Kamis, 24 Januari 2013

Boy Hidayat Lubis


Terinspirasi dari praktik kerja di sebuah perusahaan telekomunikasi nasional ketika masih mahasiswa, kini Boy Hidayat Lubis menjadi pengusaha sistem telekomunikasi sukses lewat Tel-Access. Apa kuncinya?

Ketika keran izin untuk mengembangkan operator telekomunikasi di Tanah Air mulai dibuka Pemerintah Orde Baru pada awal 1990-an, Boy Hidayat Lubis melihatnya sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Saya melihat peluang untuk menyediakan solusi software bagi operator-operator telekomunikasi yang baru berdiri itu sangat besar, kata Boy.

Ide untuk mengembangkan bisnis muncul ketika ia sedang melaksanakan tugas kerja praktik di PT Gratika, salah satu anak perusahaan PT Telkom, pada 1993. Ketika itu, Telkom membeli teknologi voice responsedari Australia untuk sistem billing information, yakni sistem untuk mengetahui tagihan telepon rumahsekarang dikenal dengan kode telepon 147. Kala itu, Boy yang masih mahasiswa semester VI Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung menemukan banyak sekali sistem softwareyang seharusnya bisa dikembangkan sendiri di Indonesia. Ia juga melihat aplikasi-aplikasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh operator telekomunikasi di Tanah Air. Saya sendiri bisa mengerjakan software-nya. Gampang kok. Dan, saya pikir itu bisa dijual, ujarnya.

Ia pun memancangkan tekad, selesai program kerja praktik akan membuat perusahaan yang membidangi solusi untuk telekomunikasi. Untuk merealisasi niatnya tersebut, pria kelahiran Jakarta, 11 Juni 1970, ini mengajak tiga rekan kuliahnya. Maka, dibentuklah PT Teleakses Solusindo (kini dikenal dengan brandTel-Access) pada 1993. Investasinya hampir tidak ada, karena modal yang dibutuhkan hanyalah skilluntuk mengerjakan software, kata Boy, yang sekarang menjabat sebagai Preskom Tel-Access.

Proyek perdana Tel-Access datang dari Telkom, yaitu pembuatan calling card menggunakan teknologi yang sama, voice response.Di Amerika Serikat, layanan calling cardini sangat populer. Sayangnya, di Indonesia hanya bertahan sebentar. Sebab, muncul teknologi baru, yaitu berupa kartu telepon yang bisa dimasukkan ke dalam telepon umum. Yang membedakan, calling cardtidak perlu dimasukkan ke dalam pesawat telepon. Cukup memasukkan nomor kartunya, setelah itu sistem akan memberi tahu sisa pulsanya berapa atau bisa langsung melakukan dialke nomor tujuan. Calling cardinvestasinya lebih murah karena tidak perlu mesin telepon khusus. Ketika itu, proyek pengembangan calling cardini bernilai US$ 250 ribu atau sekitar Rp 500 juta (kurs saat itu Rp 2.000/US$).

Tahun 1994, boleh dibilang booming-nya industri telekomunikasi di Indonesia. Setelah Telkom dan Indosat, berikutnya muncul pemain-pemain baru, seperti Satelindo, Komselindo, Telesera, Ratelindo dan Excelcomindo Pratama (XL). Nah, ketika perusahaan operator seluler mulai bermunculan, salah satu kebutuhan utamanya adalah informasi billing. Peluang ini langsung disambar dengan cepat oleh Boy dan timnya dengan memperkenalkan solusi informasi billing.Yang pasti, ketika perusahaan telekomunikasi berdiri, yang mereka perlukan adalah sistem yang bisa membantu customermenanyakan tagihan, kata pengagum Steve Jobs ini.

Logikanya, setelah bertanya soal tagihan, pelanggan pasti butuh media untuk komplain. Jadi, mereka membutuhkan layanan contact center. Para operator tersebut menghubungi Tel-Access kembali untuk memasok sistem contact center. Pasalnya, mereka masih kesulitan mencari tenaga ahli lokal yang bisa mengembangkannya. Bahkan, vendor jaringan telekomunikasi raksasa seperti Lucent dan Nortel belum punya ahli softwareseperti itu di Indonesia. Mereka pun menggunakan Tel-Access untuk implementasi teknologinya. Menurut Boy, untuk layanan contact centerini, nilai kontraknya US$ 100-150 per proyek. Para operator ini ada yang beli kontan, ada juga yang memasukkannya ke dalam operational expenditure, kata Boy.

Selain operator telekomunikasi, yang membutuhkan call centerdi antaranya kalangan perbankan, asuransi, dan industri yang punya banyak pelanggan. Saat ini, semua operator telekomunikasi pernah menggunakan layanannya. Begitu juga beberapa bank besar seperti Bank Niaga (sebelum bergabung dengan Lippobank), Bank Muamalat dan Bank Bukopin. Pada prinsipnya semua jenis usaha membutuhkan contact system. Sebab, sistem ini dirancang untuk mengelola proses bisnis antara pelanggan dan perusahaan, dimulai dengan proses suspecting, prospecting, deal, hingga after sales, Boy menjelaskan.

Dari pengalaman tersebut, Tel-Access mulai menguasai teknologinya. Beberapa jenis sistem diimplementasikan untuk mereka, antara lain call center, billing info, voice mail system, conference system calling card system. Yang menjadi kebanggaan, pada saat itu kamilah satu-satunya perusahaan yang mengembangkan sistem itu sendiri di dalam negeri dengan tenaga engineer . Selain bisa menekan biaya produksi, kami juga bisa menyesuaikan sistemnya dengan kebutuhan para klien, ujar Boy bangga.

Bahkan, diklaim Boy, Tel-Access merupakan perusahaan pertama yang membuat sistem VoIP (Voice Internet Protocol) di Indonesia, yakni tahun 1998. Tel-Access mendapatkan proyek implementasi telepon berbasis Internet yang berbiaya murah itu dari Telkom. Sayangnya, belakangan sistem VoIP ini terhambat aspek aturan hukum.

Memasuki tahun 2000-an, ketika layanan telekomunikasi seluler semakin dikenal oleh masyarakat di Indonesia, Tel-Access mulai mengembangkan solusi mobile intelligent network, merupakan jantung teknologi seluler. Bahkan, Tel-Access mampu mengembangkan teknologi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian RI untuk mendeteksi lokasi para penjahat atau teroris, dengan cara melacak lokasi telepon seluler mereka. Untuk mengembangkan teknologi mobile intelligent networkini, dana yang dibenamkan mencapai Rp 1 miliar. Diyakini Boy, solusi ini akan terus berkembang dengan semakin luasnya pemanfaatan ponsel.

Kejelian Boy dalam menangkap peluang tak berhenti di situ. Tingginya pemakaian SMS oleh pelanggan di Tanah Air dijadikan peluang untuk mengembangkan sistem Short Message Service Center (SMSC). Melalui layanan SMSC ini, para operator seluler bisa mengirimkan sampai dengan puluhan juta SMS setiap hari tanpa mengganggu kapasitas SMS di antara pelanggan. Sistem ini sangat efektif bagi operator untuk memperkenalkan layanan mereka, ujar Boy menegaskan.

Begitu pula, Boy memprediksi, ke depan pemanfaatan teknologi ponsel akan terus berkembang, mulai dari voice, data, hingga multimedia. Ia memperkirakan, semua operator sedang mengarah ke multimedia. Jadi, tidak hanya jasa telepon lagi, tetapi juga jasa akses Internet, televisi, sampai periklanan. Nah, untuk menangkap peluang itu, Tel-Access pun menawarkan solusi mobile advertising yang diramalkan akan menjadi bidang pertumbuhan baru dalam bisnis seluler. Tel-Access telah berpengalaman dalam implementasi sistem mobile network yang menjadi jantung dari platform mobile advertising, kata ayah Debra Mazaya (8 tahun) dan Zhillan Bariq Gann (4 tahun) ini.

Menurut Boy, m-advertising menjadi menarik karena penyebaran ponsel semakin luas di masyarakat. Mengingat besarnya jumlah penggunanya dewasa ini, ponsel pun sangat mungkin menjadi media yang paling banyak penggunanya di masa mendatang. Informasi iklan yang ingin disampaikan bisa kapan saja dan di mana saja karena bersifat mobile. Diklaim Boy, Tel-Access mempunyai teknologi m-advertising yang dapat mengirimkan pesan iklan bervariasi, mulai dari voice, SMS, MMS, WAP, Web, hingga videoklip. Karenanya, teknologi m-advertising yang dikembangkan akan dapat melayani seluruh pelanggan mulai dari yang menggunakan ponsel sederhana hingga yang paling canggih. Kami juga dapat mengirimkan pesan iklan tersebut berdasarkan lokasi terkini pelanggan, sehingga untuk pertama kalinya iklan akan dapat dikirimkan sesuai dengan pergerakan masyarakat, kata pehobi sepeda gunung ini.

Platform teknologi untuk m-advertising yang dikembangkan Tel-Access ini, menurut Boy, nantinya bisa dipakai untuk bekerja sama dengan pemilik database atau perusahaan agensi iklan yang punya profil pelanggan. Kini, Indosat dan XL telah menggunakan solusi m-advertising dari Tel-Access ini. Secara keseluruhan, hampir semua operator seluler di Indonesia menjadi kliennya, di antarnaya XL, Telkom, Indosat, Bakrie Telecom, Ratelindo, Komselindo, Telesera dan Infomedia. Juga, beberapa operator telekomunikasi negara tetangga, termasuk Celcom (Malaysia) dan Intex (Filipina). Adapun pelanggannya di industri perbankan lokal, yakni Bank Niaga (sebelum gabung dengan Lippobank), Citibank dan Bank Muamalat. Rata-rata, diklaim Boy, bisnis Tel-Access tumbuh 30% setiap tahun. Bahkan, pada 2009 ia menyebut pertumbuhannya lebih dari 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini disebabkan lonjakan jumlah pelanggan seluler di Indonesia.

Diakui Boy, sejauh ini bisnisnya berjalan mulus. Menurutnya, masa sulit terjadi pada saat pecah kongsi. Karena perbedaan pandangan, dua rekannya memutuskan pisah tahun 2004. Kini, Tel-Access dikendalikan Boy dan kolega lamanya, Hermansyah, yang bertindak sebagai dirut, dibantu 32 karyawan.

Boy menyebutkan, persaingan tidak menjadi kendala. Terlebih, ia tak punya pesaing lokal. Masalahnya justru belum cukup kuatnya kepercayaan konsumen terhadap produk dan layanan pemain lokal seperti Tel-Access.

Menurut Boy, kunci suksesnya selama ini karena pihaknya tidak overpromise kepada pelanggan. Prinsipnya, selama melakukan apa yang dijanjikan, pelanggan akan terus percaya. Ia juga selalu menanamkan semangat pada karyawan bahwa kemajuan perusahaan tergantung pada manusia di dalamnya. Kami juga mengapresiasi karyawan yang berprestasi, ucap Boy. Misalnya, memberikan bonus jalan-jalan ke luar negeri.

Kepiawaian Boy dalam menggelindingkan roda bisnis diakui koleganya, Hermansyah. Menurutnya, Boy memang punya bakat kuat dalam dunia bisnis. Sementara Hermansyah lebih berperan di sisi teknologinya. Kalkulasi bisnisnya (Boy) betul-betul akurat. Teknologi tidak hanya diserap begitu saja, tetapi (dipertimbangkan) laku atau tidak, ungkap Hermansyah.

Selain itu, lanjut Hermansyah, koleganya itu merupakan sosok pribadi yang tegas. Ia juga merasakan karakter itu dibutuhkan untuk mengambil keputusan bisnis. Tampaknya, antara Boy dan Hermansyah saling mem-back up, dengan prinsip saling percaya.

Ungkapan senada dikemukakan mitra bisnis Boy. Aang Koesmanggala, General Manager Head of Network Roll Out Jabodetabek I Banten dan Jawa Barat PT Natrindo Telepon Selular, menilai Boy sebagai orang yang konsisten melakukan usaha di bidang yang termasuk high profile, high competition. Padahal, persaingannya dengan produk dan aplikasi yang sama dari luar negeri. Di masa sulit sekalipun, Boy tetap menunjukkan keseriusannya untuk membina dan mengembangkan tenaga-tenaga muda programmer, untuk tetap berkarya dan berinovasi menghasilkan produk dan aplikasi baru, ujar Aang.

Saya kenal Boy sejak masuk kuliah di ITB, kata Aristo Lystiono. Menurut Aristo, Boy itu orang yang sangat ulet, dan bakat bisnisnya sudah terlihat sejak masih mahasiswa. Salah satu kekuatan Boy adalah bisa membangun basis networking yang kuat, sehingga sangat mendukung dan membesarkan kegiatan bisnisnya, ujar GM IT Network Operations Center PT Bakrie Telecom itu. Yang perlu ditingkatkan, jika memang sudah confident terhadap produknya, sebaiknya mulai bergerak ke arah high-profile campaign. Jadi, sudah saatnya mengumumkan semua portofolio produk secara high profile, Aristo menyarankan. 

Sumber : arifh.blogdetik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar