Bukan hanya orang dewasa yang mendambakan kamar nyaman, anak-anak pun senang kalau kamarnya berhiaskan gambar-gambar kartun yang mereka suka. Sama-sama punya balita, tiga ibu muda: Dinar Esfandiari Santoso (38), Ira Karmawan (39), dan Rani Soegeng (38), berkolaborasi membentuk Simply Idea, yang menyediakan perlengkapan kamar tidur anak. Ide mereka sederhana, tapi bisnis ini tidak sesederhana itu. Halangan demi halangan singgah, tapi mereka tak menyerah. Malah, untuk memajukan usaha, mereka tak ragu berinvestasi lebih dengan menyewa tenaga konsultan ahli.
Tiga bersahabat ini melihat, pemain di bisnis bedding kebanyakan dari luar negeri dan sudah memiliki nama besar. Karena itulah, mereka tak ragu terjun untuk menjadi pemain lokal yang unggul di bisnis ini. Namun, keberanian saja tidak cukup. Belum juga dimulai, rintangan sudah menghadang. Mencari pegawai yang berkualitas ternyata tidak mudah. “Kami harus berburu SDM yang memiliki keterampilan menjahit dan mengaplikasikan bordir sesuai standar kualitas yang telah kami tetapkan,” ungkap Dinar, yang menggunakan bahan polos dan memberi aplikasi lucu kesukaan anak-anak. Aplikasi inilah yang kemudian menjadi ciri khas Simply Idea.
Satu masalah teratasi, masalah berikutnya hadir: kehabisan modal. Mereka memang belum mau meminjam dari bank, karena merasa belum sanggup berekspansi lebih luas. “Selain ada bunganya, kalau ada uang, kami takut jadi terlalu gampang mengeluarkan uang, sementara kemampuan mengembalikan belum sampai di situ. Akhirnya, karena kebaikan hati seorang anggota keluarga dari partner, kami dipinjami suntikan dana, boleh nyicil tanpa bunga,” cerita Dinar.
Tak punya background ilmu bisnis, mereka mencari-cari sendiri celah untuk memasarkan produk. Beberapa kali mereka ikut bazar yang diadakan asosiasi asing di Jakarta. Tak hanya mendapatkan konsumen, mereka berkenalan dengan peserta bazar lain dan mendapat info tentang bazar mingguan yang diadakan sebuah mal. Di sanalah nama Simply Idea mulai dikenal. “Kami lalu memikirkan cara memperluas pasar. Coba-coba, kami hubungi sebuah department store. Kebetulan, produk bedding seperti yang kami buat, belum ada di sana. Mereka tertarik, namun syaratnya, dalam waktu satu bulan kami harus melakukan beberapa revisi, sebelum produk kami bisa dipasarkan di situ, misalnya soal packaging dan cara mencuci,” tutur Dinar, yang waktu itu tak mengerti persyaratan masuk ke department store.
Dalam berbisnis, friksi-friksi kecil di antara partner, sih, dianggap biasa. Menyatukan gagasan dari tiga kepala sudah pasti tidak mudah. Justru, mereka tak bisa membayangkan harus mengarungi perjalanan bisnis tersebut tanpa didampingi partner. Dan, mereka memang saling mengisi. Sejak awal, masing-masing sudah memilih divisi yang sesuai dengan bidang yang disenangi. “Saya menangani marketing, Rani bertanggung jawab untuk produksi, sedangkan Ira mengurus keuangan dan kepegawaian,” tutur Dinar, yang bercerita bahwa mereka bekerja secara profesional.
Menjaga hubungan baik dengan pelanggan, sangat penting artinya bagi tiga sekawan ini. Karena itu, mereka menyediakan layanan purnajual sebagai bagian dari komitmen untuk memuaskan konsumen. Bentuk layanan itu misalnya membetulkan renda bedcover yang terlepas. Tampaknya sepele, namun layanan ini membuat pelanggan Simply Idea merasa diperhatikan dan dimudahkan. “Bagusnya, hingga kini, tak banyak yang menggunakan layanan ini. Karena, produk kami berkualitas tinggi, baik dari jenis kainnya maupun kerapian jahitan di setiap bentuk aplikasinya,” kata Dinar, yang menetapkan syarat dan ketentuan untuk layanan purnajual tersebut.
Setiap 3 bulan, mereka meluncurkan produk baru. Kalaupun mereka merilis produk dengan tema yang sama, motif yang ditampilkan pasti berbeda. Misalnya, tema mobil balap. Jika sebelumnya menampilkan motif mobil A, kini pakai motif mobil B. Bisa juga mereka merilis tema baru, contohnya princess. Semua aplikasi serba princess, dari seprai sampai kelambu, lengkap dengan aplikasi bergambar tongkat peri. Sehingga, saat akan tidur, anak itu seolah sedang berada di kastil, merasa jadi princess betulan.
Lalu, bagaimana dengan produk di department store yang belum terjual? “Ditarik, lalu kami gelar big sale selama 4 hari. Wah… yang datang banyak banget,” tutur Dinar, senang.
Dari keinginan memanjakan konsumen, mereka juga bisa membuat produk custom made. Biasanya, konsumennya adalah ibu-ibu yang ingin mengisi kamar anaknya. “Jatuhnya memang jadi lebih mahal, karena harus membuat pola baru. Desainnya bisa mereka gambar sendiri atau kami yang membuatkan,” kata Dinar, yang membolehkan orang memesan via website tanpa minimum order.
Karena banyak permintaan, sejak tahun 2006 Simply Idea membuat mukena untuk anak, tetap dengan aplikasinya yang khas. Reaksi pasar luar biasa baik. Setiap awal tahun mereka menyiapkan produk mukena baru. “Dua tahun lalu, buyer menantang kami untuk membuat baju muslim anak. Kami segera mencari konfeksi yang berbeda dari konfeksi untuk pembuatan mukena. Sayangnya, karena tak mau kehilangan order, konfeksi itu melemparkan ke konfeksi lain. Hasilnya benar-benar tidak sesuai. Saat itu kami mengalami kerugian besar,” kisah Dinar, yang ketika itu gagal menyerahkan produk kepada buyer tepat waktu.
Meski produk Simply Idea lucu-lucu, bukan berarti mereka main-main dalam berbisnis. Tak tanggung-tanggung, mereka menyewa konsultan bisnis dan keuangan, yang membantu meraih sederet target yang telah dirancang. “Konsultan itu juga mengarahkan kami dalam berstrategi, menerapkan sistem marketing paling efektif, membenahi keuangan, bahkan memotivasi kami untuk terus maju,” kata Dinar, yang baru menyadari, mereka bisa menerapkan profit sharing, setelah keuangan usaha benar-benar sehat.
Salah satu hasil dari konsultasi tersebut, sejak beberapa bulan lalu Simply Idea menambah kekuatan lewat sistem marketing online dan offline. Divisi online lebih banyak bersentuhan dengan konsumen, misalnya memberi info tentang produk terbaru, mencari tahu animo pasar terhadap produk mereka, dan mengumpulkan konsumen ketika ada event besar semacam Inacraft atau big sale. “Sedangkan marketing offline bertugas menjual produk kepada konsumen yang tidak dapat dijangkau oleh sistem online, yang biasanya membeli dalam jumlah besar. Untuk melakukan terobosan pasar di dalam dan luar kota, manajer departemen ini secara bertahap akan punya 5 kaki tangan alias downline. Berbeda dari MLM, sistem marketing ini hanya punya satu layer kaki saja,” ungkap Dinar.
Mereka bertiga pernah mengungkapkan mimpi memiliki butik sendiri. Masalahnya hanya satu, yaitu mendapatkan lokasi yang sesuai target pasar. Mereka ingin, lokasinya dilewati banyak calon konsumen berdaya beli tinggi, yang tergolong impulsive shopper. Mengapa ingin punya butik? Toh, karya mereka sudah masuk di department store ternama dan dipajang di beberapa retail store. “Di butik itu, kami bisa lebih mengembangkan desain dan produk yang lebih variatif lagi. Konsep butik yang kami inginkan adalah toko yang cozy, simpel, clean, dan didesain dalam bentuk kamar tidur anak yang cantik,” cerita Dinar.
Sudah selama 5 tahun Simply Idea bekerja sama dengan Mothercare Indonesia, yang seluruh produknya didatangkan dari Inggris. “Mereka membuka kerja sama dengan perusahaan lokal, untuk menjual produk yang tidak didatangkan dari Inggris. “Misalnya, kelambu. Orang Inggris kan nggak kenal kelambu atau bedong. Hanya, kelambu itu harus disesuaikan warnanya dengan boks bayi yang diterbangkan dari Inggris. Ditambah lagi, produk yang kami desain khusus untuk Mothercare Indonesia, tidak boleh ada di tempat lain,” kata Dinar, yang juga menjalankan sistem kerja sama konsinyasi dengan beberapa retail.
Tawaran kerja sama dari luar negeri, seperti dari Australia dan Selandia Baru, terus mengalir. Jumlahnya selalu bertambah. Tentunya, menjaring buyer dari luar negeri akan memperkuat arus keuntungan. Sayangnya, sampai saat ini kerja sama itu belum bisa terwujud. “Ada beberapa kesepakatan yang sudah tercapai, misalnya tentang desain produk. Hanya, soal harga, masih juga belum ada kata sepakat. Inilah yang menjadi satu-satunya kendala. Untuk mengantisipasi masalah ini, kami sedang menyiapkan suatu konsep kerja sama baru, yang nantinya akan kami tawarkan lagi kepada para buyer asing tersebut. Bentuk kerja sama: beli putus, dengan keuntungan berimbang antara buyer dan produsen,” kata Dinar.
Meski produk Simply Idea lucu-lucu, bukan berarti mereka main-main dalam berbisnis. Tak tanggung-tanggung, mereka menyewa konsultan bisnis dan keuangan, yang membantu meraih sederet target yang telah dirancang. “Konsultan itu juga mengarahkan kami dalam berstrategi, menerapkan sistem marketing paling efektif, membenahi keuangan, bahkan memotivasi kami untuk terus maju,” kata Dinar, yang baru menyadari, mereka bisa menerapkan profit sharing, setelah keuangan usaha benar-benar sehat.
Salah satu hasil dari konsultasi tersebut, sejak beberapa bulan lalu Simply Idea menambah kekuatan lewat sistem marketing online dan offline. Divisi online lebih banyak bersentuhan dengan konsumen, misalnya memberi info tentang produk terbaru, mencari tahu animo pasar terhadap produk mereka, dan mengumpulkan konsumen ketika ada event besar semacam Inacraft atau big sale. “Sedangkan marketing offline bertugas menjual produk kepada konsumen yang tidak dapat dijangkau oleh sistem online, yang biasanya membeli dalam jumlah besar. Untuk melakukan terobosan pasar di dalam dan luar kota, manajer departemen ini secara bertahap akan punya 5 kaki tangan alias downline. Berbeda dari MLM, sistem marketing ini hanya punya satu layer kaki saja,” ungkap Dinar.
Mereka bertiga pernah mengungkapkan mimpi memiliki butik sendiri. Masalahnya hanya satu, yaitu mendapatkan lokasi yang sesuai target pasar. Mereka ingin, lokasinya dilewati banyak calon konsumen berdaya beli tinggi, yang tergolong impulsive shopper. Mengapa ingin punya butik? Toh, karya mereka sudah masuk di department store ternama dan dipajang di beberapa retail store. “Di butik itu, kami bisa lebih mengembangkan desain dan produk yang lebih variatif lagi. Konsep butik yang kami inginkan adalah toko yang cozy, simpel, clean, dan didesain dalam bentuk kamar tidur anak yang cantik,” cerita Dinar.
Sudah selama 5 tahun Simply Idea bekerja sama dengan Mothercare Indonesia, yang seluruh produknya didatangkan dari Inggris. “Mereka membuka kerja sama dengan perusahaan lokal, untuk menjual produk yang tidak didatangkan dari Inggris. “Misalnya, kelambu. Orang Inggris kan nggak kenal kelambu atau bedong. Hanya, kelambu itu harus disesuaikan warnanya dengan boks bayi yang diterbangkan dari Inggris. Ditambah lagi, produk yang kami desain khusus untuk Mothercare Indonesia, tidak boleh ada di tempat lain,” kata Dinar, yang juga menjalankan sistem kerja sama konsinyasi dengan beberapa retail.
Tawaran kerja sama dari luar negeri, seperti dari Australia dan Selandia Baru, terus mengalir. Jumlahnya selalu bertambah. Tentunya, menjaring buyer dari luar negeri akan memperkuat arus keuntungan. Sayangnya, sampai saat ini kerja sama itu belum bisa terwujud. “Ada beberapa kesepakatan yang sudah tercapai, misalnya tentang desain produk. Hanya, soal harga, masih juga belum ada kata sepakat. Inilah yang menjadi satu-satunya kendala. Untuk mengantisipasi masalah ini, kami sedang menyiapkan suatu konsep kerja sama baru, yang nantinya akan kami tawarkan lagi kepada para buyer asing tersebut. Bentuk kerja sama: beli putus, dengan keuntungan berimbang antara buyer dan produsen,” kata Dinar.
Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar