Selasa, 29 Januari 2013

Ligwina Hananto


Tiap Senin, kultwit  tentang perencanaan keuangan dari pemilik akun @mrshananto ini selalu dinanti 77.000 lebih pengikutnya di Twitter. Tak hanya itu, siaran radionya pun selalu berhasil membuat orang ‘tercubit’ kesadarannya untuk membuat perubahan dalam mengelola keuangan yang lebih baik. Saat ini, itulah tujuan Ligwina Hananto (36), perencana keuangan independen dan CEO Quantum Magna (QM) Financial, Pemenang Penghargaan Khusus Kategori Online Entrepreneur, Kompetisi Wanita Wirausaha Femina-Mandiri 2012.

Secara bisnis, QM Financial kini sudah terbilang mapan. Jumlah kliennya suah mencapai 900, dan kantornya pun menempati ruangan milik sendiri di sebuah gedung di wilayah Mega Kuningan.  Namun, siapa sangka, bila pada tahun 2009, wanita yang akrab disapa Wina ini pernah mengalami titik terendah dalam berbisnis. Di atas kertas, perusahaannya terlihat sehat dan menguntungkan. Tapi kenyataannya,  perusahaannya tidak memiliki uang tunai. 

"Saya kaget sekali waktu itu. Klien kami memang cukup banyak, tapi banyak juga yang melakukan pembayaran mundur,” katanya. Demi menyelamatkan perusahaan, Wina harus menggadaikan mobil pribadi dan meminjam uang kepada suaminya. 

Hal tersebut membuatnya berpikir, pasti ada yang salah dengan cara kerjanya. Akhirnya, Wina yang mengaku keras kepala ini pun berkonsultasi kepada seorang business coach. "Dari dia, saya belajar konsep be-do-have. Ternyata, selama ini saya terlalu fokus pada do dan have. Have adalah tujuan yang ingin dicapai, seperti omzet dan profit, sedangkan do adalah strategi yang dilakukan untuk mencapainya. Nah, konsep be saya saat itu tidak tepat untuk membawa perusahaan ke level yang lebih baik," ungkap Wina. 

Ia mengakui, dulu ia masih memosisikan dirinya sebagai istri Dondi Hananto. Mindset bahwa sang suami adalah orang yang bertanggung jawab terhadap keuangan keluarga, tanpa disadari membuat bisnisnya hanya sekadar ekstrakurikuler. Memang, ia berhasil membuat perusahaannya untung. Tapi sayangnya, perkembangannya tidak terlalu memuaskan.

Menyadari hal itu, ia pun menyetel ulang mindset-nya. "Saya adalah CEO dan saya bertanggung jawab penuh terhadap perusahan ini. Ternyata, perubahan pola pikir itu berpengaruh ke semua lini. Be-do-have saya berubah," tuturnya, jujur. 

Wina pun menolak melihat dirinya hanya sebagai financial planner. Ia merasa harus berkontribusi lebih besar. "Dulu, objektifnya adalah mendapatkan klien agar mereka membayar kami untuk membuatkan perencanaan keuangan. Sekarang, tujuan utamanya adalah membuka wawasan finansial orang yang kami temui," jelasnya.

Memang, hal itu tidak akan berdampak langsung terhadap performa penjualan. Tapi, berdasarkan pengalaman Wina, meski tidak semua calon kliennya bergabung dengan QM Financial, mereka akan merekomendasikan jasa QM Financial kepada orang lain, yang berarti menambah daftar calon klien prospektif baginya.

Sesungguhnya, semua upaya itu adalah untuk mencapai visi perusahaannya, menciptakan golongan menengah Indonesia yang kuat, dengan misinya, finance should be practical. "Karena, ketika kita lebih kuat, kita juga lebih kuat bagi orang lain, untuk jangka waktu yang lebih lama," tuturnya, bijak.

Tahun 2010, Wina menghadapi titik balik kedua dalam bisnisnya. Saat itu, ia harus berpisah dari rekan bisnisnya karena perbedaan business values. “Sebenarnya, saya sudah merasakan perbedaan di antara kami sejak lama, tapi saya tidak mengindahkan intuisi tersebut,” tuturnya. Akhirnya, Wina memutuskan untuk membeli saham rekannya itu di QM Financial. 

Pelajaran penting yang ia petik, sebagai wanita pemimpin, intuisi menjadi kelebihan. Sejak saat itu, ia pun berusaha untuk lebih mendengarkan intuisinya. Kini, bersama tiga rekan bisnis baru dan 30 pegawai, ia  makin mantap melakukan edukasi di bidang keuangan untuk banyak kalangan. Visi yang tak hanya jadi obsesi pribadi atau slogan perusahaannya saja, tapi juga visi yang dijiwai dengan baik oleh seluruh pegawainya.

Ia mengakui, tidak mudah untuk membuat pegawainya memahami dan bernapas dengan visi tersebut. “Mereka melihat seberapa besar passion saya di sini. Saya tularkan passion itu dengan terus mendorong mereka memberikan edukasi, berpartisipasi dalam pembuatan seminar, dan menulis artikel. Ada kepuasan yang besar ketika kami berhasil meningkatkan awareness seseorang akan perencanaan keuangan. Terlebih lagi, jika kita berhasil menyelamatkan orang itu dari kemiskinan,” ucap Wina, lugas.

Bagi Wina, meningkatkan pengetahuan keuangan adalah PR seumur hidup. “Seperti sekolah, meski sudah banyak yang naik kelas karena pengetahuannya bertambah dan sudah mau mempraktikkannya, yang baru mulai mencari tahu pun banyak,” tuturnya. 

Peningkatan kesadaran masyarakat akan perencanaan keuangan pun krusial untuk memperbesar industri yang digelutinya ini. “Industri ini masih kecil. Karena itu juga, bisnis ini tidak bisa berkembang terlalu pesat. Untuk memperbesar industrinya, kami harus memperluas pasar,” jelasnya. Oleh karena itu, ia aktif di IFPC (Independent Financial Planner Club) untuk mengembangkan pasarnya bersama perencana keuangan lainnya.    

Sebelum menjadi pengusaha, wanita lulusan Jurusan Finance and Marketing, Curtin University of Technology, Australia, dan Magister Manajemen Investasi, Sekolah Bisnis IPMI, ini pernah menapaki karier di dunia perbankan dan periklanan. Namun, pada tahun 2001, ia meninggalkan dunia karier atas permintaan suaminya. "Saat itu, saya sedang mengandung anak pertama. Suami khawatir, jika kami berdua sama-sama bekerja, anak tidak akan memiliki figur orang tua di rumah," tutur Wina. 

Ternyata, jiwa aktifnya merasa terkurung karena tidak bisa mengaktualisasikan diri. Ia bersyukur ketika sang suami mengizinkannya untuk berbisnis. "Ia berpikir, dengan berbisnis, saya bisa punya waktu kerja yang fleksibel, sehingga masih bisa meluangkan waktu untuk anak-anak," lanjutnya. 

Karena itu pula, ia menerapkan jam kantor 10.00 - 19.00 di perusahaannya. Agar ia, dan para pegawainya, bisa meluangkan waktu untuk keluarga di pagi hari. Ia percaya, seseorang yang bahagia di rumah, akan bahagia pula di kantor, sehingga produktivitas bekerjanya pun akan meningkat. 

Fleksibilitas waktu kerja ini juga berlaku, jika ia atau pegawainya harus bekerja pada Sabtu-Minggu. "Sebagai kompensasi karena sudah bekerja di hari Sabtu atau Minggu, mereka akan mendapat hari libur pengganti di minggu berikutnya. Saya ingin pegawai saya tetap memiliki kehidupan pribadi, tidak jadi robot yang tahunya hanya kerja melulu," cetusnya.

Bisa mengaktualisasikan diri dan tetap mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri serta ibu adalah kebahagiaan terbesar baginya. "Saya bersyukur, saya diizinkan untuk berkarya dan berkontribusi besar dalam kehidupan rumah tangga. Tentunya tanpa merasa lebih dominan dari suami," ujarnya. 

Bagi Wina, hubungannya dengan sang suami adalah hal yang terpenting dalam hidupnya. Di mata Wina, suaminya adalah partner diskusi dan mentor terbaik. Tak heran jika Wina berbahagia ketika ia bisa mendukung Dondi mewujudkan mimpinya, membangun bisnis sendiri. "Kalau dulu dia harus bekerja kantoran untuk menafkahi keluarga, kini, setelah bisnis saya mapan, dia bisa lebih leluasa untuk mewujudkan mimpi-mimpinya," jelas Wina.

Sebagai perencana keuangan independen, kebahagiaan terbesarnya  adalah ketika dia berhasil menyelamatkan sebuah keluarga dari kemiskinan. "Mendengar klien saya mengatakan bahwa kondisi keuangannya membaik adalah pencapaian terbesar saya, bukan omzet. Kebahagiaan itu tak tergantikan," lanjutnya, berbinar.

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar