Kamis, 27 Desember 2012

Sukses Buku Online


Sudah banyak yang berharap agar cerita sukses tentang detikcom muncul ke permukaan. Seperti halnya kita paham mengenai bisnis online, internet, dan IT pada umumnya yang selama ini didominasi asing: Apple, Microsoft, Facebook, atau Twitter, dan lain-lain. Tapi cerita sukses bisnis internet dalam negeri, detikcom layak ditulis.

Orang Indonesia, atau para netizen tentu sudah hapal dengan nama-nama perusahaan asing di atas, bahkan fasih. Namun, tahukah mereka mengenai detikcom? Padahal, media online yang berbasis di konten berita ini, merupakan fakta hidup tentang sukses pengelolaan media online di Indonesia. 

Media ini diakses hampir seperempat pengguna internet Indonesia, juga halaman dibukanya (page views) rata-rata per hari 30 juta. Sahamnya sudah dimiliki investor asing sejak tahun 2000 dan baru saja dibeli oleh CT Corp konon dengan nilai setengah triliun lebih.

Tentu itu prestasi besar. Tapi kalau banyak yang tidak tahu tentang detikcom, karena memang tidak ada data yang terungkap secara massive dan terbuka. Kalaupun ada di media-media tentang pendirinya, atau sejarah berdirinya, itu sepotong-sepotong. 

Lantas, siapa yang bisa mengungkap hal itu? Buku dengan judul “detikcom: Legenda Media Online” ini merupakan buku pertama tentang detikcom. Buku ini unik karena ditulis oleh pelaku sejarahnya langsung, yakni A Sapto Anggoro yang terlibat sejak awal pendirian media online tersebut. Biasanya, pelaku sejarah atau pemilik otobiografi cerita kemudian ditulis orang lain. Tapi ini beda.

Karena terlibat intensif itulah, maka buku ini cukup otentik. Kesan terasa memakai metode penelitian partisipatif aktif. Mungkin Sapto belum tentu tahu semua rahasia detikcom, tapi untuk itu dia sudah menyampaikan di pengantarnya bahwa Budiono Darsono dan Abdul Rahman lebih berhak menulis. Hanya saja, dia atau siapapun, tidak bisa memaksa kedua pendiri itu untuk menuliskan rahasia dan resep detikcom.

Yang menarik dari buku ini, adalah inilah kali pertama fakta-fakta tentang detikcom diungkap. Dari sejarah bedirinya, masalah yang mengitarinya di balik kekaguman orang pada detikcom, hingga militansi para reporternya. 

Selain itu, yang tak kalah menarik adalah, dalam buku ini Sapto bisa menyampaikan fakta pertentangan antara teori jurnalistik dengan praktis dan praksis yang dilakukan detikcom. Juga ada testimoni para veteran detikcom (wartawan) yang sudah berdiaspora ke berbagai perusahaan media dan sukses. Mereka punya kesan mendalam pada detikcom, Budiono Darsono, Abdul Rahman, dan penulis.

Yang aneh, mengapa Sapto memberinya judul Legenda. Selama ini, kata legenda identik dengan sesuatu yang sudah punah tapi dikenang abadi. Namun, tampaknya dia sejalan dengan pengantar dari Sirikit Syah - pengamat dari MediaWatch - yang menuliskan kata-kata, “hidup tapi sudah jadi legenda” (living legend).

Bahwa kemudian di dalam buku ini menampilkan teori-teori jurnalistik yang dihadap-hadapkan dengan “salah kaprah” pelaksanaan jurnalistik, seperti misalnya detikcom tidak pakai rumusan 5W1H tapi cukup 3W dalam berita awal, ini menarik. Fakta bahwa itu dilakukan detikcom, oleh Sapto coba dirujuk dalam teori kuno pada abad 19 oleh William Cleaver Willkinson, maka dipakai sebagai pembenar semata.

Apakah ini sah? Justru inilah yang bisa menjadi perdebatan di kalangan akademisi kelak. Bagi mahasiswa dan para pengajar, bagian yang membahas soal teori-teori jurnalistik inilah yang seru. Bisa sepaham bisa tidak.

Bagaimanapun, Sapto sudah memulainya. Mestinya, banyak orang-orang di dalam yang bisa menuliskan lebih baik, tapi perlu kemauan dan keberanian. Ini sudah cukup menarik sebagai buku sejarah media, struktur organisasi media,  dalam hal ini media online yang mementingkan koordinator liputan karena kecepatannya, menjadi pengetahuan yang tersembunyi selama ini.

Meski tidak bisa dibilang istimewa, tapi buku ini cukup layak untuk pelaku media, akademisi dan mahasiswa komunikasi, serta masyarakat umum yang ingin tahu tentang detikcom. Di sisi lain, detikcom sebenarnya juga menarik adalah mengenai bagaimana mengelola bisnisnya.

Sumber : perempuan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar