadi beli,” kata Budy, yang belakangan juga memasang point of purchasing. “Sehingga konsumen tinggal memikirkan harga saja. Biasanya kalau mereka bertanya hanya membandingkan dengan merek lain,” lanjutnya bangga lantaran konsep ini cukup mujarab menggaet pembeli. Dengan taktik seperti itu, tak sampai dua tahun, item produk yang dijualnya pun bertambah. Ia menjalin hubungan dengan beberapa pemasok, dan sekarang ia sudah menjaring sekitar 500 pemasok.

Budy mengaku, dalam menjual barang elektronik, ia tidak suka terikat dengan satu merek. Dengan begitu, dia bisa bebas menjual berbagai produk dari berbagai merek. Meski banyak produsen yang merayu dengan iming-iming menggiurkan, Budy tidak tergoda. Menurutnya, keterikatan pada satu merek bisa menggiring pedagang untuk berbuat tidak jujur, bahkan bisa mendiskreditkan merek lain. “Efeknya nanti saya tidak jujur pada konsumen. Mending beli mahal sedikit dari distributor, asal bebas jual barang,” ujarnya sambil menjelaskan prinsip GE dalam berdagang adalah memberi kebebasan dan arahan kepada konsumen dalam menentukan merek. 

Prestasi dan konsistensi Budy tercium oleh Hari Darmawan, yang kala itu pemilik gerai ritel beken Matahari. Hari merangkulnya untuk mendirikan gerai elektronik di beberapa department store Matahari lantaran perusahaan ritel ini menerapkan konsep one stop shopping. Maka, gerai GE pun hadir di Metropolitan Mall (Bekasi) disusul di Mega Mall Pluit, Pondok Gede Plaza, rumah Matahari Bandung, Cirebon, dan Surabaya. “Melihat keberhasilan ini, Ramayana dan Hero juga merangkul saya,” katanya.

Dengan perkembangan seperti itu, total gerai GE pada 1993 mencapai 25 unit. Omzet tiap gerai mencapai Rp 200–300 juta per bulan. Gerai GE di Sarinah yang berdiri sejak 1994 dikenal sukses. Bahkan, Budy mengklaim, gerai seluas 60 meter persegi ini mampu menyaingi gerainya di Matahari, Ramayana dan Hero yang luasnya sekitar 200 meter persegi. Omsetnya sekitar Rp 100 juta per bulan.

Namun sekarang Budy mengaku enggan membuka kemungkinan bekerja sama dengan pihak lain. Menurutnya, berbisnis dengan uang orang lain risikonya besar sekali. Keyakinannya itu ia buktikan dengan tetap serius mengembangkan GE Kelapa Gading dan GE Sarinah. Pada 2000, ia pun membuka gerai baru di Pondok Indah, dan tahun berikutnya GE dibuka di Bumi Serpong Damai. Cabang GE yang ke lima hadir di Slipi Plaza.

Meski sekarang telah memiliki lima gerai GE yang didukung sekitar 80 karyawan, Budy mengaku masih memantau langsung gerai-gerainya itu. Pasalnya, dia sadar benar akan risiko bisnis elektronik. “Bisnis ini harus dikontrol dengan baik,” katanya. Karena alasan kepercayaan ini pula ia belum berani ekspansi ke luar Jakarta, dan juga belum mau mengembangkan gerai dengan cara waralaba.

Sumber : iputraentrepreneurship.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar