Selasa, 25 Desember 2012

Bisnis Sambel Pecel Mendunia


Di zaman digital ini, rasanya sulit membayangkan seorang yang buta huruf bisa menjadi pengusaha sukses. Tapi Kasiyem Roesmadji, pengusaha sambal pecel asal Madiun, Jawa Timur, bisa membuktikan: keterbatasan pendidikan bukan halangan untuk mengecap keberhasilan.

Tengok saja. Pada kelas 3 sekolah dasar (SD), Kasiyem harus meninggalkan bangku sekolah karena kedua orangtua tidak punya biaya. Ayah Kasiyem hanyalah seorang buruh di PT Inka, Madiun. Sehari-hari, ia lebih banyak berjualan mangga dan jambu kluthuk (jambu biji) di pasar bersama kakeknya.

Kasiyem sendiri adalah anak ketujuh dari 12 bersaudara. Hingga menikah dengan petani bernama Roesmadji, naluri dagang Kasiyem tak pernah luntur. Di rumahnya di Jalan Delima 32, Madiun, dia berjualan es dawet setelah aneka gorengan buatannya tak laku alias gagal.

Kebetulan, rumah Kasiyem berdekatan dengan kantor cabang PT Telkom dan Perum Pegadaian. Tapi, harapan es dawet buatannya disukai pegawai perusahaan pelat merah tersebut ternyata kandas.

Toh, itu tidak menyurutkan semangatnya berwirausaha. Kasiyem lalu mencoba berjualan nasi pecel untuk melayani kebutuhan pegawai kantor di sekitar rumahnya tersebut.

Eh, ternyata peruntungan Kasiyem mulai berubah. Dagangan nasi pecelnya disukai banyak pembeli. Buktinya, warung yang ia buka mulai pukul enam pagi tersebut sudah tutup pada pukul delapan pagi. Laris.

Warung nasi pecel Kasiyem biasa menghabiskan 10 kilogram sambal pecel dalam sehari. Tapi, di tengah jalan ia merasa repot kalau terus berjualan nasi pecel. Kasiyem berinisiatif membuat sambal pecel saja.

Tepatnya, pada 1971, Kasiyem mencoba memproduksi sambal pecel khas Madiun. Untuk menembus pasar, sambal pecel itu ia bungkus dalam ukuran 2,5 ons sampai 5 ons.

Makin lama makin banyak orang yang tahu akan sedapnya sambal pecel Kasiyem. Bahkan, banyak pembeli yang memesan dalam paket besar. “Kebanyakan pembeli adalah pegawai Telkom dan Pegadaian,” kata ibu lima anak ini.

Menurut Kasiyem, sambal pecel buatannya bisa terkenal sampai ke Solo dan Jogja berkat informasi dari mulut orang yang pernah mencoba rasanya. Kasiyem pun mulai berpikir untuk memberi label pada sambal pecel buatannya agar tidak ada yang meniru.

Alhasil, pada tahun 1990, pengusaha yang lebih dikenal dengan nama Bu Roesmadji ini memberi label “Cap Jeruk Purut” pada sambal pecel buatannya. Nama jeruk purut dipilih lantaran ia menyisipkan daun jeruk purut itu untuk memperkuat rasa sambal pecelnya.

Selanjutnya, karena sudah terkenal dan memiliki banyak pelanggan, Kasiyem bisa mendapatkan pinjaman dana dari PT Inka sebesar Rp 10 juta untuk mengembangkan usaha. Ia menggunakan uang itu untuk memproduksi sambal pecel lebih banyak lagi.

Seiring peningkatan produksi sambal pecel Cap Jeruk Purut, PT Inka menggelontorkan pinjaman Rp 10 juta lagi ke Bu Roesmadji. “Total saya dapat Rp 20 juta,” kata dia.

Setelah memberi label, Bu Roesmadji berpikir untuk mendapatkan hak paten buat sambal pecel Cap Jeruk Purut. Tapi, karena mengurus hak paten waktu itu sulit, Bu Roesmadji pun mengurungkan niatnya.

Eh, tidak disangka, berkat bantuan beberapa orang yang ia kenal, Kasiyem bisa mendapatkan hak paten pada tahun 2000. “Lalu, pada 2002 sambal Cap Jeruk Purut mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat,” ujar pengusaha yang kini mempekerjakan 25 orang pegawai ini.

Bu Roesmadji menuturkan, sehari ia bisa menjual 600 bungkus sambal pecel, dengan harga Rp 5.000 untuk ukuran 2,5 ons, Rp 11.000 per 5 ons, dan Rp 20.000 per kilogram. Alhasil, dengan jumlah produksi rata-rata 1,5 kuintal sehari, ia bisa mengantongi omzet Rp 200 juta per bulan dari usaha sambal pecel Cap Jeruk Purut ini.

Bagaimana tidak, pelanggan sambal pecel Cap Jeruk Purut sudah meluas hingga ke kalangan instansi pemerintah, perusahaan swasta, toko, maupun pejabat pemerintah. Bahkan, pemasaran sambal pecel Bu Roesmadji sudah menyebar hingga ke Malang, Surabaya, Bali, Bandung, dan Jakarta.

Hebatnya lagi, sambal pecel produksi Bu Roesmadji ini sudah singgah ke Belanda. Pernah dalam sepekan ia bisa mengirim sebanyak 1 ton sambal pecel ke Negeri Kincir Angin itu.

Kendati begitu, ujian juga menghampiri Kasiyem. Saat permintaan dari Belanda meledak pada 1995, Pemerintah Kota Madiun mengalihkan order ke pengusaha lain. Alasannya, harga sambal pecel Bu Roesmadji terlalu mahal.

Tapi, karena sambal pecel itu berbeda dengan buatannya, pengusaha di sana menolak. “Sambal pecel itu sudah bau meski baru 15 hari,” ujar dia. Alhasil, Kasiyem pun kembali menjalin kontak agar ada lagi pesanan ekspor.

Kasiyem Roesmadji sudah membuktikan bahwa sambal pecel khas Madiun bisa mendunia. Setelah berhasil mengekspor sambal pecel Cap Jeruk Purut ke Negeri Kincir Angin, Belanda, Bu Roesmadji kini membidik pasar Malaysia dan Singapura.

Bu Roesmadji bilang, beberapa bulan sebelum pemilihan Walikota Madiun, ia sempat diundang untuk membahas rencana ekspor sambal pecel ke dua negara tetangga itu. Tapi, hingga saat ini belum ada realisasi sama sekali.

Nah, setelah Walikota Madiun yang baru terpilih, Bu Roesmadji berharap bisa segera mewujudkan mimpinya mengekspor sambal pecel ke Malaysia dan Singapura. “Saya hanya ingin tahu bagaimana caranya,” ujar dia.

Menurut Bu Roesmadji, alasannya membidik dua negara itu lantaran banyak warga negara di sana yang menyukai sambal pecel. Hal itu ia dengar dari beberapa sanak saudaranya asal Madiun yang tinggal di Singapura dan Malaysia.

Tak hanya ke dua negara itu, Kasiyem juga ingin menjajal pasar ekspor Arab Saudi, terutama saat musim haji. Pasalnya, permintaan sambal pecel di sana juga oke. “Pemerintah mesti memberi perhatian ke usaha seperti kami. Sebab peluangnya menjanjikan,” kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar