Adagium bisnis yang mengatakan, jeli menetapkan target pasar ibarat telah menapakkan kaki di pintu sukses, ternyata terus mendapatkan pembuktian. Setidaknya, inilah yang dirasakan oleh tiga wanita pebisnis tas ini.
Daya beli masyarakat yang terus meningkat yang disertai kesadaran untuk tampil fashionable, membuka ceruk pasar yang menjanjikan. Tapi, mereka mengakui, manisnya peluang itu bisa menjadi fatamorgana bila tidak cermat membidik segmen pasar yang spesifik.
Vidia Chairunnisa (25), Gembool, ketika masih berkuliah di Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, saya melihat peluang yang besar untuk berbisnis. Saya melihat adanya kebutuhan teman-teman untuk tampil modis dengan modal bersahabat. Alhasil, tahun 2009 saya memberanikan diri berdagang tas-tas murah yang saya ambil dari Bandung. Tak disangka, ternyata laku keras! Saya pun mulai coba-coba ikut pameran untuk meraup pasar yang lebih luas.
Karena terbatasnya desain tas yang saya beli jadi, setahun kemudian saya pun mulai membuat tas sendiri dengan label Tas Lutjuw. Saya memodifikasi desain yang sudah ada dari majalah dan internet, lalu saya minta dibuatkan oleh perajin tas di Bogor. Sayangnya, sistem jasa pembuatan barang ke pihak lain yang disebut makloon ini lemah dalam hal quality control pengerjaan. Saya juga tidak bisa menetapkan material atau aksesori yang digunakan. Produk saya pun tak maksimal karena saya dipaksa membeli material berkualitas rendah yang telah mereka sediakan dengan finishing seadanya.
Tidak puas dengan hasilnya, akhirnya tahun lalu saya nekat membuat workshop sendiri dan mulai meluncurkan produk dengan label Gembool. Saya pun mempekerjakan 50 wanita perajin di kampung Cihampea, Bogor, untuk membuat tas-tas yang kemudian saya beri label Gembool (baca: gembul). Ide nama ini datang dari konsep tasnya yang fun, warna-warni, dan terasa dekat dengan remaja. Kata gembul juga identik dengan banyak uang dan makmur. Harapannya, sih, rezeki bisa lancar.
Saya sengaja membidik pasar remaja wanita karena lebih menguntungkan. Namanya juga anak ABG, biasanya centil, konsumtif, dan sering gonta-ganti tas yang dipadu-padankan dengan busananya.
Dalam riset pasar yang saya lakukan, remaja mencari produk yang trendi, tapi harganya murah, sesuai dengan daya beli mereka. Jadi, pemilihan bahan pun saya sesuaikan untuk menekan biaya produksi dan harga jual. Meskipun menggunakan material yang biasa, saya meningkatkan kualitas produk lewat finishing yang rapi. Ini yang menjadi kekuatan Gembool. Produk Gembool yang handmade terjaga betul kerapian jahitan dan lemnya. Kami juga memberikan layanan garansi hingga setahun untuk reparasi gratis bila terjadi kerusakan.
Agar bisa kompetitif di pasar, saya berusaha terus update perkembangan tren. Misalnya saja, tren yang berkembang saat ini adalah model-model tas ala Korea, maka produksi tas saya banyak memodifikasi model-model ala Korea yang banyak bermain di warna-warna pastel, tabrak warna, dan animal printing.
Pasar remaja itu sensitif terhadap desain yang up to date, bervariasi, dan harga ketimbang kualitas material. Karena itu, saya harus bisa menyediakan barang-barang trendi yang murah meriah. Karena remaja suka warna-warna ngejreng, saya pun menyediakan banyak pilihan warna. Untuk tiap desain tas tersedia 8-10 pilihan warna, sedangkan untuk dompet maksimal diproduksi 15 warna yang berbeda. Tiap dua bulan sekali saya mengeluarkan 2-3 model baru
Memaksimalkan Jaringan Reseller
Dalam seminggu, saya bisa memproduksi 10 lusin tas dan 25 lusin dompet (termasuk sarung ponsel dan organizer). Harga dompet antara Rp45.000-Rp115.000, sedangkan tas Rp125.000-Rp179.000.
Untuk pemasaran, saya bekerja sama dengan banyak toko online besar, seperti lazada, zalora, blibli. Selain itu, saya memiliki sekitar 50 reseller yang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke negeri jiran.
Kebanyakan resellers ini menjual kembali produk saya lewat media sosial dan toko online mereka dengan sistem drop shipping. Tidak ada syarat minimum order bagi reseller untuk mendapat potongan harga sebesar 15% per unit. Ada juga reseller yang rutin membeli minimum Rp5 juta sekali order. Biasanya, mereka akan menjual produk saya di toko offline mereka. Untuk membantu penjualan para reseller, saya menyediakan katalog produk. Dengan perpanjangan tangan seperti ini, saya berhasil meraup omzet rata-rata Rp200 juta - Rp250 juta per bulan.
Setelah berhasil dengan lini remaja, saya mulai terpikir mengembangkan sayap dengan menyasar wanita dewasa di bawah label Bagtitude, sejak November lalu. Pilihan warnanya lebih konservatif, yaitu cokelat, hitam atau ivory dengan penggunaan material yang lebih baik. Harga jualnya pun lebih tinggi, yaitu minimal Rp350.000. Selain itu, mulai Februari 2013 nanti saya akan menawarkan kerja sama franchise outlet di wilayah Jabodetabek.
Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar