Usaha penggemukan domba milik H Bunyamin selalu diminati konsumen. Kuncinya, domba harus berpenampilan sehat dan bersih.
Desa Cimande, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini tidak saja dikenal sebagai tempat dukun patah tulang dan perguruan silat, tapi juga sentra peternakan domba. Predikat sebagai daerah peternakan domba itu muncul setelah Haji Bunyamin mendirikan “Tawakkal Farm”, sebuah usaha penggemukan domba sejak 1993.
Desa Cimande, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini tidak saja dikenal sebagai tempat dukun patah tulang dan perguruan silat, tapi juga sentra peternakan domba. Predikat sebagai daerah peternakan domba itu muncul setelah Haji Bunyamin mendirikan “Tawakkal Farm”, sebuah usaha penggemukan domba sejak 1993.
Begitu memasuki mulut desa Cimande, setiap pengunjung atau tamu dengan
mudah mencari sang peternak, karena nama Haji Bunyamin sudah begitu
dikenal oleh tukang ojek yang mangkal di sana. Peternakan yang dirintis
oleh Haji Bunyamin mulai dari usaha kecil-jecilan itu, kini telah
berkembang cukup pesat. Di sana sekarang terdapat 1.200 ekor domba,
yang ditempatkan dalam lima kandang kayu. Semua kandang terawat bersih,
bahkan tidak tercium bau domba.
Bunyamin biasa
menerima para tamu di sebuah kamar sekaligus tempatnya bekerja, yang
berada persis di depan kandang domba. Para tamu yang berkunjung ke sana
datang dari berbagai kalangan. Mahasiswa jurusan peternakan
Universitas Padjajaran dan Institut Pertanian Bogor (IPB) misalnya,
sering kali menjadikan peternakan Bunyamin ini sebagai tempat magang.
Begitu pula para karyawan yang memasuki masa pensiun, seperti karyawan
Bank Indonesia dan BRI, sengaja datang untuk mempelajari cara beternak
domba sebagai persiapan usaha bila masa pensiun tiba.
“Tapi saya
sendiri tidak punya ilmunya. Saya hanya tukang angon,“ kata Bunyamin
merendah. Domba-domba hasil penggemukan Bunyamin memang sudah dikenal,
bukan saja di Bogor tapi hingga ke wilayah Tangerang dan Jakarta.
Biasanya domba-domba itu masuk ke restoran untuk sop atau sate, dan
juga untuk kurban pada hari raya Idul Adha.
Untuk restoran di
kawasan Ciawi hingga Puncak saja, terdapat 32 rumah makan yang
menyediakan sop dan sate kambing. Menurut survei yang dilakukan Haji
Kadir, seorang pemilik rumah makan khusus menyediakan sop dan sate di
Cisarua, untuk kebutuhan seluruh rumah makan di kawasan itu dibutuhkan
560 ekor domba setiap hari atau 560 ekor dalam seminggu. Rumah makan
milik Haji Kadir saja membutuhkan delapan ekor domba per hari, dan
kalau malam minggu bisa sampai 14 ekor.
“Untuk memebuhi
kebutuhan rumah makan dari pasar Ciawi sampai Puncak saja saya tidak
sanggup. Kesanggupan saya paling hanya dua hari dalam seminggu,”aku
Bunyamin. Harga per kilo domba Rp 17.500. Namun, memasuki bulan haji
bisa melonjak sampai Rp 25 ribu per kilo. Di tingkat peternak, domba
memang dihitung kiloan.
Meski sudah 14 tahun menggeluti
usaha penggemukan domba, Bunyamin merasa masih belum pantas disebut
sebagai peternak domba yang sukses. Baginya, peternak yang sukses salah
satu persayaratannya harus sudah punya lahan sendiri, tempat menanam
rumput sebagai makanan utama domba.
Untuk saat ini guna memenuhi kebutuhan pakan domba-dombanya, Bunyamin masih harus mencari rumput ke kawasan lain di sekitar Cimande. Tapi, saat musim kemarau lokasi tempat pengambilan rumput semakin jauh, sehingga harus menambah beban transportasi. Setidaknya, dalam sehari, 120 karung rumput harus disediakan untuk semua dombanya, yang diberi makan sebanyak dua kali, pagi dan sore.
Tidak heran bila domba-domba milik Bunyamin tampak sehat. Bulu-bulu dombanya tidak dibiarkan tumbuh tak terawat. Ketika domba dari warga yang dibelinya masuk ke peternakan, harus dicukur biar bersih. Kukunya dipotong secara berkala. Obat cacing juga rutin diberikan untuk membersihkan isi perutnya. Sebab, menurut pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor ini, hampir semua kambing yang dipelihara warga pasti terkena penyakit cacing.
Domba yang sehat dan terawat adalah daya tarik tersendiri bagi konsumen. “Mereka akan merasa puas dengan domba seperti ini, “ kata lelaki kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 2 Mei 1956 ini. Apalagi bila melihat domba Garut atau sering disebut domba tangkas yang khusus untuk domba adu. Harga bibitnya saja bisa mencapai Rp 3 juta. Di peternakan milik Bunyamin, harga domba Garut ditentukan oleh “tongkrongannya”. Artinya, kalau penampilannya bagus dan bersih harga seekor domba Garut bisa mencapai Rp 15 juta.
Keberhasilan Bunyamin menggeluti usaha penggemukan domba, bermula dari hobi memelihara domba. Ketika itu pada 1990, Bunyamin memelihara enam ekor domba di belakang rumahnya. Ketika lebaran haji tiba, dia memotong tiga ekor dan menjual tiga ekor lainnya. Rupanya, penjualan tiga ekor ini memberi keuntungan lumayan, sehingga terpikir olehnya untuk meneruskan usaha jual beli domba.
Akhirnya, pada 1993, Bunyamin mendirikan Tawakkal Farm. Untuk tempat pemeliharaannya Bunyamin membeli lahan secara mencicil, tak jauh dari rumahnya yang kini dijadikan kandang sekaligus tempat tinggal 20 orang karyawannya.
Namun di tengah keberhasilan itu, Bunyamin sebenarnya memiliki trauma dalam usaha peternakan. Kisahnya terjadi antara tahun 1982 hingga1987, ayah seorang putera membuka usaha ayam potong. Jumlah ayam potongnya saat itu mencapai 110 ribu ekor. Hingga 1985 usahanya itu terbilang sukses, sehingga Bunyamin berhasil membeli dua truk dan sebuah kendaraan pick-up untuk keperluan angkutan ternak dan lainnya.
Tapi, tatkala memasuki 1986, harga pakan ayam mulai naik, sementara harga jual ayam potong di pasar setiap kali panen justeru anjlok. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutupi oleh penghasilan. Pada saat yang sama dia juga harus bersaing dengan pengusaha ayam potong kelas konglomerat yang memiliki peralatan dan modal kuat. “Akhirnya saya bangkrut,” cerita Bunyamin mengenai masa lalunya itu. Dua buah truk dan seluruh angkutan, serta semua peralatan peternakan ludes dijual.Bunyamin menyebut kejatuhan atau kebangkrutan itu dengan sebutan “dipatok ayam”.
Masih beruntung saat itu Bunyamin tidak punya utang. Sementara ada kawan-kawannya sesama peternak ayam potong lebih tragis lagi. Menurut cerita Bunyamin, ada peternak ayam potong mati mendadak karena kaget, dan ada pula yang harus menjual rumah tinggalnya, dan pindah ke gubuk yang sebelumnya digunakan untuk beternak ayam.
Pengalaman menyakitkan itu membuat Bunyamin makin awas dalam memilih jenis ternak untuk usaha. Dia pun kemudian memilih usaha penggemukan domba. Karena, dia yakin, domba akan memberinya keberuntungan. “Sebab harganya stabil,” katanya optimistis. Mudah-mudahan.
Untuk saat ini guna memenuhi kebutuhan pakan domba-dombanya, Bunyamin masih harus mencari rumput ke kawasan lain di sekitar Cimande. Tapi, saat musim kemarau lokasi tempat pengambilan rumput semakin jauh, sehingga harus menambah beban transportasi. Setidaknya, dalam sehari, 120 karung rumput harus disediakan untuk semua dombanya, yang diberi makan sebanyak dua kali, pagi dan sore.
Tidak heran bila domba-domba milik Bunyamin tampak sehat. Bulu-bulu dombanya tidak dibiarkan tumbuh tak terawat. Ketika domba dari warga yang dibelinya masuk ke peternakan, harus dicukur biar bersih. Kukunya dipotong secara berkala. Obat cacing juga rutin diberikan untuk membersihkan isi perutnya. Sebab, menurut pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor ini, hampir semua kambing yang dipelihara warga pasti terkena penyakit cacing.
Domba yang sehat dan terawat adalah daya tarik tersendiri bagi konsumen. “Mereka akan merasa puas dengan domba seperti ini, “ kata lelaki kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 2 Mei 1956 ini. Apalagi bila melihat domba Garut atau sering disebut domba tangkas yang khusus untuk domba adu. Harga bibitnya saja bisa mencapai Rp 3 juta. Di peternakan milik Bunyamin, harga domba Garut ditentukan oleh “tongkrongannya”. Artinya, kalau penampilannya bagus dan bersih harga seekor domba Garut bisa mencapai Rp 15 juta.
Keberhasilan Bunyamin menggeluti usaha penggemukan domba, bermula dari hobi memelihara domba. Ketika itu pada 1990, Bunyamin memelihara enam ekor domba di belakang rumahnya. Ketika lebaran haji tiba, dia memotong tiga ekor dan menjual tiga ekor lainnya. Rupanya, penjualan tiga ekor ini memberi keuntungan lumayan, sehingga terpikir olehnya untuk meneruskan usaha jual beli domba.
Akhirnya, pada 1993, Bunyamin mendirikan Tawakkal Farm. Untuk tempat pemeliharaannya Bunyamin membeli lahan secara mencicil, tak jauh dari rumahnya yang kini dijadikan kandang sekaligus tempat tinggal 20 orang karyawannya.
Namun di tengah keberhasilan itu, Bunyamin sebenarnya memiliki trauma dalam usaha peternakan. Kisahnya terjadi antara tahun 1982 hingga1987, ayah seorang putera membuka usaha ayam potong. Jumlah ayam potongnya saat itu mencapai 110 ribu ekor. Hingga 1985 usahanya itu terbilang sukses, sehingga Bunyamin berhasil membeli dua truk dan sebuah kendaraan pick-up untuk keperluan angkutan ternak dan lainnya.
Tapi, tatkala memasuki 1986, harga pakan ayam mulai naik, sementara harga jual ayam potong di pasar setiap kali panen justeru anjlok. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutupi oleh penghasilan. Pada saat yang sama dia juga harus bersaing dengan pengusaha ayam potong kelas konglomerat yang memiliki peralatan dan modal kuat. “Akhirnya saya bangkrut,” cerita Bunyamin mengenai masa lalunya itu. Dua buah truk dan seluruh angkutan, serta semua peralatan peternakan ludes dijual.Bunyamin menyebut kejatuhan atau kebangkrutan itu dengan sebutan “dipatok ayam”.
Masih beruntung saat itu Bunyamin tidak punya utang. Sementara ada kawan-kawannya sesama peternak ayam potong lebih tragis lagi. Menurut cerita Bunyamin, ada peternak ayam potong mati mendadak karena kaget, dan ada pula yang harus menjual rumah tinggalnya, dan pindah ke gubuk yang sebelumnya digunakan untuk beternak ayam.
Pengalaman menyakitkan itu membuat Bunyamin makin awas dalam memilih jenis ternak untuk usaha. Dia pun kemudian memilih usaha penggemukan domba. Karena, dia yakin, domba akan memberinya keberuntungan. “Sebab harganya stabil,” katanya optimistis. Mudah-mudahan.
sumber : sentrakukm.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar