Senin, 17 Desember 2012

Benny Hadisurjo Bisnis Restoran


Benny Hadisurjo tumbuh di lingkungan keluarga pemilik restoran. Orang tuanya sukses dengan Satay House. Setahun ini, peraih gelar MBA dari negara Paman Sam ini juga menekuni bisnis restoran. Waralaba restoran Popeyes asal AS untuk Indonesia pun dipegangnya di bawah bendera PT Popindo Selera Prima. Investasi per restoran mencapai Rp1 miliar. Dalam waktu setahun, restoran Popeyes telah berjumlah sepuluh, yang tersebar di Jabotabek dan satu di Surabaya. Targetnya, akhir tahun ini restoran tersebut diharapkan menjadi dua puluh.

Bagi Benny Hadisurjo (33), bisnis restoran boleh dibilang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagaimana tidak, ia tumbuh di lingkungan keluarga pemilik restoran. Kala orang tuanya--pasangan Hadisurjo yang asli Kudus--hijrah ke Ibu Kota 28 tahun lalu, mereka membuka restoran dan apotek. Rumah keluarga ini yang kecil dibagi dua, yakni untuk tempat tinggal dan restoran, sedangkan sebelah rumah dimanfaatkan untuk apotek.

"Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, saya kebagian tugas menyapu dan membukakan pintu bagi tamu restoran. Semua itu saya lakukan di luar waktu sekolah. Rasanya senang sekali, (saya) bisa membantu mama, meskipun hanya tugas ringan," kenang ayah dua orang anak ini.

Dalam pandangan keluarga Hadisurjo, pengembangan bisnis restoran bisa berjalan selaras dengan hobi mereka, yakni jalan- jalan dan makan. Kiat sederhana ini, apabila disertai kegigihan, maka bisa berhasil. Hal itu terbukti dari perkembangan Satay House. Mulanya restoran keluarga ini berukuran kecil, tetapi kemudian berkembang dengan banyak pelanggan.

"Sambil jalan-jalan, biasanya kami mencari makanan atau restoran yang menjadi 'trade mark' di suatu daerah. Walaupun letaknya terpencil, kalau kami dengar di tempat tersebut ada makanan enak, pasti kami memburunya. Sesampai di rumah, kami diskusikan dan coba untuk memecahkan rahasia bumbu dan teknik olahannya. Asyik sekali, lho," papar insinyur mesin ini.

Kendati tidak berlatar belakang kuliner, keluarga Hadisurjo bisa memiliki berbagai restoran di sejumlah lokasi dengan menu-menu yang cocok di lidah warga Jakarta. Sebut saja, restoran Satay House (kini Sate Khas Senayan), Tam Nak Thai, Kintamani, dan restoran Seafood Senayan. Selain itu, mereka juga memiliki optik dan apotek yang kondang dengan nama Optik Melawai dan Apotik Melawai.

Menilik kesuksesan orang tuanya itu, Benny lantas menekuni pula bisnis restoran. Namun, ia tidak mau asal ikut- ikutan berbisnis restoran dan membuat sesuatu yang sama lagi. Ia pun memikirkan sebuah restoran yang dapat menjadi alternatif bagi para avonturir makanan.

Menurut Benny, penggemar makan mencari makanan bukan saja yang enak dan sehat, melainkan juga harus ada unsur bertualang dalam rasa. "Artinya, sejak masih dimasak sampai disajikan, (dalam makanan) itu harus ditemukan sesuatu yang khas," katanya.

Di samping itu, ia juga membekali dirinya dengan riset pasar. Hasil riset menunjukkan, kalangan profesional muda, remaja, dan keluarga di kota Metropolitan dan sekitarnya memilih fast-food sebagai bagian dari gaya hidup.

Oleh karena itu, peraih gelar master of business administration (MBA) dari Boston College (AS) ini berpasangan dengan Arianti Darmawan membuka restoran fast-food (siap saji). Pilihan pun jatuh kepada restoran waralaba asal negara Paman Sam, Popeyes Chicken & Seafood. Melalui PT Popindo Selera Prima, jadilah restoran pertama beroperasi mulai Mei tahun lalu.

"Saya ingin Popeyes menjadi alternatif bagi petualang makanan." Di restoran berlogo tokoh kartun Popeye The Sailorman ini para petualang makanan bisa menemukan cita rasa masakan Cajun khas New Orleans.

Resep masakan Cajun sendiri berkembang 200 tahun lalu di New Orleans, yang dijuluki "The Queen of Mississippi". Masakan ini hasil percampuran menu masakan Perancis, Spanyol, dan komunitas kulit hitam asal Afrika, yang pada masa lalu dikapalkan ke daratan AS sebagai budak belian. Pendatang asal Perancis, yang kemudian bahu-membahu mendirikan kota New Orleans, memadukan menu masakan sehari-hari mereka dengan menggunakan bumbu yang tersedia di daerah tersebut.

Di tangan Benny, Popeyes berkembang cepat. Dalam setahun saja gerai restorannya sudah menjadi sepuluh restoran yang tersebar di wilayah Jabotabek dan satu di Surabaya. Targetnya, hingga penghujung tahun ini, sampai 20 restoran yang dibuka. Investasi yang dikeluarkan oleh Benny untuk satu restoran berkisar Rp500 juta hingga Rp1 miliar.

Menurut Benny, jumlah pengunjung di tiap restorannya pada hari-hari biasa terbilang lumayan, yaitu sekitar 500 orang per hari. Jumlah tersebut menjadi dua kali lipat pada akhir pekan dan hari-hari libur. "Saya tidak bisa mengutarakan secara mendetail berapa omzet kami karena per restoran tidaklah sama. Bisalah dikira-kira sendiri dari harga makanan di gerai kami, mulai dari Rp3.000 sampai dengan Rp16.000."

Kendatipun di negara asalnya peringkat Popeyes setingkat di bawah Kentucky Fried Chicken, tetapi di Indonesia masih butuh waktu untuk mengejar peringkat itu. Karena itu, kata Benny, dirinya sudah bertekad membentuk image (citra) positif bagi Popeyes. Ia menyadari, lidah para pencinta fast-food di negeri ini belumlah akrab dengan menu-menu pilihan Popeyes. "Harapan saya sih, Popeyes bisa menciptakan brand image (citra merek) tersendiri di masyarakat kita." Yang jelas, pertumbuhan restoran Popeyes di Indonesia lumayan pesat. Menilik pertumbuhan restorannya, tampaknya Popeyes memiliki peluang untuk dapat bersaing dengan resto- resto fast-food lain yang lebih dulu ada. Kiat Benny agar Popeyes cepat melekat di hati konsumen bukan lain adalah inovasi menu yang tiada henti. Inilah yang oleh Benny disebut sebagai perbedaan konsep konvensional dan fashionable. Yang dimaksud dengan konvensional, papar Benny, ialah bahwa menunya standar. Adapun fashionable, maksudnya, di setiap negara akan selalu ada menu khas negara bersangkutan.

Lebih lanjut Benny menjelaskan, ada perbedaan konsep yang mendasar di benua Amerika, Eropa, dan Asia. Meskipun di negara- negara maju fast-food sudah menjadi bagian dari gaya hidup, konsep fast-food sendiri lebih konvensional ketimbang di negara-negara berkembang yang lebih fashionable. Dengan pertimbangan fashionable inilah maka selera konsumen akan fast-food senantiasa berkembang. "Berubah dalam waktu singkat seperti model baju."

Jadi, tegas Benny, restoran fast-food akan selalu tumbuh dengan menu baru yang disesuaikan dengan selera para petualang makanan. "Tentunya, dengan makin banyak pilihan, lebih memudahkan para petualang untuk mencocokkan pilihan-pilihan tersebut dengan selera mereka."

"Di Indonesia sangat beragam jenis masakannya. Ditambah lagi, ini termasuk negara maritim. Karenanya, menu seafood (hidangan laut) nantinya lebih ditonjolkan," kata Benny. Sementara ini, tambahnya, menu seafood di restoran miliknya baru berbahan baku udang dan ikan.

"Nanti akan ada menu yang terbuat dari cumi-cumi. Menu cumi-cumi ini barulah yang pertama ada di antara seluruh restoran Popeyes di dunia. Tentu saja, tetap dengan bumbu Cajun yang bernuansa Indonesia." Ia pun berharap, menu cumi- cumi itu bisa menjadi semacam trade mark Popeyes Indonesia.

Terlepas dari itu, menurut Benny, makanan yang tersaji di Popeyes diolah dengan cara berbeda dengan restoran lain yang sama-sama menerapkan quick service. Seluruh makanan diolah sesuai tradisi masakan Cajun yang terbuat dari bahan-bahan segar, bumbu-bumbu pilihan yang halal, didedikasikan untuk mencapai kelezatan.

Kalau boleh dibilang keunggulannya, Popeyes menyediakan masakan sesuai lidah orang Indonesia. Pedas dan penuh bumbu. Selain itu, sebagaimana khas restoran cepat saji, penyajian makanan yang tergolong amat segera. Tidak lupa, restoran Popeyes disuasanakan sangat jazzy sehingga klop dengan selera baik kawula muda maupun kaum tua.

Dengan perkataan lain, ungkap Benny, Popeyes bukan saja menjual menu, tetapi juga suasana, kualitas, dan pelayanan. "Tanpa kesemuanya itu, tidak mungkinlah Popeyes mampu bersaing dengan restoran sejenis yang pertumbuhannya sangat pesat.

Sumber : tiirtoaris.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar