Ingin melebihi gaji istrinya yang merupakan seorang general manager perusahaan Jepang, Purwandi Sarmanto putuskan menjadi pengusaha. Mulai dari usaha riil hingga gaib ia lakoni hingga akhirnya jatuh cinta dengan Sop Janda. Sukseskah ia?
Bekerja sebagai seorang staf penelitian dan pengembangan di sebuah perusahaan ternama, masa muda Purwandi Sarmanto lebih dari cukup. Kebahagiaannya saat itu kian lengkap saat mulai memadu kasih dengan seorang wanita cantik hingga berujung naik ke pelaminan. Tak bisa digambarkan betapa bahagia awal mengarungi rumah tangga pria kelahiran Lampung itu.
Sang Istri yang rela menerima ia apa adanya, tak menuntut “setoran” besar darinya saban bulan. Sebab, tanpa dia bekerja pun dari gaji istri yang merupakan seorang general manager perusahaan Jepang, kebutuhan keluarga bisa tertutupi sepanjang hayat. Bahkan segala kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan standar yang jauh lebih mewah dari yang pernah dirasakannya.
“Saya dibeliin arloji yang harganya Rp 8 juta, makan di restoran yang sekali makan Rp1 juta hingga baju atau celana seharga jutaan rupiah,” ujarnya tentang segala kemewahan yang turut dinikmati dari gaji besar istrinya. Istrinya tak pernah menganggap dia sebagai orang yang memanfaatkan situasi, begitu pun dirinya lebih menganggap posisi istrinya sebagai sebuah berkah bagi keluarga.
Namun lama-kelamaan, Pur – begitu sapaan akrabnya, merasa minder juga. Ia merasa seperti “ditaklukkan” istri oleh gajinya yang jauh lebih tinggi. Perasaan itu terus membahana dalam dirinya. “Bohong bila suami dalam posisi seperti saya tak merasa minder,” imbuhnya. Ia kian down saat berada di tengah keluarga istrinya yang rata-rata menduduki posisi puncak perusahaannya masing-masing.
Tak mau rasa tertekan itu abadi dialaminya, ia kemudian mencari solusi. Menurutnya, rasa percaya dirinya akan kembali bila penghasilannya jauh lebih tinggi dari istri. “Bila saya mengejar melalui karir, sampai mati pun gak bakal dapat,” tandas suami Dewi Susilo Utami ini. Untuk itu, ia sempat gelap mata. Ia tergiur tawaran instan oknum tertentu melipatgandakan uang dengan cara gaib. Ratusan juta hasil pinjaman dari orang tuanya pun melayang untuk hal sia-sia itu.
“Antara terhipnotis atau goblok, saya juga gak tahu,” begitu ia menyebutkan alasan percaya dengan tawaran gaib tersebut. Itulah dampak ketergesa-gesaannya saking ingin melebihi pendapatan istri. Cara keliru itu pun akhirnya ditinggalkannya. Beruntung suatu waktu ia mengikuti seminar entrepreneur sehingga terinspirasi untuk berbisnis properti.
Ia kembali meraih empati orang tuanya sehingga pinjaman modal terkucurkan lagi. Sempat untung miliaran rupiah, tetapi akhirnya kandas juga lantaran belum fasih bermain properti dengan orang yang lebih paham dunia itu. Namun, saat itu ia telah memiliki sebuah tempat yang tak tahu harus dibuat apa.
Tercetus ide untuk membuat usaha kuliner. Ia mencoba mencari begitu banyak sumber hingga browsing di internet untuk menemukan ide kuliner. Sempat menjajal makanan khas Wonogiri – tempat orang tuanya berasal, tetapi tak laris seperti yang didambakannya.“Akhirnya ketemu ide untuk membuat sop daging sapi,” lanjutnya. Namun, itu hanya sebatas ide. Ia sendiri sama sekali tak bisa memasak. Jangankan itu, menilai sebuah masakan enak atau tidak pun dia bukan ahlinya. Tak mau menyerah dengan itu, ia pun melakukan trial and error pembuatan menu sop di rumah orang tuanya.
Tak tanggung-tanggung demi mendapatkan formula yang pas, ia menghabiskan waktu tiga bulan untuk trial and error. Koki yang juga keluarga sendiri tugasnya membuat sop setiap hari lalu dibagi-bagikan gratis kepada tetangga di kampungnya. “Sampai berapa kuintal saya beli daging sapinya,” lanjutnya. Ia mengaku, kadang-kadang masakan percobaannya membuat penduduk di kampungnya sakit perut.
Melihat kelakuannya yang hanya menghabiskan uang, orang tua dan keluarga dekatnya komplain. “Saya gak boleh masak di rumah orang tua bahkan orang tua melarang saya ke Lampung lagi saking pusingnya dengan tingkah saya,” kenangnya. Ia tak putus asa. Tempat percobaan masak pun dipindahnya ke rumah saudaranya yang lain. Hingga suatu waktu ia menemukan formula yang cocok.
“Saya berpikiran kalau sekali orang makan terus ketagihan pasti usahanya sukses,” ujarnya. Setelah sopnya sudah mencapai tahap itu, ia lalu percaya diri mengoperasikan usaha kuliner yang dinamakannya Sop Janda itu. Ide nama brand itu muncul liar begitu saja dari pikirannya. Pro dan kontra terhadap nama Sop Janda itu pun terjadi.
Mendengar nama Sop Janda, orang tuanya lebih menganggap itu sebagai rumah bordil. Saat buka pertama kali di Panjang, Lampung, dalam dua minggu pertama rata-rata pengunjungnya adalah laki-laki. Nama Sop Janda juga pernah diprotes oleh anggota dewan terhormat karena melecehkan kaum hawa. Ia tetap bersikeras, sebab nama janda ia plesetkan sebagai singkatan dari Jawa-Sunda.
Singkat cerita, setelah pengunjung merasakan menunya, akhirnya bukan “janda” yang diingat tetapi menu sopnya itu sendiri. Sop Janda pun populer di Lampung hingga akhirnya ia mendirikan dua buah outlet di daerah itu. Enam bulan berikutnya ia membuka cabang lainnya di Jakarta. Dari enam buah outlet itu hingga kini ia bisa mengantongi omset Rp 500 juta setiap bulan atau laba bersih sebesar Rp 100 juta. Usaha itu kini mempekerjakan 63 orang karyawan.
Akhirnya motivasi ingin menyalip gaji istri tercinta terwujudlah sudah. “Perubahan yang saya rasakan dengan menjadi pengusaha ini sederhana saja, istri saya jadi ‘takluk.’ Dia minta berapa saja saya kasih. Saya sudah punya bargaining position. Gajinya bisa ditutupi oleh penghasilan satu outlet Sop Janda,” tutupnya tertawa lebar.
Sumber : jpmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar