Banyak pengusaha datang dari usia
belia. Khafidz Nasrullah salah satunya. Di usia yang baru 23 tahun,
pemilik Kendal Agro Lestari ini mampu membukukan omzet sebulan hingga Rp
2 miliar lewat usaha penyulingan minyak asiri di desanya.
Di sebuah pameran usaha yang
digelar di Jakarta Convention Center pekan lalu, ada sebuah booth yang
begitu ramai pengunjung. Seorang pemuda tampak ramah menyapa pengunjung
stan tersebut, sembari menjelaskan isi botol kecil di tangannya.
Khafidz Nasrullah nama pemuda itu.
Selintas memang tak banyak contoh produk yang dia pajang di booth-nya,
namun, siapa sangka, melalui botol-botol tersebut, mahasiswa Teknik
Industri Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta ini bisa meraih
pendapatan hingga miliaran rupiah setiap bulan. Ia juga berhasil
mendongkrak kesejahteraan keluarga dan ratusan masyarakat di sekitar
tempat tinggalnya.
Khafidz, begitu ia biasa disapa,
berasal dari sebuah desa kecil bernama Ngargosari, Kecamatan Sukorejo,
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Mayoritas penduduk desa yang terletak 18
kilometer dari Sukorejo ini bekerja sebagai buruh tani dan perkebunan,
hingga tak banyak yang mampu menempuh pendidikan tinggi di sana. Selain
jauhnya jarak tempuh, kondisi jalan rusak dan berlubang menjadi kendala.
Beruntung, di akhir masa sekolah
menengah atas (SMA), Khafidz mendapat kesempatan kuliah dengan beasiswa
dari pemerintah daerah. Ia pun menjadi satu-satunya warga Ngargosari
yang berpeluang mencicipi perguruan tinggi. Sayang, keberuntungan belum
berpihak kepadanya. Akibat birokrasi yang tak kunjung usai, Khafidz pun
kehilangan kesempatan memperoleh beasiswa itu.
Namun, tekad Khafidz dan
keluarganya tetap menyala. Ia tetap mendaftar kuliah dengan uang hasil
penjualan kambing peliharaan, senilai Rp 1,6 juta. Pada 2006, Khafidz
pun resmi terdaftar sebagai mahasiswa.
Di tahun pertama, Khafidz yang
masih benar-benar buta dengan kota Yogyakarta harus rela tidur di
masjid. Selama semester satu, Khafidz masih meminta uang bulanan dari
orangtua. Akhirnya, di semester kedua, Khafidz mulai bergerak mencari
pekerjaan untuk biaya sehari-harinya.
Ia mulai kerja serabutan. Salah
satunya, mencari burung Kenari di desanya dan menjualnya untuk para
pehobi burung di Kota Gudeg ini. Hingga, suatu ketika, ada tawaran
tinggi untuk burung yang dijualnya. Namun, belum sempat terjual, burung
tersebut mati. Khafidz pun berhenti berjualan burung.
Tak patah arang, Khafidz kembali
mencari pekerjaan lain sembari kuliah. Beberapa kali, ia diupah untuk
membantu lembaga-lembaga survei, Dinas Kesehatan, dan Fakultas
Kedokteran UIN untuk menyebar kuesioner. Ia pun sering meminjam uang ke
dosennya. “Saya dulu terkenal karena sering ngutang,” ujarnya seperti
dikutip dari
Lantaran penghasilan dari pekerjaan
serabutan itu tak menentu, pemuda desa ini pun terdorong untuk memulai
usaha pertamanya. Dengan bantuan teman, Khafidz membuka angkringan nasi
kucing. Awalnya, ia hanya menjalankan angkringan milik temannya.
Akhirnya, Khafidz membeli gerobak dan mengelola usaha itu sendiri.
Walau harus bangun pukul lima pagi
untuk membeli berbagai keperluan dan menunggu angkringan sepulang
kuliah hingga pukul satu dini hari, Khafidz bersyukur. Pasalnya, selama
tiga tahun usaha angkringan berjalan, ia mampu membiayai makan
sehari-hari, sewa kos, dan uang semesteran. Dari angkringan itu pula,
Khafidz memperoleh semangat dan ilmu berwirausaha. “Karena sembari
ngobrol, bisa ketemu banyak orang di situ,” ujarnya.
Ketika sudah lebih mapan, ia
kembali mendapat ujian. Saat menyelesaikan tugas magang di Cilegon,
gerobak angkringan dicuri orang. “Padahal itu gerobak cicilan, harganya
mahal bagi saya, Rp 1,5 juta,” kenangnya.
Kembali bergulat dengan kerja
serabutan, Khafidz pun sering pulang ke kampung halaman. Sepanjang
perjalanan ke rumahnya yang dipagari lebih dari 1.000 hektare kebun
cengkih, Khafidz melihat daun-daun cengkih yang berserakan. Ia pun
teringat pengalamannya, saat melihat penjual minyak asiri (essential
oil) dari nilam di sebuah pameran. Lantas, terbitlah ide untuk membuat
minyak asiri dari daun cengkih.
Berbekal rasa penasaran, Khafidz
melakukan riset kecil-kecilan. Selama setahun, ia mempelajari proses
produksi hingga pemasaran. Yakin dengan potensi pasar dan ketersediaan
bahan baku yang besar, ia mulai membuat minyak asiri. Untuk mengawali
usaha yang bernama Kendal Agro Atsiri itu, pemuda 23 tahun ini
menggandeng seorang teman. Ia mendapat modal Rp 80 juta untuk membeli
fasilitas penyulingan pertama. Tepat setahun, modal pun kembali.
Sayang, ketika ingin mengembangkan
usaha, sang teman justru menarik modalnya. Khafidz segera mencari
investor pengganti. Dengan investor baru, dia menambah sebuah fasilitas
penyulingan lagi. Biaya untuk membangun fasilitas penyulingan ini
mencapai Rp 250 juta.
Potensi minyak asiri yang besar
terus mendongkrak bisnis Kendal Agro Atsiri. Dari dua penyulingan, omzet
Khafidz terus membesar, yakni mencapai Rp 700 juta per bulan.
Kini, ia telah mengoperasikan empat unit penyulingan dengan mempekerjakan 400 orang, sebagai pengumpul daun-daun cengkih. Pengumpulan daun ini ditampung di 35 pengepul yang tersebar di sepuluh desa.
Berkat Khafidz, warga desa
Ngargosari bisa meningkatkan taraf hidupnya. Ibu-ibu, yang sehari-hari
biasa bekerja sebagai buruh tani dan pabrik, bisa mendongkrak
penghasilannya hingga Rp 1 juta per bulan.
Tak hanya pasar lokal, pemasaran
minyak asiri juga sudah menjangkau sejumlah negara di Eropa, seperti
Swiss dan Jerman. Dari Benua Biru itu, Khafidz menerima permintaan
minyak asiri mencapai lima ton per bulan. Permintaan juga datang dari
produsen obat dan kosmetik di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia.
Seiring dengan derasnya permintaan,
selain asiri cengkih, Khafidz juga mengembangkan produk minyak asiri
dari kulit pala, nilam, bunga mawar dan melati. Maklum, harga minyak
asiri cukup tinggi. Minyak dari daun cengkih berbanderol Rp 100.000 per
kg. Asiri dari nilam mencapai Rp 400.000 per kg, sementara asiri kulit
pala berharga Rp 600.000 per kg.
Dari semua asiri yang diproduksi,
asiri mawar dan melati terbilang paling mahal. Minyak dua bunga tersebut
dapat dibanderol dengan kisaran harga puluhan hingga seratusan juta
rupiah tiap kilogram.
Tak heran, tiap bulan, Khafidz bisa
mengantongi pendapatan hingga Rp 2 miliar. Tahun ini ia juga berencana
menggenjot kapasitas produksinya hingga 36 ton per tahun.
sumber : ciputraentrepreneurship.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar