Saya ini hanya seorang guru yang belajar sejarah dan belajar
jurnalistik sehingga akhirnya, karena berkat, dapat membawa dan
mengorganisasi rekan-rekan untuk bekerja dalam sebuah media massa sampai
sekarang ini.” Begitulah cara Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, dalam menggambarkan dirinya, seperti dikutip Kompas.com Juni lalu.
Jakob Oetama menyampaikan hal itu dalam sambutannya di suatu acara yang dihadiri Wakil Presiden Boediono.
Ada nada rendah hati dan sederhana di sana. Tidak tampak kesan
jumawa. Siapa pun yang berkesempatan berbicara langsung dengan Jakob
Oetama hampir pasti akan mendapatkan kesan serupa tentang sosok wartawan
sekaligus pengusaha senior itu.
Begitu pula kesan yang kami tangkap ketika mewawancarai pendiri
Kompas Gramedia itu. Di ruang kerjanya, Jakob Oetama menjawab pertanyaan
Bisnis dengan didampingi Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia.
Jakob menyebut apa yang dihasilkannya di Kompas Gramedia dengan kata lumayan. Namun, lumayan dalam konteks ini ternyata sulit untuk
sekadar dikatakan lumayan oleh orang lain. Lumayan di sini agaknya bisa
pula dimaknai sebagai luar biasa.
Dalam grup yang disebutnya lumayan itu ada koran terbesar di
Indonesia dengan oplag di atas 400.000 eksemplar, ada toko buku Gramedia
(singkatan dari Graha Media) yang kini jumlahnya 98 buah dan tersebar
di seluruh Indonesia.
Selain itu, grup ini juga mengelola belasan koran lokal serta 70 majalah dan tabloid (lihat ilustrasi).
Kompas Gramedia juga memiliki penerbitan, di antaranya Elex Media
Komputindo, Gramedia Majalah, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo, dan
Kepustakaan Populer Gramedia.
Grup ini juga mengelola sekitar 26 hotel dan vila, antara lain Amaris Hotel, Santika Indonesia, The Kanaya, serta The Samaya.
Di sektor lainnya ada Bentara Budaya, Dyandra Promosindo, PT Gramedia
Printing Group, PT Graha Kerindo Utama, dan di bidang pendidikan kini
Grup Kompas Gramedia memiliki Universitas Media Nusantara.
Pada 2012, kelompok usaha itu menargetkan penambahan hotel hingga 62, toko buku 120 dan koran menjadi 26.
Begitulah “lumayan” versi rendah hati Jakob Oetama. Namun, rendah hati bukan berarti tidak percaya diri. Sepeninggal sohibnya, Petrus Kanisius Ojong pada 1980, Jakob Oetama
seolah menjadi tumpuan utama bagi biduk konglomerasi yang sedang tumbuh
itu, dan menjadi tumpuan semacam itu tentu memerlukan kepercayaan diri
yang kuat.
Saya nggak tahu bisnis. Tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu.
Cuma barangkali otak saya dikaruniai kecerdasan yang memadai sehingga
dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan, katanya
menggambarkan apa yang dilakukannya sepeninggal mitranya dalam membangun
Kompas Gramedia.
Dengan merendah dia mengaku basis bagi pembangunan grup sudah cukup
kokoh ketika ditinggal oleh mitranya itu. “Saya melanjutkan saja,”
paparnya.
Gayanya yang lembut, rendah hati, dan santun itu selalu dikaitkan
dengan gaya seorang guru. Pria kelahiran Borobudur, 27 September 1931,
agaknya tidak ingin melepaskan diri dari sosoknya sebagai seorang
(mantan) guru. Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, Jakob muda memang
pernah menjadi seorang guru.
Dia pernah menjadi guru SMP Mardiyuana di Cipanas pada 1952 dan guru
SMP Van Lith di Jakarta pada 1953, sebelum bergabung menjadi redaktur
mingguan Penabur di Jakarta sejak 1955. Dari sanalah kariernya sebagai
wartawan bermula.
Pada 1963 Jakob Oetama dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Intisari,
majalah yang polanya meniru Reader’s Digest. Dua tahun kemudian
dimulailah kiprahnya sebagai pemimpin Redaksi Kompas. Dari titik itulah
namanya kemudian melambung ke jagat media di Indonesia serta menjadi
seorang pengusaha yang diakui konglomerasinya.
Jakob menempuh pendidikan sebagian besar di Yogyakarta. Dari SD
hingga SMA (seminari) dilaluinya di Kota Gudeg itu. Kemudian dia
melanjutkan pendidikan ke BI Ilmu Sejarah P & K, di Jakarta pada
1956, serta Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta.
Pada 1961, Jakob masuk ke Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah
Mada. Empat puluh dua tahun kemudian, perguruan tinggi itu memberinya
gelar Doktor Honoris Causa karena pencapaiannya yang dianggap luar biasa
di bidang jurnalistik Indonesia.
Sulastomo pernah menulis bahwa semula Jakob Oetama ragu-ragu untuk menerima gelar dari almamaternya itu. “Jakob Oetama tidak silau oleh pujian yang diberikan kepadanya,”
begitu komentarnya dalam sebuah artikel tentang gelar Dr (HC) untuk
Jakob Oetama. Organik dan organis Jakob Oetama merumuskan apa yang dibangunnya di
Kompas dengan istilah “organik sekaligus organis”. Lembaga pers,
katanya, haruslah organik sekaligus organis.
Dia menggambarkan lembaga yang organik itu seperti tubuh manusia yang
terdiri dari macammacam bagian, tetapi merupakan kesatuan. Ada tangan,
kaki, mata, tapi semua merupakan kesatuan dan kesatuan yang organik ini
lalu karena bersatu saling tergantung menjadi organis.
Organik itu ya lebih ke sosoknya yang tampak, yang lahiriah. Organis
itu kesatuannya, yang lalu mempunyai fungsi, mempunyai peran. Organik
bentuknya konkret, organis menjadi satu karena mempunyai fungsi bersama.
Sesuatu yang berbeda tetapi bersama, begitu paparnya.
Lembaga pers seperti Kompas, terdiri atas bagian redaksi, bagian
percetakan, ada distribusi yang mengedarkan, ada keuangan, ada yang
berhubungan dengan agen. “Bagian- bagian redaksi dengan percetakan,
dengan bagian manajemen, bisnis, harus kerja sama. Kalau tidak, omong
kosong bisa maju. Ya itulah organik yang organis.” Lembaga organik yang
tidak organis, katanya, tidak bisa berjalan serempak. Dia memberikan
contoh media yang dari sisi redaksinya hebat, tapi distribusinya tidak
karuan, percetakannya jelek dan tidak tepat waktu, akan sulit untuk
sukses.
Keseimbangan ini, katanya, tidak mudah terwujud mengingat wartawan umumnya cerewet. Lalu apa yang dianggap sebagai kunci keberhasilan yang harus ada
dalam individu-individu? Menurut Jakob, salah satu yang terpenting
adalah semangat untuk bekerja dengan all out alias tidak
setengahsetengah.
Berkali-kali Jakob Oetama menekankan perlunya all out dalam bekerja
baik oleh wartawan, pemasaran, bagian yang berurusan dengan agen, maupun
bagian lainnya.
Semangat kerja all out ini, menurut dia, kurang ada pada bangsa
Indonesia. “Kita ini perlu mengubah karakter bangsa kita yang baik,
rajin, tapi kurang all out dan kurang konsisten,” begitulah dia
menggambarkan peran all out dalam kesuksesan.
Khusus untuk pengelolaan bagian keuangan, Jakob Oetama punya resep
tambahan. Orang yang dipercaya mengelola uang, selain cakap dan andal
juga harus pandai menjaga mulut, harus tutup mulut.
Misalnya orang yang pegang bisnis ya orang yang tahu bisnis. Saya
ambil contoh, yang pegang uang bukan hanya perlu jujur, perlu tutup
mulut. Kelihatannya sepele ya. Tapi coba orang yang pegang uang itu
tidak tutup mulut. Nah itu keliatannya sepele, tapi itu etika profesi
yang sangat diperlukan. Penyesalan Berdasarkan pengalamannya lebih dari
4 dekade mengelola media, Jakob Oetama percaya bahwa koran tak akan
mati kendati serbuan dari medium lain seperti televisi dan Internet kian
gencar.
Dia menyebut apa yang disajikan televisi dan Internet itu sebagai tontonan. Dan itu tak cukup. Surat kabarlah yang mengisi kekosongan itu dengan
sajian yang lebih mendalam, tetapi juga dengan formula yang tetap
menghibur.
Kendati begitu, Jakob mengakui peran penting televisi. Dia juga
mengaku menyesal telah melepaskan TV7, yang awalnya dimiliki Kompas
Gramedia, terlalu cepat. Pada masa kini, katanya, untuk menjangkau
seluruh masyarakat mau tak mau harus melalui televisi.
Dalam soal Internet, Kompas telah mengembangkan Kompas Cyber Media. Belakangan, layanan blog Kompasiana semakin populer. Grup itu bahkan mengantisipasi hadirnya era multimedia dengan
membangun Universitas Multimedia Nusantara. Agaknya, meskipun Jakob
Oetama percaya koran tidak akan mati, grup tersebut juga all out dalam
menyongsong era multimedia.
Sumber : wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar