Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik
suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia
akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga
bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.
”Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera
hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily
Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya,
Jawa Barat.
Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada Minggu (30/8) melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik
bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras
organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi
sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.
Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology,
lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang
terakreditasi mendunia.
Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung
untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural
National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese
Agricultural Standard.
Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk
masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan
pangannya di dunia.
Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh
kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan
pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton
Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha
beras ekspor Indonesia.
Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan
berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila
suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan
kontrak kerja sama ekspor terjadi.
Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan
mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat
memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh
bersama.
Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui
Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik
setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily
dengan harga Rp 8.000 per kilogram.
Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut
dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih
tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur
perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.
Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan
sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas
padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.
Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu
musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam
setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan
lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.
Mulai dari nol
Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak
sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass
Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan
Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang
dia sebut sahabat keluarganya.
”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu
petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah
belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan mantan
Gubernur Jabar itu.
Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang
benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke
Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.
Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya
tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya
jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal.
Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak
kandungan serat dan vitamin.
Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara
tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang
berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu
bagaimana caranya.
”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.
Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini
sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan
agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu
diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok
antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.
Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan
dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian
organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods,
yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.
Perbedaan
Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia
sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar.
Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk
berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.
Sambil merintis jalan, Emily belajar bahasa Indonesia. Tak jarang,
budaya lugas dan cara mengatasi masalah yang tidak bertele-tele seperti
yang kerap dia lakukan selama tinggal di luar negeri terbentur budaya
petani yang kerap bersikap pasrah.
Ketika ada persoalan menyangkut hama penyakit, misalnya, Emily
langsung bertanya mengapa bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Pada
awalnya petani takut-takut menjawabnya karena mengira Emily marah.
Lama-kelamaan mereka bisa memahami cara kerja dia. Apalagi, ketika Emily
kerap mengajak petani lesehan membicarakan masalah bersama-sama.
”Aku minta para petani memanggilku Emily saja, jangan panggil ibu
karena kami mitra,” ungkap Emily yang tak suka disebut pengusaha.
Dia mengaku tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai pengekspor
beras organik. Dia optimistis beras organik dari Indonesia bisa bersaing
di pasaran internasional. Buktinya, tambah Emily, dalam waktu dekat ini
sudah ada permintaan untuk mengekspor 19 ton beras organik ke Malaysia.
Sumber : wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar