Tadinya, saya berpikir bahwa Mak Syukur itu artinya “emak” dalam bahasa
Jakarta, yang berarti ibu. Tetapi setelah saya tiba di Padang Panjang,
tempat sate Mak Syukur itu berasal, baru saya tahu, panggilan “Mak”
dalam Sate Mak Syukur merupakan kepanjangan dari “Mamak”, yang itu
adalah panggilan untuk laki-laki dewasa. Hehe… (kecele.com).
Biasanya, memang penjaja makanan itu terkenalnya perempuan, tetapi Mak
Syukur (Almarhum), adalah sebutan untuk Syukur Sutan Rajo Endah, penjaja
sate yang mulai mengembangkan usaha memikul sate dari tahun 1941. Mak
Syukur hidup tahun 1911-1985, artinya, ia memang mulai usaha di sekitar
umur 20-30 tahun, menjajakan sate di sekitar Padang Panjang. Kalau dulu
Mak Syukur harus berkeliling menjajakan satenya, sekarang ini giliran
orang-orang yang bela-belain datang dari berbagai kota untuk
makan di kedai Sate Mak Syukur di Kota Padang Panjang, tepatnya di Jalan
Sutan Syahrir Silaing Bawah, termasuk Presiden SBY beserta ibu Ani.
Pikiran saya, kalau Presiden SBY aja datang ke tempat ini, tentu saja
tempat ini mempunyai keistimewaan. Karena itulah, sehari setelah selesai
dari sebuah acara pelatihan di Padang, saya bergegas menuju Padang
Panjang. Kebetulan, ada rombongan kawan menjemput. Terima kasih untuk
Ust Mahfuz, Ust. Angga, dan tim dari Pesantren Thowalib Gunung yang
telah berbaik hati menjemput dan mengantar ke Sate Mak Syukur ini.
Saya sendiri mengenal sate Mak Syukur ini lewat cabangnya di Kelapa
Gading. Sate khas Padang ini memang terasa enak, tentu saja jika dimakan
di tempat asalnya, akan menambah enaknya hidangan ini. Saya tertarik
makan sate padang karena memang kuahnya yang berbeda. Jika sate madura
atau kebanyakan sate menggunakan kacang dan gula, maka sate padang
menggunakan kuah kuning kental yang gurih.
Sate Mak Syukur terbuat dari daging rusuk dan punuk sapi yang dimasak
sampai empuk dengan kuah kuning kental dengan rasa yang tidak terlalu
pedas. Ada juga Sate Mak Syukur yang terbuat dari usus, jantung, dan
lidah sapi. Untuk menambah selera, potongan bawang goreng ditebarkan di
atas sate. Seporsi makan, terdapat tujuh tusuk sate dan ketupat,
dihargai Rp 15.000.
Saat saya bertanya, minuman apa yang unik yang jarang ada di tempat
lain, dengan sigap sang pelayan menyebut Sorbat Telur. Ini minuman unik
terbuat dari jahe campur telor, minuman nikmat terutama pada saat suhu
dingin. Berbeda dengan udara Kota Padang yang panas menyengat, Kota
Padang Panjang memang memiliki udara yang lebih sejuk dan dingin.
Menyeruput minuman ini sehabis makan sate, membuat badan terasa jauh
lebih hangat.
Sambil memakan sate dan menusuk ketupat satu per satu, saya membayangkan
perjuangan Mak Syukur waktu muda dulu. Membawa gerobak sate dari satu
daerah ke daerah lain, menjajakan dan mencari pembeli. Pasti perjalanan
yang tidak mudah, apalagi saat itu masa-masa kemerdekaan RI, di mana
ekonomi rakyat juga belum pulih benar.
Dan semua merek-merek besar di dunia ini memang membutuhkan perjuangan
dan kerja keras panjang. Dari mulai usaha tahun 1941, baru pada tahun
1980an Mak Syukur mendapatkan hasil. Artinya, butuh kesabaran, kerja
keras, dan konsistensi dalam mengembangkan usaha. Mungkin sekarang yang
kita lihat adalah kesuksesan dan saatnya memanen dari apa yang telah
diusahakan. Tetapi di balik itu semua, tidak boleh dilupakan bahwa
kesuksesan itu membutuhkan perjuangan yang panjang.
Dalam sehari, pada hari-hari biasa kedai Sate Mak Syukur ini bisa
menghasilkan sekitar 3000 tusuk sate. Dan saat libur, bisa dua kali
lipat. Saya berempat saat datang ke sini sekitar jam 19.00 malam, sudah
hampir kehabisan. Maklum saja, biasanya rombongan bis wisatawan yang
datang dari arah Padang menuju Bukit Tinggi, biasanya selalu
menyempatkan diri untuk mampir makan di Sate Mak Syukur ini.
Puas rasanya sudah menikmati sate legendaris Sumatera Barat ini. Masih
terbayang kentalnya bumbu kuning nikmat yang menyertai irisan sate
bertabur bawang. Suatu saat, saya akan ke sana lagi.
sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar