Rabu, 30 Januari 2013

Kreativitas Lawan Pemalsuan


Tak terpuruk oleh pemalsuan, ia siap melawannya dengan meluncurkan terobosan baru: produk premium limited edition. Risiko jadi trendsetter adalah ditiru habis-habisan oleh pengusaha lain. Tantangan inilah yang menghadang langkah drg. Ferry Yuliana S. (40), pemilik Gendhis Natural Bag. Namun, Pemenang Penghargaan Lomba Wanita Wirausaha Femina 2008 ini tak patah arang. Pemalsuan justru mendorongnya untuk makin kreatif lagi. Tak mengherankan,  produknya dilirik konsumen asing. Meski pasar ekspor sangat menjanjikan, Ferry menegaskan, 70% produknya tetap untuk konsumen Indonesia. 

Baru ada sekitar 7 perusahaan yang bergelut di bisnis tas natural, saat Ferry memutuskan terjun di sana. Dua perusahaan berskala sangat besar, lima sisanya berskala sedang. Semua memiliki konsep yang sama: rame-rame mengeskpor. Namun, Ferry justru melirik peluang berbeda, yaitu terlebih dahulu menjadi pemain lokal 100%. “Yang membuat saya tergerak adalah tas natural dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita sendiri. Saya jadi paham mengapa para perajin tas memilih bermain di pasar ekspor. Konsumen luar negeri lebih menghargai dan menyukai tas natural,” kata Ferry, yang baru menggarap pasar ekspor pada tahun kedua, itu pun hanya 20%.

Edukasi pasar menjadi tantangan terberat bagi Ferry. Citra tas natural waktu itu belum bagus. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai tas pasar (tas yang biasa ditenteng ke pasar tradisional) dan tas tempat ayam. “Duh... saya benar-benar pingin nangis,” cerita Ferry, sedih. Dengan mengerahkan segala kreativitas, plus kesabaran tingkat tinggi, Ferry menjelaskan, dari segi kualitas dan desain, tas karyanya berbeda daripada yang ada di pasar. “Apalagi, saya mengerjakannya dengan hati, karena memang sangat menyukai tas natural,” kata Ferry, yang gemar mengutak-atik aksesori. 

Ketika pertama kali diluncurkan, Gendhis Natural Bag dijual seharga Rp75.000 – Rp125.000. Padahal, harga tas di pasar hanya seperempatnya. “Bisa dibayangkan respons yang kami terima. ‘Wah... kok, mahal sekali? Di pasar hanya Rp20.000. Bahannya sama, ya. Ini lebih bagus sedikit, tapi harganya sampai 5 kali lipat.’ Karena itulah, saya harus menjelaskan kepada calon konsumen, satu per satu,” ungkap Ferry, berusaha merebut kepercayaan konsumen. Hasilnya? Banyak konsumen yang tak hanya menjadi pelanggan setia, bahkan seolah sudah menjadi bagian dari bisnis Ferry. Kalau ada pemain baru yang meniru produk Gendhis, merekalah yang justru berdiri di garda depan, tak segan-segan melabrak.

Namun, angin kencang belum berhenti bertiup. Masa-masa yang berat dilalui Ferry, ketika dua tahun lalu 90% karyawannya pergi, hijrah ke perusahaan kompetitor. Yang tersisa hanya Ferry dan suami, serta 3 pegawai. “Padahal, kami sedang mendapat banyak pesanan  dari Jepang. Antara panik dan shocked, saya mencari pegawai pengganti. Untunglah, dalam waktu satu minggu, pos-pos yang kosong itu terisi. Kejadian ini memberi saya pelajaran berharga: kami harus introspeksi diri,” tutur Ferry, yang mengungkapkan bahwa setahun setelah kejadian itu, penjualannya justru meroket 3 kali lipat. 


Tas Gendhis yang dianyam dari berbagai tanaman yang tumbuh di Indonesia, tak hanya mengalirkan profit untuk Ferry, melainkan juga memberi keuntungan bagi para petani. Ketika model tas dengan bahan dasar tanaman mendong makin digemari, secara otomatis permintaan akan mendong juga meningkat. Begitu juga dengan tanaman rotan dan purun. “Dengan sentuhan kreativitas tinggi, kami menyulap tanaman tersebut menjadi tas-tas bernilai jual tinggi. Dampaknya, penghasilan petani pun bertambah,” kata Ferry, sambil menambahkan bahwa 70% bahan dasar tas Gendhis adalah bahan natural.

Ferry meyakini, kepandaiannya berkreasi adalah berkah. Karena itu, ia tidak mau pelit berbagi ilmu. Tak segan-segan ia menebarkan ilmunya kepada para supplier, agar mereka juga dapat lebih kreatif dan peka terhadap kemajuan zaman, bahkan dunia fashion. Meski tetap sibuk memenuhi berbagai pesanan, Ferry konsisten dengan misi sosialnya, yaitu mengadakan pelatihan di daerah. “Tujuan pertama kami adalah Kalimantan, karena bahan rotan berasal dari sana. Kami mengajarkan tentang pola anyam, cara mewarnai dengan bahan alami, cara mendesain dan mengemas, sampai cara membuat display produk,” kata Ferry, yang bercita-cita menggunakan bahan natural dari seluruh Indonesia.  

Seru, sekaligus mengharukan. Begitulah kesan Ferry tentang pelatihan itu. Mengharukan, karena saat ini jumlah petani rotan mulai menyusut, kalah dari upah mencari karet dan emas. Namun, Ferry tak henti-hentinya membakar semangat mereka, agar tetap mau menjadi petani rotan. “Saya membeli bahan baku langsung dari mereka. Selain itu, saya juga berusaha rutin mengambil barang setengah jadi yang sudah mereka anyam. Dengan demikian, mereka tetap semangat menanam rotan,” kata Ferry, sembari menegaskan, tanaman yang ia gunakan mudah dibudidayakan, sehingga tidak menyalahi aturan negara.
PR Ferry selanjutnya adalah menciptakan produk cantik dari bahan-bahan baku tersebut.

Tampaknya, itu bukan PR yang sulit. Buktinya, selama 3 tahun kerja sama itu telah terjalin dengan manis. “Kami sudah memasarkan produk rotan sampai ke mancanegara. Bahkan, hampir separuh produk kami didominasi oleh rotan,” tutur Ferry. Tak berhenti sampai di situ, Ferry juga mulai memikirkan branding untuk produk-produk mereka. “Ada satu kabupaten yang maju dengan pesat, karena bupatinya menyukai tas natural. Kami sedang mencari logo yang tepat, sekaligus menyiapkan strategi pemasarannya,” lanjut Ferry, yang juga berencana memberi pelatihan di daerah lain. 


Melayani dua pasar yang benar-benar berbeda (pasar lokal dan luar negeri), tentu tak mudah. Karena itulah, Ferry berkomitmen mempelajari setiap pasar yang permintaannya sangat beragam. Ia pun membedakan produk untuk dua pasar tersebut. Menurutnya, budaya tiap negara berbeda dan hal ini berpengaruh terhadap desain produk. Konsumen Indonesia cenderung menyukai produk yang penuh detail dan berwarna-warni. 

“Untuk ekspor, desain dan warnanya lebih sederhana. Biasanya, ketika musim panas, barulah mereka menyukai produk penuh warna. Konsumen Italia cenderung   menyukai tas warna-warni, tanpa melihat musim. Konsumen Jepang menggemari produk rotan yang ukurannya sedang, tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Pasar Amerika menyukai tas besar dengan aksen simpel, sedangkan wanita Selandia Baru lebih melirik tas yang sangat fashionable,” kata Ferry, yang sudah bekerja sama dengan salah satu department store di Jepang selama 3 tahun. 

Melihat bahwa Gendhis sangat digemari, pemalsuan pun mulai merajai pasar. Tahun 2010-2011 adalah puncaknya. Seorang pegawai kepercayaan Ferry mengundurkan diri dan memproduksi tas yang sama persis dengan Gendhis. “Dia sudah bersama kami selama 7 tahun. Akibatnya, selera dan cara pembuatannya jadi sama plek. Mereka menjualnya di pasar-pasar tradisional, sehingga para agen kami berteriak. Kami mencoba memberi pengertian kepada mereka. Akhirnya, produk lama kami jual dengan harga diskon, lalu secepat kilat kami menciptakan produk baru dengan menambah tingkat kerumitan,” kisah Ferry, yang memiliki agen di seluruh Indonesia, dari Bandung hingga Batam, yang jumlahnya tak terhitung. 

Mengingat bahwa merek Gendhis sudah didaftarkan sejak tahun 2004, sebenarnya Ferry bisa saja menempuh jalur hukum. Tapi, ia lebih memilih jalan lain. “Ah, nanti malah menghabiskan energi. Lebih baik memikirkan cara agar kami lebih maju, sehingga konsumen lebih memilih kami, dan bukan produk palsunya,” tutur Ferry, positif. Di balik pemalsuan itu, Ferry masih bisa tersenyum, karena (sengaja atau tidak) ia berhasil meningkatkan penghasilan para perajin tas. 

Sekarang, kisaran harga tas natural di pasar tak lagi Rp20.000 - Rp40.000, melainkan sampai Rp175.000 - Rp200.000! Yang membuat Ferry terpana, para penjual di pasar menjajakan produk asli Gendhis, lengkap dengan label harga Gendhis asli. Para penjual itu  mengatakan, mereka juga punya KW-nya Gendhis. “Hebat euy, tas natural sudah ada KW-nya!” seru Ferry, tertawa. 

Tak goyah oleh penjiplakan, Ferry malah berencana membuka cabang di seluruh dunia. Cabang di Selandia Baru sudah ada, di Malaysia akan segera dibuka, dan rencana berikutnya adalah Jepang. Lalu, kejutan apa yang ia siapkan untuk pencinta tas Gendhis di Indonesia? Ferry segera akan meluncurkan produk premium dan produk bertajuk Gendhis and Friends. Produk premiumnya limited edition, akan disulam sendiri oleh Ferry dan nama para penganyamnya akan tertulis pada sertifikat. 

“Jumlah produk premium ini sangat sedikit dan kami beri nomor seri. Sehingga, dalam satu kali tayang, hanya 10 orang yang punya. Sedangkan untuk produk Gendhis and Friends, saya menggandeng teman-teman seprofesi untuk menuangkan ide bersama. Pada produk itu akan tercantum nama teman yang berpartisipasi, misalnya Gendhis bekerja sama dengan Becca, atau Gendhis bekerja sama dengan Lawe. Seru! We are family...,” ungkap Ferry, yang berprinsip tak ingin menyakiti dalam berkarya. 

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar