Senin, 12 November 2012

Pendiri Kompas Gramedia

Saya ini hanya seorang guru yang belajar sejarah dan belajar jurnalistik sehingga akhirnya, karena berkat, dapat membawa dan mengorganisasi rekan-rekan untuk bekerja dalam sebuah media massa sampai sekarang ini.” Begitulah cara Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, dalam menggambarkan dirinya, seperti dikutip Kompas.com Juni lalu.

Jakob Oetama menyampaikan hal itu dalam sambutannya di suatu acara yang dihadiri Wakil Presiden Boediono.

Ada nada rendah hati dan sederhana di sana. Tidak tampak kesan jumawa. Siapa pun yang berkesempatan berbicara langsung dengan Jakob Oetama hampir pasti akan mendapatkan kesan serupa tentang sosok wartawan sekaligus pengusaha senior itu.

Begitu pula kesan yang kami tangkap ketika mewawancarai pendiri Kompas Gramedia itu. Di ruang kerjanya, Jakob Oetama menjawab pertanyaan Bisnis dengan didampingi Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia.

Jakob menyebut apa yang dihasilkannya di Kompas Gramedia dengan kata lumayan. Namun, lumayan dalam konteks ini ternyata sulit untuk sekadar dikatakan lumayan oleh orang lain. Lumayan di sini agaknya bisa pula dimaknai sebagai luar biasa.

Dalam grup yang disebutnya lumayan itu ada koran terbesar di Indonesia dengan oplag di atas 400.000 eksemplar, ada toko buku Gramedia (singkatan dari Graha Media) yang kini jumlahnya 98 buah dan tersebar di seluruh Indonesia.

Selain itu, grup ini juga mengelola belasan koran lokal serta 70 majalah dan tabloid (lihat ilustrasi).
Kompas Gramedia juga memiliki penerbitan, di antaranya Elex Media Komputindo, Gramedia Majalah, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo, dan Kepustakaan Populer Gramedia.

Grup ini juga mengelola sekitar 26 hotel dan vila, antara lain Amaris Hotel, Santika Indonesia, The Kanaya, serta The Samaya.

Di sektor lainnya ada Bentara Budaya, Dyandra Promosindo, PT Gramedia Printing Group, PT Graha Kerindo Utama, dan di bidang pendidikan kini Grup Kompas Gramedia memiliki Universitas Media Nusantara.

Pada 2012, kelompok usaha itu menargetkan penambahan hotel hingga 62, toko buku 120 dan koran menjadi 26.

Begitulah “lumayan” versi rendah hati Jakob Oetama. Namun, rendah hati bukan berarti tidak percaya diri. Sepeninggal sohibnya, Petrus Kanisius Ojong pada 1980, Jakob Oetama seolah menjadi tumpuan utama bagi biduk konglomerasi yang sedang tumbuh itu, dan menjadi tumpuan semacam itu tentu memerlukan kepercayaan diri yang kuat.

Saya nggak tahu bisnis. Tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu. Cuma barangkali otak saya dikaruniai kecerdasan yang memadai sehingga dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan, katanya menggambarkan apa yang dilakukannya sepeninggal mitranya dalam membangun Kompas Gramedia.

Dengan merendah dia mengaku basis bagi pembangunan grup sudah cukup kokoh ketika ditinggal oleh mitranya itu. “Saya melanjutkan saja,” paparnya.

Gayanya yang lembut, rendah hati, dan santun itu selalu dikaitkan dengan gaya seorang guru. Pria kelahiran Borobudur, 27 September 1931, agaknya tidak ingin melepaskan diri dari sosoknya sebagai seorang (mantan) guru. Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, Jakob muda memang pernah menjadi seorang guru.

Dia pernah menjadi guru SMP Mardiyuana di Cipanas pada 1952 dan guru SMP Van Lith di Jakarta pada 1953, sebelum bergabung menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta sejak 1955. Dari sanalah kariernya sebagai wartawan bermula.

Pada 1963 Jakob Oetama dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Intisari, majalah yang polanya meniru Reader’s Digest. Dua tahun kemudian dimulailah kiprahnya sebagai pemimpin Redaksi Kompas. Dari titik itulah namanya kemudian melambung ke jagat media di Indonesia serta menjadi seorang pengusaha yang diakui konglomerasinya.

Jakob menempuh pendidikan sebagian besar di Yogyakarta. Dari SD hingga SMA (seminari) dilaluinya di Kota Gudeg itu. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke BI Ilmu Sejarah P & K, di Jakarta pada 1956, serta Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta.

Pada 1961, Jakob masuk ke Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada. Empat puluh dua tahun kemudian, perguruan tinggi itu memberinya gelar Doktor Honoris Causa karena pencapaiannya yang dianggap luar biasa di bidang jurnalistik Indonesia.

Sulastomo pernah menulis bahwa semula Jakob Oetama ragu-ragu untuk menerima gelar dari almamaternya itu. “Jakob Oetama tidak silau oleh pujian yang diberikan kepadanya,” begitu komentarnya dalam sebuah artikel tentang gelar Dr (HC) untuk Jakob Oetama. Organik dan organis Jakob Oetama merumuskan apa yang dibangunnya di Kompas dengan istilah “organik sekaligus organis”. Lembaga pers, katanya, haruslah organik sekaligus organis.

Dia menggambarkan lembaga yang organik itu seperti tubuh manusia yang terdiri dari macammacam bagian, tetapi merupakan kesatuan. Ada tangan, kaki, mata, tapi semua merupakan kesatuan dan kesatuan yang organik ini lalu karena bersatu saling tergantung menjadi organis.

Organik itu ya lebih ke sosoknya yang tampak, yang lahiriah. Organis itu kesatuannya, yang lalu mempunyai fungsi, mempunyai peran. Organik bentuknya konkret, organis menjadi satu karena mempunyai fungsi bersama. Sesuatu yang berbeda tetapi bersama, begitu paparnya.

Lembaga pers seperti Kompas, terdiri atas bagian redaksi, bagian percetakan, ada distribusi yang mengedarkan, ada keuangan, ada yang berhubungan dengan agen. “Bagian- bagian redaksi dengan percetakan, dengan bagian manajemen, bisnis, harus kerja sama. Kalau tidak, omong kosong bisa maju. Ya itulah organik yang organis.” Lembaga organik yang tidak organis, katanya, tidak bisa berjalan serempak. Dia memberikan contoh media yang dari sisi redaksinya hebat, tapi distribusinya tidak karuan, percetakannya jelek dan tidak tepat waktu, akan sulit untuk sukses.

Keseimbangan ini, katanya, tidak mudah terwujud mengingat wartawan umumnya cerewet. Lalu apa yang dianggap sebagai kunci keberhasilan yang harus ada dalam individu-individu? Menurut Jakob, salah satu yang terpenting adalah semangat untuk bekerja dengan all out alias tidak setengahsetengah.

Berkali-kali Jakob Oetama menekankan perlunya all out dalam bekerja baik oleh wartawan, pemasaran, bagian yang berurusan dengan agen, maupun bagian lainnya.

Semangat kerja all out ini, menurut dia, kurang ada pada bangsa Indonesia. “Kita ini perlu mengubah karakter bangsa kita yang baik, rajin, tapi kurang all out dan kurang konsisten,” begitulah dia menggambarkan peran all out dalam kesuksesan.

Khusus untuk pengelolaan bagian keuangan, Jakob Oetama punya resep tambahan. Orang yang dipercaya mengelola uang, selain cakap dan andal juga harus pandai menjaga mulut, harus tutup mulut.

Misalnya orang yang pegang bisnis ya orang yang tahu bisnis. Saya ambil contoh, yang pegang uang bukan hanya perlu jujur, perlu tutup mulut. Kelihatannya sepele ya. Tapi coba orang yang pegang uang itu tidak tutup mulut. Nah itu keliatannya sepele, tapi itu etika profesi yang sangat diperlukan. Penyesalan Berdasarkan pengalamannya lebih dari 4 dekade mengelola media, Jakob Oetama percaya bahwa koran tak akan mati kendati serbuan dari medium lain seperti televisi dan Internet kian gencar.

Dia menyebut apa yang disajikan televisi dan Internet itu sebagai tontonan. Dan itu tak cukup. Surat kabarlah yang mengisi kekosongan itu dengan sajian yang lebih mendalam, tetapi juga dengan formula yang tetap menghibur.

Kendati begitu, Jakob mengakui peran penting televisi. Dia juga mengaku menyesal telah melepaskan TV7, yang awalnya dimiliki Kompas Gramedia, terlalu cepat. Pada masa kini, katanya, untuk menjangkau seluruh masyarakat mau tak mau harus melalui televisi.

Dalam soal Internet, Kompas telah mengembangkan Kompas Cyber Media. Belakangan, layanan blog Kompasiana semakin populer. Grup itu bahkan mengantisipasi hadirnya era multimedia dengan membangun Universitas Multimedia Nusantara. Agaknya, meskipun Jakob Oetama percaya koran tidak akan mati, grup tersebut juga all out dalam menyongsong era multimedia.


Sumber :  wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar