Dengan modal awal dana hasil meminjam kepada atasan, kini Hengky
Setiawan berhasil menjadi atasan dalam bisnis di dunia telekomunikasi.
Kini ia sudah menjadi CEO Telesindo Shop.
Hengky menceritakan, awalnya dia berkecimpung di dunia telekomunikasi
dengan memberanikan diri jual beli ponsel bekas dengan modal pinjaman.
“Tahun 1987 (saya) jadi kurir (di toko sparepart mobil). (Selama) tahun
1989-1990, saya memberanikan diri pinjam dari bos (sebesar) Rp 5 juta,
(padahal) gaji cuma Rp 75.000. Pinjam duit Rp 5 juta, bos pun kaget,”
tutur Hengky kepada Kompas.com, di Jakarta, pertengahan bulan Juli lalu.
Ia mengaku kepada bosnya bahwa uang tersebut akan dibelikan handphone bekas. Kemudian ia mengecat ulang casing
ponsel tersebut di bengkel mobil tempat dia bekerja. Alhasil, handphone
tersebut laku seharga Rp 7 juta, atau lebih dari uang yang dipinjam
dari bos-nya.
Dalam mempertahankan bisnisnya ini, ia pun kembali berutang kepada
bos-nya tersebut hingga beberapa kali. Selain itu, demi memuluskan
penjualan handphone tersebut, ia juga mengiklankan di koran.
Itulah sekelumit perjuangan Hengky yang sekarang sudah menjadi CEO
salah satu perusahaan yang berkecimpung di dunia telekomunikasi
Indonesia.
Pemain tiga zaman
Berdasarkan tahun, ia memang telah berkecimpung di bisnis selular
minimal dua dasawarsa. Oleh sebab itu, ia pun turut mengalami transisi
produk handphone, mulai dari mulai dari NMT (Nordic Mobile Telephone),
AMPS (teknologi 1G), dan GSM (teknologi 2G). “Jadi, saya sudah pemain
tiga jaman,” tambah dia.
Bahkan sebenarnya, kalau dilihat perkembangan teknologi saat ini, ia
malah telah berada di generasi ketiga dari handphone dengan teknologi
3G-nya. Eksistensinya dalam industri ini tentu tidak dijalaninya dengan
mulus. Seiring dengan karakteristik industri ini yang terus mengalami
perubahan teknologi, ia pun membutuhkan dana tambahan untuk
mengembangkan usahanya.
Meminjam uang cukup sering dilakukan oleh ayah dengan empat putera
ini. Berutang tidak hanya dilakukannya kepada orang lain, orang tua
(ibu) pun juga termasuk pihak yang dimintai bantuan dana olehnya.
Pinjaman dana kepada ibunya, yang berprofesi sebagai penjahit, tidak
serta merta mudah diberikan. Uang diberikan dalam jumlah bertahap dan
berbunga. Ia mengaku, bunga tetap dikenakan, karena pada dasarnya ia
meminjam untuk modal bisnisnya.
Pinjaman pun pernah ia layangkan kepada bank, khususnya saat ia telah
bekerja sama dengan Telkomsel. “Makin hari makin gede (dana yang
dibutuhkan). Sudah nggak punya duit lagi, kurang, pinjam ruko, suratnya
diagunin ke Bank BCA. Beli ruko dulu Rp 250 juta. Bank nggak percaya
kita, (akhirnya) kita cuma dikasih Rp 50 juta doang, (atau) dikasih
setengahnya,” ujarnya.
Sekitar tahun 1991, atau eranya AMPS, pola binis yang ia lakukan
yaitu berjualan nomor telepon, selain handphone. Baru selang beberapa
tahun setelahnya, era GSM pun dimulai dengan kehadiran Satelindo. Dengan
perusahaan inilah, ia pernah mengalami pahitnya bisnis di industri yang
berkaitan erat dengan teknologi ini.
Tepatnya, tahun 1996, ia mendaftarkan diri untuk menjadi dealer resmi
Satelindo, dengan nama Satelindo Direct. Waktu itu, ia bersama dengan
temannya sebagai mitra, harus mengeluarkan uang senilai Rp 1 miliar
untuk mengambil barang.
Ia pun harus membayar subsidi handset sebesar Rp 350.000 per
buah. Ternyata, subsidi tidak kunjung dibayarkan. Ia pun harus
menanggung kerugian yang tidak sedikit. Dari kerugian tersebut, harta
yang tersisa hanya 20 toko yang akhirnya dibagi rata dengan mitranya
itu.
Setelah itu, ia pun bekerja sama dengan Telkomsel, tepatnya pada
tahun 1997. Pada saat itulah, Telesindo Shop akhirnya berdiri.
Menurutnya, saat itu, produk Telkomsel cukup meledak di pasaran. Harga
sebuah nomor bisa mencapai Rp 1 juta. Padahal modalnya hanya Rp 250.000.
Dengan keuntungan dari penjualan nomor ini, ia pun terus mengembangkan
usahanya dengan menambah tokonya.
Ia mengemukakan ketika Singtel (perusahaan telekomunikasi Singapura)
masuk ke dalam Telkomsel, ada perkembangan yang positif yang dihasilkan.
Menurutnya, keberadaan Singtel yang membawa pengetahuan mendorong
Telesindo untuk berani mempeluas cabang atau gerainya. “Dia (Singtel)
ngajarin kita jemput bola. Dia bilang, siapa mau buka 50 gerai, (lalu)
saya buka 100 gerai. (Lalu dia bilang) siapa mau buka 100 gerai, (maka)
saya buka 200 gerai. Nah itu, saya selalu berbuat lebih dari kompetisi,”
tuturnya yang mengaku strategi ini sebenarnya telah ia lakukan sejak
dulu.
Setelah sukses bekerja sama dengan Telkomsel dengan lima tahun berturut-turut terpilih sebagai best distributor sejak tahun 2006, ia pun mulai masuk ke penjualan handphone buatan
Cina pada tahun 2008, yang akhirnya menghasilkan TiPhone (PT Tiphone
Mobile Indonesia). Ini merupakan merek handphone ciptaannya sendiri
dengan supplier barangnya berasal dari Cina.
Sempat mengalami penjualan yang kurang sukses pada awalnya, kini
TiPhone bisa berada di top 5 merek handphone di Indonesia dari 143 yang
teregister. Apa yang membuatnya melaju begitu cepat? Ia pun menjawab,
keyakinan!
sumber : wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar