Selasa, 25 Desember 2012

Tuna Rungu Bisa Apresiasi Bisnis


Kisah sukses inspiratif  ditemukan di sebuah restoran tak biasa dibuka di Jalur Gaza,  Selasa (16/10). Restoran itu dikelola oleh orang-orang yang tak mampu mendengar. Dibantu dengan warga Palestina lain, restoran bernama Atfaluna itu sengaja dibuka untuk menghadirkan masyarakat inklusif di mana orang-orang dengan kekurangan fisik tetap bisa mengeluarkan potensi penuh mereka. 

Restoran yang didesain penuh gaya di dekat pelabuhan Gaza itu, seperti dituturkan oleh Hareetz, Kamis (18/10), tampil mencolok di tengah kota yang memiliki fasilitas minim untuk para warga penyandang kekurangan fisik. Para pelayan dan koki menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Tamu-tamu pun mesti menunjuk ke arah menu untuk memesan hidangan yang diinginkan. 

Employee of Restaurant Atfaluna, Jalur Gaza Menariknya, yang terjadi di sini adalah sikap spontanitas dalam bentuk komunikasi. Pengelola berharap kondisi itu akan membantu memecahkan bias dan halangan baik dari penyandang tuna rungu atau warga normal. “Orang tuna rungu pun memiliki tekad, dan mereka tak memiliki kekhawatiran kecuali ketika masuk wilayah komunikasi. 

Bahasa selalu menjadi masalah,” ujar pengawas restoran, Ayat Imtair. “Pada awalnya pun kita membutuhkan penerjemah untuk membantu berbicara dengan klien,” ujarnya. Setelah enam bulan berlatih dan melatih stafnya, wanita itu pun percaya diri pelayanan di restoran akan berjalan mulus. “Cara ini sekaligus seruan bagi komunitas dan membuka kesempatan pekerjaan bagi mereka yang tak mampu mendengar dan membantu mereka terlibat dalam komunitas,” ujarnya menekankan. 

Duapuluh tahun lalu, warga Palestina cenderung negatif terhadap mereka yang tuna rungu. Kondisi itu dituturkan oleh direktur Masyarakat Atfaluna untuk Anak-Anak Tuna Rungu di Gaza, Naeem Kabaja, yang juga mengelola restoran. “Kekurangan ini dianggap sebagai keterbelakangan mental. Tapi kami mampu mengubah presepsi itu dan sejak kini situasi menjadi lebih baik, melalui upaya kami, penyebaran penggunaan bahasa isyarat, dan aktivitas serta keterlibat penyandang tuna rungu meningkatkan kesadaran publik mengenai kekurangan ini. Tuna rungu bukanlah keterbelakangan mental,” papar Naeem. Meski, Naeem tak memungkiri banyak penyandang tuna rungu cenderung malu untuk terlibat dengan masyarakat lebih luas.

Mereka masih takut dengan halangan komunikasi dan respon pemahaman minim dari masyarakat. Menyoal restoran Atfaluna, ada 12 staf antusias yang siap melayani pelanggan pada hari pembukaan. “Kami semua gembira. Mungkin ada beberapa kesulitan di awal tapi kami akan mengatasinya. Kami semua terlatih membaca bibir dan itu membantu kami membuat pesanan,” ujar sang koki, Niveen, dalam bahasa isyarat saat menyiapkan menu bola ayam berbumbu. Restoran itu didirikan dengan bantuan Drosos Foundation dari Switzerland untuk membuka peluang pendapatan dan pekerjaan bagi penyandang tuna rungu di Gaza. 

Pasalnya, angka pengangguran khusus penyandang tuna rungu cukup tinggi yakni lebih dari 25 persen. Sekitar 1 persen dari 1,6 juta warga Gaza menderita nyaris tuli hingga ketulian total. Mereka masih bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat sembilan atau setara SMP kelas 3. Setelah itu mereka tak memiliki peluang untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi di kawasan tersebut. “Saya sekali mereka terpaksa harus keluar Gaza bila ingin mencapai pendidikan tinggi,” ujar Sharhabeel Al-Zaeem dari Atfaluna. “Kini kami mengusahakan yang terbaik dengan membuka kelas bagi mahasiswa tuna rungu di universitas-universitas. Kami juga bekerjasama dengan perguruan tinggi berbeda untuk memastikan ada ruang dan kesempatan bagi calon mahasiswa tuna rungu menempuh pendidikan.”

Sumber : ruanghati.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar