Rabu, 23 Januari 2013

Decky Suryata Inspirasi Salak Pondoh


Saat masih duduk di bangku SMP dan SMA, Decky Suryata suka meminjamkan bukunya kepada teman-teman. Dia ingin agar teman-teman sebaya dia di desanya juga suka membaca buku. ”Kebiasaan” itu terus berlanjut sampai saat dia membuka usaha berbahan baku salak pondoh. Kali ini dia berusaha membangun kerja sama dengan para petani salak pondoh.

“Bukan hanya saya yang semata-mata mencari untung dari usaha pengolahan salak ini. Para petani salak pondoh kan juga harus mendapatkan keuntungan. Dalam usaha ini, kami membangun semangat simbiosis,” kata Decky.

Menggunakan salak pondoh, dia mengolah berbagai penganan yang bisa menjadi salah satu pilihan buah tangan khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibantu istrinya, Farahdina Budi Prasanty (26), Decky menciptakan berbagai olahan makanan, seperti bakpia, keripik, wajik, dan jenang. Produk itu dijual di gerai sekaligus rumahnya di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Sleman, DI Yogyakarta.

Kerja sama dengan petani salak pondoh membuat belitan pengijon pada sebagian petani salak pondoh teratasi. ”Selain mendapatkan uang dari hasil penjualan salak, petani juga menerima upah pengupasan dari mendukung usaha (saya) ini,” katanya.

Untuk mendapatkan bahan baku, Decky menjalin kerja sama dengan kelompok petani salak ”Si Cantik” di Padukuhan Ledoknongko, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Sleman. Mereka menanam salak pondoh organik di lahan sekitar 10 hektar.

Kepada petani, Decky berusaha memberi harga lebih dari harga pasaran. Alasannya, dia ingin berbagi keuntungan dengan para petani meski tak ada patokan pasti untuk kelebihan harga tersebut. ”Saya inginnya bisa sampai 40 persen dari harga pasaran salak pondoh,” kata Decky yang juga mengupah ibu-ibu sebagai pengupas salak pondoh.

Bisnis usaha penganan dengan bahan baku salak pondoh tersebut sebenarnya bukan usaha pertama Decky. Usaha ini adalah hasil perjalanan panjang setelah ia jatuh bangun dalam berbisnis.

Sebelumnya Decky pernah sukses membangun Food Indo dengan salah satu usahanya adalah produk burger. Usaha itu berkembang cukup pesat. Dalam waktu singkat, ia terus memperbanyak gerai di sejumlah lokasi di DI Yogyakarta. Decky pun percaya diri dan meminjam modal dari bank untuk mengembangkan 350 gerai burger.

Namun, usaha itu tidak mampu bertahan. Decky malah bangkrut dan harus menanggung utang pada bank. ”Setelah saya renungkan, itu terjadi karena saya terlalu bersemangat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja. Jadinya saya malah lupa mengontrol usaha ini,” tuturnya.

Kegagalan usaha tersebut dia jadikan pelajaran yang berharga. Decky berusaha mengambil hikmah dari kegagalan usaha burger tersebut.

”Saya jadi tahu karena merasakan sendiri saat kita sedang terpuruk. Pada saat itu, sedikit orang yang mau mendekat (kepada kita). Padahal, saya tak ingin meminta bantuan. Pada saat seperti itu, saya merasa sendirian…,” kata Decky yang kini omzet usahanya minimal sekitar Rp 66 juta setiap bulan.

Selain ditujukan untuk pendatang dari luar Yogyakarta, produk Salakka milik Decky juga dikirimkan ke sejumlah kota di Indonesia. ”Kami melayani pesanan dari sejumlah kota. Namun, kami tidak menitipkan produk kami di toko-toko di Yogya,” katanya.

Mengapa ia memilih usaha berbahan baku salak? Ternyata itu dia lakukan setelah berkonsultasi dengan ahli gizi. ”Buah salak itu memiliki kandungan vitamin A, B, dan C, selain ada karbohidrat, protein, kalsium, dan fosfor. Zat antioksidannya juga tinggi. Bahkan, buah salak bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk diet,” kata Decky.

Tidak hanya buah salak yang dimanfaatkan Decky. Bekerja sama dengan sejumlah pihak, ia juga berusaha memanfaatkan kulit buah salak.

”Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), ternyata limbah salak dapat dimanfaatkan menjadi etanol atau bioetanol. Ini sebenarnya bisa menjadi sumber energi alternatif,” katanya.

Selama ini, sebagian besar kulit salak pondoh di Dusun Ledoknongko diolah menjadi pupuk kompos, sebagian lain dibuang begitu saja di pekarangan.

Meski usahanya berkembang, Decky mengakui, produk penganan berbahan baku salak pondoh miliknya tidak selalu berjalan mulus. ”Apalagi pada saat awal usaha ini banyak hambatan juga,” ujarnya.

Dia memberi contoh ketika Gunung Merapi meletus. Para petani salak pondoh yang umumnya tinggal di kaki dan lereng Merapi terpaksa harus mengungsi. Mereka mengungsi tak hanya seminggu, tetapi sampai berbulan-bulan.

Kondisi tersebut sangat memengaruhi usahanya. Decky pun sempat menghentikan produksi penganan berbahan baku salak pondoh.

Ketika para petani sudah bisa kembali ke kampung halaman, usaha penganan Decky tak bisa langsung berproduksi. Pasalnya, akibat erupsi Gunung Merapi, perkebunan salak petani pun terkena dampaknya.

”Tanaman salak petani rusak. Kalaupun ada, buahnya tidak bisa dimakan karena rusak. Pulang ke kampung, petani hanya bisa membabat buah-buah salak itu dan dibenamkan di sekitar pohon-pohon salak yang masih hidup. Harapannya, buah salak itu bisa menjadi pupuk organik pada saatnya nanti,” ujarnya.

Ketika itu usaha Decky berhenti total dan dia sempat merasa patah semangat. Namun, atas dukungan rekan-rekannya, termasuk para petani salak pondoh yang menjadi mitranya, ia kembali berproduksi.

”Alhamdulillah, sekarang (usaha saya) relatif sudah jalan. Banyak wisatawan dari luar Yogyakarta yang datang langsung ke gerai kami. Omzet yang meningkat di toko juga dirasakan petani salak,” kata Decky.

Sumber : jpmi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar