Berbagai
pekerjaan kasar pernah dilakoninya, dari kuli angkut, supir angkot
hingga tukang es. Berkat kemauannya belajar, pria berdarah Arab-Betawi
ini mampu menjadi pengusaha sukses. Setelah melewati krismon, bisnisnya
pun terus beranak-pinak.
Kenangan
berdagang es sekoteng pada 1980 di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, tak
akan pernah dilupakan Hisyam Said Bawahab. Karena, itulah detik-detik
awal perubahan drastis dirinya dari orang kecil menjadi pebisnis sukses
seperti sekarang. Saat itu pria keturunan Arab-Betawi
ini berkenalan dengan salah seorang pembeli es sekotengnya yang
ternyata pemilik UI Metal Work (UMW), Umawar. Waktu itu dia baru pulang
dari Inggris. Nawarin samaane mau nggak ikut dia kerja di perusahaan yang mau dibikinnya di bidang metal works, ujar Hisyam dengan logat Betawi yang kental.
Pria kelahiran 15 April 1954 ini mengaku saat itu ia tidak mengerti apa itu metal works. Metalitu besi. Works itu bekerja. Lalu kalau digabung, besinya diapain?
katanya mengingat pertanyaan lugunya 30 tahun silam. Namun, ia pikir
saat itu tak ada salahnya mencoba. Ia pun menerima tawaran sebagai staf
pemasaran. Saya juga ngeliatin anak-anak bikin apa, ujarnya. Dua tahun kemudian UMW mulai mengkhususkan diri pada pembuatan perangkat dapur (kitchen equipment).
Potensi bisnis ini besar karena saat itu belum banyak pemainnya. Hampir
semua pengadaan barang untuk kategori ini di berbagai hotel dan
perusahaan mengandalkan impor. Dengan keleluasaan seperti itu, UMW cukup
berjaya saat itu. Di sinilah Hisyam banyak belajar tentang bisnis.
Tahun pertama, banyak proses kerja yang perlu disesuaikan. Mesin bubut
saya berdiameter 60 cm. Setelah sampai ke lokasi, ternyata yang harus
dibubut berdiameter 1 meter. Saya harus balik lagi ke kantor, kata pria
berusia 56 tahun ini sambil mengingat kerja kerasnya saat itu.
Setahun
kemudian, pertumbuhan bisnis UMW turun. Pada momentum inilah Hisyam
memilih merintis bisnis sendiri: memproduksi perangkat dapur dengan
dibantu tiga karyawan. Hanya setahun berjalan, usaha ini kandas. Supaya
dapurnya tetap mengepul, sulung dari 9 bersaudara ini kembali berjualan
es. Ketika sedang duduk menanti pembeli es cendolnya di daerah Matraman,
Jakarta Pusat, Hisyam ditawari seorang kawan baiknya untuk memakai
gedung miliknya. Pake tuh tempat gue, kosong. Ntar kalau
ada duit, baru bayar, ujar kawannya itu. Di gedung inilah ia
menjalankan roda bisnisnya yang sempat terhenti, dan kembali diawali
dengan tiga karyawan. Kali ini ia bertekad lebih serius. Pada 1985,
secara resmi PT Hatindo Metal Utama berdiri — Hatindo adalah singkatan
Hati Indonesia. Produk-produk yang dihasilkannya: meja, tempat cuci
piring, pemanas, pendingin, exhaust van dan kompor. Di samping memproduksi, ia juga mengimpor produk lain seperti oven, mixer, steamer dan rice cooker besar yang kualitasnya lebih bagus.
Diakui
Hisyam, awalnya ia tidak tahu persis seluk-beluk produksi dan pengadaan
peralatan dapur. Namun, ia tak menolak order. Setelah order masuk,
barulah ia pelajari struktur perangkat tersebut. Caranya, ia tak
segan-segan membongkar barang impor (pendingin, misalnya) untuk
mengetahui komponen di dalamnya. Dari sini, ia lalu membuat pendingin
versi lokal. Uniknya, kliennya tak keberatan, sehingga Hisyam pun kerap
meminta klien membeli perangkat impor yang mereka inginkan, lalu Hatindo
akan menirunya.
Sedikit
demi sedikit hasil dari bisnis ini ia kumpulkan. Selanjutnya, sebagian
dana tersebut digunakan untuk membeli tanah dan membangun pabrik di
Ciputat, Jakarta Selatan, seluas 1.000 m2. Sebagian lainnya ia gunakan
untuk membeli mesin bekas dan bahan baku yang didapatnya dari kawasan
Kota, Jakarta Barat. Seiring dengan pertumbuhan bisnisnya, karyawan pun
bertambah. Pelanggannya tersebar di mana-mana, bahkan sampai luar Jawa.
Rahasianya cuma satu: bisa membuktikan punya produk yang tidak kalah
bagus kualitasnya dari produk luar negeri. Selanjutnya, ya mau capek dan
kerja keras, ungkapnya sembari menambahkan, saat itu ia kian sering
mengikuti berbagai pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Melihat
perkembangan usahanya yang pesat, Bank BNI menawarinya kredit. Saat itu
ia pun mengambil Kredit Usaha Kecil BNI sebesar Rp 50 juta. Hisyam tidak
membutuhkan waktu lama untuk melunasinya: hanya setahun.
Lama-kelamaan,
bisnis ini mulai banyak diminati orang. Namun, Hatindo tak goyah.
Perusahaan ini tetap melanjutkan pelayanan 24 jam terhadap konsumen.
Kalau sore karyawan pulang, saya taruh dua karyawan untuk menjaga,
takutnya ada telepon klien masuk, kata Hisyam. Kelebihan lain, Hatindo
selalu percaya diri terhadap semua permintaan. Pantang bagi Hatindo
menolak. Bagi Hisyam, tak ada yang tidak mungkin. Sesulit apa pun
permintaan klien, selalu ada jalan keluarnya.
Ia menekankan pada anak
buahnya untuk secepat mungkin mengeksekusi permintaan klien.
Penawaran
tidak boleh lama. Orang telepon sekarang, ini hari juga harus sampai ke
dia, ujarnya tandas. Penawaran di sini biasanya menyertakan gambar,
perhitungan, spesifikasi, dan lain-lain yang terkait dengan order. Tidak
ada kata besok. Lama pembuatan barang sekitar 1-3 bulan. Saya planning pakai kapal laut pengiriman barang impor. Tapi saya lihat outlet-nya sudah mau buka. Maka, saya ubah naikair plane, papar Hisyam mencontohkan salah satu cara kerjanya.
sumber : idegilabisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar