Deretan toko di Jalan Godean Km. 7,5, Yogyakarta, terlihat kesibukan
beberapa pria mengangkati kantong pakan ternak ke atas sebuah mobil
pikap tak menyurut. Di antara mereka terlihat seorang lelaki setengah
baya yang ikut bermandi keringat membawa zak-zak itu sambil menghitung
tumpukan yang sudah berada di atas mobil, siap dikirim ke para pembeli.
Mengenakan kaus oblong, celana panjang,
dan sandal kulit imitasi, ia tak berbeda dengan para pengangkut lainnya.
Suaranyalah yang membedakan. Dengan tegas ia mengomandani aktivitas di
siang itu. Dialah Tujo Hadi Sumarto, 50 tahun, satu dari pengusaha besar
perdagangan ayam potong dan pakan ternak di Jogyakarta.
Setiap hari, Tujo, yang lebih dikenal
dengan nama kecilnya Paidi, bisa menjual 25 hingga 30 ton ayam potong ke
Jakarta, Bogor, dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Untuk menunjang usahanya, ia memiliki 20 truk besar dan Colt pikap,
serta 10 buah sepeda motor. Tersedia pula gudang seluas 4.000 meter
persegi dan tiga lokasi kandang dengan kapasitas sekitar 4.000 ekor
ayam. “Untuk melanyani pembeli di sekitar sini,” ujarnya.
Uang yang berputar dalam bisnis ayam potong itu ditaksir rata-rata mencapai Rp. 200 juta per hari. Dari ayam
ini, Tujo telah memetik hasilnya: dua rumah besar jadi tempatknya
berteduh — salah satunya yang bernilai Rp. 850 juta baru dibangun di
atas tanah seluas 550 meter persegi. Mau ke mana-mana ia tinggal
menstater tiga mobil menterengnya, dua buah Baby Benz dan satu buah BMW.
Cerita Paidi bukanlah kisah Cinderella. Keberhasilan pengusaha ini bisa ditiru siapa pun yang punya tekad sekuat Tujo. Hanya lulusan sekolah rakyat (setingkat sekolah dasar), lelaki ini membangun bata demi bata istananya dengan sikapnya yang menghalalkan kerja keras, tekun dan berhemat selama bertahun-tahun.
Cerita Paidi bukanlah kisah Cinderella. Keberhasilan pengusaha ini bisa ditiru siapa pun yang punya tekad sekuat Tujo. Hanya lulusan sekolah rakyat (setingkat sekolah dasar), lelaki ini membangun bata demi bata istananya dengan sikapnya yang menghalalkan kerja keras, tekun dan berhemat selama bertahun-tahun.
Mewarisi bakat dagang dari ayahnya,
mula-mula Paidi sekadar membantu menjual ayam potong milik ayahnya. Pada
1969, ia memulai bisnis sendiri sebagi pedagang ayam keliling. Berbekal
sedikit uang dari ayahnya dan sebuah sepeda onthel dengan keranjang di
belakangnya, ia keluar-masuk kampung mengumpulkan ayam dan menjualnya ke
pasar-pasar di sekitar Wates, Nanggulan, Godean, Muntilan, hingga
Jogjakarta.
Untuk menjual 70 ekor ayam kampung hidup,
Paidi harus menggenjot sepedanya kadang sampai 35 kilometer. Ia tak
berkeluh kesar. “bagaimana lagi, saya harus menjalani pekerjaan itu
dengan telaten. Mau melanjutkan sekolah, orang tua tidak mampu, jadi
saya mengikuti jejak orang tua berjualan ayam,” tuturnya.
Genjotan onthel-nya mengalirkan rezeki.
Dalam tempo 10 tahun, sepedanya bisa pensiun karena digantikan sebuah
mobil Colt pikap. Jangkauan pemasarannya jelas membesar hingga ke
pelosok desa di sekitar Jogjakarta. Jumlah ayam yang dijualnya meningkat
hingga sekitar 500 ekor ayam kampung setiap hari.
Pada saat marak usaha peternakan ayam
potong, ayah tiga orang itu memberanikan diri menjadi peternak. Itu
dilakukannya pada 1990. Dua tahun kemudian, seiring dengan makin
sulitnya mencari ayam kampung, dagangannya dialihkan menjadi ayam
negeri. Jogjakarta dianggapnya tak lagi cukup besar, maka luar daerah
pun dibanjirinya dengan ayam potong yang disebar memakai truk sewaan.
Hanya beberapa tahun ia menyewa, setelah itu Paidi memakai Colt L-300
pikap yang dibelinya sendiri.
Sikap wiraswasta teruji di kala krisis
ekonomi mendera. Saat itu, ada peternak yang mengelola 80 ribu ayam
potong yang bangkrut karena tingginya harga pakan ayam. Paidi
mengambilalihnya. Truknya dijual untuk tambahan modal. Perhitunganya
terbukti tepat. Ketika itu, lantaran banyak pedagang dan peternak jatuh
bangkrut, pasokan ayam otomatis menurun drastis sehingga harganya
melambung tinggi. Tujo pun menuai untuk melimpah.
Keberhasilan Paidi meniti buih pada saat
terhadi krisis moneter tak lepas dari sikapnya yang hemat dan
berhati-hati. Ia tak pernah hanya terbawa arus kebiasaan meminjam uang
di bank atau membeli barang dengan sistem kredit. Dengan merendah, ia
mengaku sebagai orang yang penakut. “Kalau pemberani, mungkin sudah
sukses dari dulu karena belum banyak pedagang sehingga saingannya
sedikit,” katanya.
Namun, sikap penakutnya itu justru
menolongnya karena membuat ia tak teherat utang selama masa krisis,
sementara pedagang lain jatuh karena utang menumpuk. “Saya tidak suka
kredit. Membeli mobil pun saya lakukan secara kontan. Kalaupun terpaksa
kredit benar-benar saya perhitungkan jangan sampai nantinya tidak mampu
membayar,” paparnya panjang lebar. Selama berbisnis, Paidi tercatat baru
sekali meminjam uang, yaitu dari PT. Sarana Jogja Ventura. Bantuan
pembiayaan Rp. 200 juta itu diterimanya setahun lalu untuk menyelesaikan
pembangunan rumah.
Ada lagi beberapa sifat Paidi yang cocok dengan iklim usaha yang dijalaninya. Ia, misalnya sangat menjunjung kejujuran dan menjaga kepercayaan orang. Hasilnya? Dengan bangga ia menuturkan bisa gampang berjual-beli hanya dengan menggunakan telpon. “Kadang, kalau mengambil ayam, saya hanya menyuruh sopir dengan membawa memo atau DO (delivery order), mereka sudah percaya,” katanya. Kemudian ayam-ayam itu langsung dikirim lagi ke pedagang yang memesan. Tentu, tak semua kliennya seperti dirinya. Sekali it pernah kena getok. Suatu ketika ia mendapat pesanan satu truk telur ayam senilai Rp. 18 juta. Barang langsung dikirim, tapi pembayaran tak kunjung sampai hingga kini.
Satu lagi sifatnya yang susah-susah
gampang untuk ditiru adalah tidak kemaruk. Ia tetap menjalani hidup
sederhana, tak ada secuil kemewahan pun di tempat kerjanya di Jalan
Godean, yang hanya berupa lima unit toko seluas 4 kali 3 meter. Satu
ruangan digunakan untuk kantor dan yang lain menjadi gudang sekaligus
toko pakan ternak yang dinamainya “Wawan Poultry Shop”, mengambil nama
salah seorang anaknya.
Di sana cuma ada sebuah meja tulis tua dilapisi kaca yang pojoknya sudah pecah, tiga kursi lipat, dua kursi kayu dan dua bangku panjang. Di sisi lain ruangan itu terlihat sebuah lemari dokumen besi bersusun empat dan sebuah kulkas. “Saya tidak senang dipuji, karena itu saya tidak mau mengubah penampilan. Sejak dulu yang begini, punya atau tidak punya, ya seadanya dan biasa saja,” ceritanya
Tak cuma hubungannya dengan pelanggan yang harus dipelihara, tapi juga mitra kerja dan kesejahteraan para karyawannya. Sebanyak 40 orang karyawannya loyal kepadanya karena mendapat gaji dan fasilitas yang cukup. Bonus dan piknik bersama selalu menunggu mereka di setiap akhir tahun. Seperti tahun ini, ramai-ramai mereka piknik ke Jawa Timur memakai dua bus.
Di sana cuma ada sebuah meja tulis tua dilapisi kaca yang pojoknya sudah pecah, tiga kursi lipat, dua kursi kayu dan dua bangku panjang. Di sisi lain ruangan itu terlihat sebuah lemari dokumen besi bersusun empat dan sebuah kulkas. “Saya tidak senang dipuji, karena itu saya tidak mau mengubah penampilan. Sejak dulu yang begini, punya atau tidak punya, ya seadanya dan biasa saja,” ceritanya
Tak cuma hubungannya dengan pelanggan yang harus dipelihara, tapi juga mitra kerja dan kesejahteraan para karyawannya. Sebanyak 40 orang karyawannya loyal kepadanya karena mendapat gaji dan fasilitas yang cukup. Bonus dan piknik bersama selalu menunggu mereka di setiap akhir tahun. Seperti tahun ini, ramai-ramai mereka piknik ke Jawa Timur memakai dua bus.
Dengan modal ketekunan, kejujuran, dan
sikap hemat itulah Paidi menyongsong masa depan bisnis ayam potong yang
menurut dia kini agak lesu. Apalagi pedagang semakin banyak sehingga
tingkat persaingan makin tinggi. Kendati begitu, ia mengaku tidak
mengalami penurunan omzet, tapi selama setahun terakhir sulit
meningkatkan omzet. Pada tahun depan, dengan diberlakukannya perdagangan
bebas dan penetapan harga standar, persaingan tentu akan semakin ketat.
“Pada saat itu, kualitas harus menjadi
modal utama kami, dan servis kepada pelanggan menjadi sangat penting,”
kata Paidi dengan gaya bicara yang tenang. Dan, ia beruntung sudah
mengantongi modal hubungan baik yang selalu terpelihara dengan para
pedagang dan peternak yang menjadi mitra kerjanya. “Saya berdagang
selalu menggunakan ini (menunjuk ke dada). Jadi, bagi saya, pembeli,
berapa pun dia membeli, saya perlakukan sama karena pembeli adalah raja.
Selain itu, ramah-tamah tidak boleh ditinggalkan,” katanya sambil
tersenyum. Sikap ramah-tamah dan bersahabat itu, tuturnya, penting untuk
menjaga tali persaudaraan. Kalau sudah begitu, menurut dia, pelanggan
akan sungkan lari ke tempat lain.
sumber : wordpress.com
Boleh minta kontak paidi tidak? Klo boleh tolong emailkan ke f_430_s@hotmail.com dong. Makasih yah.
BalasHapus