Senin, 17 Desember 2012

Sukses Batik Dengan Pewarna Alami


Dalam industri batik nasional, nama Sancaya Rini mungkin belum setinggi langit. Namun kiprahnya dalam industri tekstil ini cukup mendapat sorotan. Pasalnya, kain batik yang diproduksinya menggunakan bahan baku ramah lingkungan. Jenis batik ini ternyata digemari kalangan menengah ke atas dan kaum ekspatriat.

Siapa tak kenal kain batik? Tak hanya di Indonesia, nama batik sudah membahana hingga dunia internasional. Pamor batik semakin menanjak setelah tahun lalu UNESCO mengakui batik diakui sebagai bagian budaya dunia dari Indonesia.

Sejatinya, batik bukanlah nama sejenis kain. Batik adalah proses atau cara pembuatan bahan pakaian. Dalam proses pembuatan batik, ada tahap pewarnaan yang menggunakan malam. Kain dibatik juga menggunakan motof-motif dengan pakem tertentu.

Lambat laun orang menyerhanakannya dengan menyebut kain yang dibatik dengan motif tertentu dengan sebutan kain batik. Umumnya setiap daerah, seperti di Pulau Jawa, memiliki motif batik masing-masing.

Meski kain batik merupakan warisan nenek moyang, bukan berarti tak ada perkembangan. Salah satu warisan budaya ini telah tersentuh modernisasi. Anda tentu pernah mendengar istilah kontemporer. Ini adalah sebutan untuk batik yang motifnya bergaya moderen atau lepas dari motif pakem.

Nah, salah seorang yang menekuni batik kontemporer adalah Sancaya Rini. Di bawah bendera usaha Creative Kanawida yang berlokasi di Pamulang, Tangerang, Banten, Rini membuat aneka motif batik kontemporer.

Berbeda dari kebanyakan produk batik kontemporer, Rini membuat batik dengan menggunakan bahan pewarna alami dengan waran-warana yang alami pula.

Pewarna alami tersebut terbuat dari berbagai bagian tumbuhan, seperti kulit, daging buah, dan daun. Beberapa bahan yang digunakan seperti kulit jengkol, kulit rambutan, kulit mangga, buah alpukat dan buah manggis. “Saya bisa menggunakan tumbuhan apapun karena saya suka coba-coba,” akunya.

Rini memiliki kemampuan membuat bahan pewarna batik berkat ilmu singkat yang dia peroleh di Museum Batik di Tanah Abang, Jakarta Pusat tahun 2005. Di museum inilah dia belajar membatik. Selebihnya keterampilan dikembangkan sendiri oleh Rini dengan cara terus mempraktikkannya.

Cara membuat pewarna alam, tutur Rini, sangat mudah. Bagian tumbuhan berupa daging buah, kulit, atau daun yang sudah kering atau busuk direbus dengan air. Air rebusan tadi lalu didiamkan minimal semalam. Hasil saringan rebusan itulah yang kemudian dijadikan sebagai pewarna alam.

Ciri utama warna alam adalah warnanya tak terlampau mencolok. Tak akan ada selembar pun kain batik yang dibuat dengan pewarna alami mempunyai warna yang benar-benar mirip dengan kain batik lainnya. Maklum, tiap pengolahan warna akan menghasilkan warna berbeda.

Kekhasan lain batiknya, Rini juga menggunakan bahan kain untuk dibatik dari berbagai serat. Antara lain serat nanas, rami dan sutera.Berbada dengan pewarna alami, Rini tidak membuat sendiri kain-kain tersebut. Dia menggandeng perajin dari beberapa daerah sebagai pemasok kain.

Untuk mengerjakan batik kontemporer ini, Rini mempekerjakan enam karyawan yang dia latih. Rini sendiri masih memegang peranan dalam penciptaan warna alam dan motif. Saudara kandung dan anaknya yang menimba ilmu di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) juga kerap menyumbangkan motif.

Rini mengatakan, selama enam bulan terakhir ini, Creative Kanawida membuat tema motif “under water”. Ini adalah motif yang terinspirasi dari flora maupun fauna yang hidup di dasar laut. Misalnya motif bintang laut dan plankton.

Dengan motif unik dan warna alam terbatas hanya pada warna cokelat, merah tua, biru dan hijau, batik Creative Kanawida mampu menyuguhkan produk kain batik yang berbeda.

Produk yang berbeda tersebut justru mampu menjerat pasar premium dan kaum ekspatriat. Secara konsinyasi, produk ini dijual di Alun Alun Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Salah satu gerai di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat juga menjualnya. “November besok akan hadir di The Living World Alam Sutera, Serpong,” kata Rini.

Berangkat dari ketertarikan terhadap batik, Sancaya Rini mengikuti kursus cara pembuatannya. Setelah itu, dia berinisiatif memberikan pelatihan seputar pengetahuan membatik. Dari sinilah kemudian terbersit ide mendirikan Creative Kanawida. Hasilnya, aneka batik kontemporer laku dijual dengan harga tinggi.

Dulu Sancaya Rini tak pernah membayangkan bisa eksis di bisnis batik seperti saat ini. Semula dia hanya tertarik pada kain. Saking berminatnya, perempuan berusia 51 tahun ini gemar mengoleksi aneka batik, mulai dari batik kuno hingga modern.

Kecintaan Rini terhadap batik menurun dari neneknya yang seorang pembatik. Tapi, sang nenek tidak membuat batik untuk tujuan komersial, melainkan untuk keperluan keluarga saja. Namun, Rini baru bisa membatik setelah beranjak dewasa. Ketertarikan dia pada kegiatan membatik muncul setelah hijrah ke kota Jakarta.

Maklum, sebelumnya, selama bertahun-tahun Rini tinggal di Lhokseumawe, Aceh, mengikuti tugas suami. Kala itu, suaminya bekerja sebagai seorang peneliti di laboratorium pada departemen milik pemerintah.

Tahun 1999, pasangan tersebut hijrah ke Jakarta karena suami Rini harus pindah kerja ke perusahaan minyak dan gas. Di Jakarta Rini merasakan suasana berbeda. Apalagi, saat keempat anaknya menginjak dewasa dan bersekolah atau bekerja di luar kota.

Asal Anda tahu, sejak menikah Rini memutuskan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus empat anaknya. “Untuk menghilangkan rasa kesepian tersebut, saya iseng-iseng belajar membatik,” ujar perempuan lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Rini mengikuti kursus membatik singkat di Museum Batik di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Selanjutnya, dia mengasah sendiri keterampilan ini. Setelah mampu membatik, muncul keinginan Rini menularkan kemampuan barunya tersebut. Pada 2005, bersama dengan kakak kandung, dia membuka kursus membatik bagi para pemuda di sekitar rumahnya, di kawasan Pamulang, Tangerang.

Namun, tawaran mengajar membatik yang disodorkan Rini bertepuk sebelah tangan. Ternyata, tak mudah mengajak para pemuda belajar membatik meskipun gratis.

Akhirnya, Rini melakukan pendekatan langsung kepada para pemuda tersebut.Hasilnya ada 20 pemuda yang bersedia belajar membatik di rumahnya. Banyak di antara peserta membatik yang putus di tengah jalan. “Hanya sisa lima orang yang tekun belajar,” kata Rini.

Lima pemuda itulah yang menjadi pengantar niat Rini berbisnis batik. Dia memutar otak bagaimana cara agar kelima pemuda tersebut dapat memanfaatkan keterampilannya secara komersial.

Akhirnya, Rini meresmikan bengkel belajar batiknya menjadi sebuah tempat produksi. Kebetulan, batik karya Rini sudah ada yang meminati, yakni teman-teman dekat sendiri.

Dia pun memproduksi aneka kain batik dengan motif ciptaannya dalam jumlah lebih banyak. Motif ciptaan itulah yang kemudian disebut kontemporer.

Di awal merintis bisnis, Rini mendapat teguran dari suaminya karena memakai bahan pewarna kimia. Sang suami menjelaskan bahaya memakai pewarna kimia. “Inilah yang menggugah saya mencari pewarna batik alternatif,” katanya.

Rini bergegas kembali ke Museum Batik untuk mencari informasi. Dari sana, dia mendapat masukan untuk mengganti pewarna kimia dengan pewarna alam. Selanjutnya, Rini mulai coba-coba membuat pewarna alam sendiri di rumahnya.

Kini, aneka produk batiknya yang bermerek Creative Kanawida menggunakan pewarna alam. Bahkan, lilin yang digunakan berupa lilin lebah (beeswax), merupakan bahan yang ramah lingkungan.

Kain batik buatan Rini dijual dalam bentuk scarf, selendang, kain panjang, serta kemeja. Harga scarf dan selendang berbahan sutera Rp 250.000 – Rp 950.000. Harga kain panjang berbahan sutera Rp 1,3 juta – Rp 2 juta, dan kain panjang berbahan lain Rp 650.000 – Rp 1,2 juta. Adapun harga kemejanya Rp 300.000 – Rp 1,2 juta.

Dalam sebulan, kini Rini bisa memproduksi 100 selendang atau 30 kain panjang. Sayang, perempuan berjilbab ini enggan membeberkan secara terbuka jumlah omzet bulanannya. Dia hanya bilang bahwa prospek produk batik nan ramah lingkungan ini sangat cerah di masa depan.

Kesuksesan Sancaya Rini mengusung batik kontemporer dengan pewarna alam semakin mendorongnya untuk terus maju. Ia masih punya banyak agenda yang siap dia realisasikan. Yakni, menambah jumlah tenaga kerja untuk memenuhi permintaan yang kian menggunung. Selain itu, dia sedang menggarap katalog pewarna alami.

Penerapan manajeman yang baik menjadi pondasi yang kuat bagi sebuah bisnis. Sancaya Rini juga memikirkan prinsip pengelolaan yang baik untuk usaha batiknya bertajuk Creative Kanawida.

Rini, panggilan akrabnya, mengaku, pada awalnya dia tidak berniat terjun ke bisnis ini. Namun, dorongan itu baru muncul setelah keinginannya menampung anak didiknya.

Semula, Rini hanya ingin menularkan keterampilan membatik kepada para pemuda yang tinggal di sekitar rumahnya. Sebab, dia prihatin melihat banyak pemuda sekitar rumahnya di daerah Pamulang, Tangerang, hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan yang kurang bermanfaat.

Bersama kakak kandungnya, dia mengajak para pemuda itu membatik. Bukan membatik dengan motif tradisional yang sudah pakem, Rini mengajari desain batik modern atau kontemporer.

Setelah anak didiknya terampil membatik, Rini merasa sayang jika keterampilan tersebut hanya disimpan saja. Terbetiklah idenya untuk memberdayakan mereka sebagai karyawan di industri batik rumahan.

Lantas, berdirilah Creative Kanawida pada tahun 2005 dengan lima karyawan. Kanawida berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti aneka warna. “Filosofi nama itu, usaha yang dinamis dan penuh warna,” kata Rini.

Kini, Creative Kanawida menjadi pemasok rutin batik kontemporer di butik Alun-alun Grand Indonesia dan pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Selatan. Rini terus menambah butik-butik yang menjadi gerainya. Yang terdekat, per November 2010, Creative Kanawida akan dipajang pula di The Living World Alam Sutra di Serpong.

Jalinan kerjasama dengan para pemilik butik itu beragam. Ada yang menggunakan skema beli putus, konsinyasi atau bagi hasil. Untuk melayani pembeli secara langsung, di luar penjualan melalui butik kelas premium tersebut, Rini juga membuka rumahnya untuk melayani pesanan dari konsumen dan para pelanggannya.

Seiring dengan tumbuhnya permintaan, Rini juga ingin menambah tenaga kerja. Selain untuk mendongkrak produktivitas, dia berniat merangkul lebih banyak pemuda yang tak memiliki pekerjaan. “Saya bahagia bisa membuat mereka mempunyai harga diri dengan berpenghasilan,” ungkap perempuan yang telah berusia 51 tahun ini.

Agar makin mantap menjalankan roda produksi, Rini bersepakat dengan kakak kandungnya untuk membuat pembagian kerja. Ke depan, Rini hanya akan fokus dalam urusan pengembangan produksi. Adapun sang kakak memiliki tugas dalam hal promosi dan urusan tetek-bengek lainnya.

Oh ya, Rini juga mulai berpikir untuk memperluas aksinya dengan menggunakan pewarna alam. Dia mengaku tak takut jika kiprahnya tersebut dicontek oleh pemain batik lain. “Saya justru senang kalau makin banyak yang sadar menggunakan pewarna alam yang tak kalah cantik,” ujarnya.

Karena itu, sekarang Rini sedang dalam proses pembuatan katalog tentang pewarna alam dan campurannya. Proses ini dilakukan bersama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Yayasan KEHATI).

Sekadar catatan, KEHATI adalah organisasi nirlaba pengelola dana hibah mandiri. Organisasi ini memfasilitasi berbagai upaya pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Indonesia. Rini adalah salah satu pelaku usaha yang pernah meraih KEHATI Award 2009 lantaran kepedulian alam dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan.
Selain KEHATI, setahun sebelumnya, kiprah Rini juga mendapat pengakuan berupa Apec Digital Opportunity Center (ADOC) Award di Taipei, Taiwan.

Rini mengucap syukur tentang penghargaan yang diterimanya. Meski begitu, kata Rini, tanpa penghargaan pun dia akan tetap melanjutkan kiprahnya dalam bisnis yang ramah lingkungan. Pasalnya, prospek bisnis tersebut sangat bagus, tapi yang menggarapnya masih sangat minim.

“Ke depan bisnis apapun pasti mengarahnya ke ramah lingkungan. Jadi potensi bisnis saya pasti bagus,” ujarnya, penuh keyakinan.

Sumber : wirasmada.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar