Selasa, 29 Januari 2013

Sukse Welmince Lulu Ratu


Bertumpuk-tumpuk kain tenun ikat warna-warni tampak menghiasi salah satu stan di acara Festival Wanita Wirausaha yang digelar Juli lalu. Pemiliknya, seorang wanita bertubuh sedang dan berambut ikal, seharian tak berhenti melayani pelanggan. Ia adalah Welmince Lulu Ratu (37), pemilik Tenun Ikat NTT Jula Huba, pemenang kategori khusus Pemanfaatan Potensi Lokal Lomba Wanita Wirausaha 2012. 

Meski selama 3 hari acara digelar, ia tak dibantu seorang staf pun. Senyum tak pernah hilang dari wajah wanita yang akrab dipanggil Mince ini. Terlihat rak yang tadinya penuh dengan kain kini sudah nyaris kosong. Sembari beristirahat, ia bertutur kepada femina bahwa berjualan kain tidak bisa sembarangan. Apalagi kain tenun ikat yang memiliki banyak filosofi dan cerita di balik setiap motifnya. Tak mengherankan, mencari karyawan yang memiliki pengetahuan dasar tentang kain pun menjadi tak mudah. “Soalnya hanya saya yang tahu dan mengerti kain-kain ini. Padahal, pencinta kain biasanya ingin mendengar tentang asal atau arti di balik motifnya sebelum membeli. Cerita-cerita ini membuat mereka jadi lebih menghargai dan maklum kalau kain tenun ikat harganya relatif mahal,” ungkapnya. 

Tak hanya tentang kain, Mince yang lahir di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, juga punya kisah manis getir tentang perjuangannya menuju sukses sebagai pengusaha. Sejak kecil ia sudah menjadi penenun karena harus membiayai sendiri sekolahnya. Wafatnya kedua orang tua ketika ia masih SD, membuat ia dipisahkan dari ketiga saudara kandungnya yang dititipkan di keluarga orang tuanya. 

Selama menjadi buruh tenun, dengan rajin Mince menabung sebagian dari upah yang didapatnya. Pada tahun 2003, ia berhasil mengumpulkan Rp300.000 untuk modal awal menjadi penenun mandiri. “Dengan uang itu saya pindah ke rumah kos yang sangat sederhana di sebuah kompleks penenun di Kupang. Di sana saya dan tetangga-tetangga bahu-membahu saling meminjamkan benang, beras, dan apa saja,” ujarnya. 

Di lingkungan ini, Mince dan kawan-kawannya menenun dengan alat gedokan yang digerakkan dengan tangan. Dibandingkan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang sedikit lebih modern, kain tenun gedokan relatif lebih tebal.

Mince dan teman-temannya menjual kain hasil tenunan mereka ke toko-toko. Sering kali para pedagang menawar murah tanpa belas kasihan. Ada satu kejadian yang masih membekas dalam ingatannya. Seorang pemilik toko menolak membeli kain Mince karena sudah memiliki  terlalu banyak kain. Ketika Mince beranjak keluar, pemilik toko itu menawar kain Mince seharga Rp50.000. 

“Pikiran saya berkecamuk, antara menerima atau menolak tawarannya. Saya bilang, ‘Kalau Bapak yang menenun kain ini sendiri, pasti tahu harga itu tidak pantas.’ Saya lalu keluar. Toko yang berikutnya membeli kain saya seharga Rp80.000. Sejak itu, saya bertekad tak mau lagi mengemis dari toko ke toko seperti itu. Saya harus berbuat sesuatu untuk maju,” tutur Mince, dengan mata berkaca-kaca. 

Sejak kejadian itu, Mince lebih sering berjualan kain di kantor-kantor pemerintahan. Di sana, ia bisa menjual kainnya dengan harga jauh lebih tinggi. Pelanggan Mince cukup banyak, terutama setelah adanya perda yang mengharuskan semua PNS  memakai pakaian berbahan tenun sekali seminggu. “Karena sudah kenal baik dengan banyak orang,  tiap kali ada pameran, saya diajak ikut. Sedikit demi sedikit, saya belajar cara berbisnis,” ungkap ibu dari satu putri ini. 

Seiring berjalannya waktu, jadwal Mince pameran mulai padat, sampai ia tak sempat lagi menenun sendiri. Semua pesanan ia teruskan kepada teman-teman penenunnya. “Karena saya juga penenun, mereka lebih memercayai saya daripada pemilik toko atau pedagang kain lainnya. Kain-kain mereka saya beli putus dengan harga yang layak,” ujar Mince, yang di rumahnya selalu kebanjiran berkarung-karung kain tenun yang datang dari segala penjuru NTT: Pulau Sabu, Rote, Ende, Maumere, dan masih banyak lagi. Karena itulah, ia banyak mengenal aneka motif dan pola kain tenun sesuai daerah asal masing-masing. 

Tak puas hanya berjualan kain saja, Mince lalu berinisiatif untuk memberdayakan para wanita di daerahnya. Kebanyakan dari mereka, seperti Mince, putus sekolah. “Ada anggapan di kampung bahwa mereka yang bersekolah pasti tak mau menenun. Sedangkan mereka yang menenun, juga berpikir, buat apa sekolah?” ujarnya, menyayangkan. Lalu, Mince pun memberi bahan dan melatih mereka sampai bisa menghasilkan kain yang bagus. Saat sudah punya modal, mereka dilepas supaya mandiri.

Sebagai mentor sekaligus teman baik, ia berusaha untuk mengunjungi rumah mereka sebulan 2 kali untuk mengecek proses pengerjaan kain-kain itu. “Yang membedakan saya dari pembeli kain lain? Saya selalu siap sedia, jika mereka membutuhkan sesuatu.  Mau telepon tengah malam pun, saya pasti datang,” ujarnya, mantap. Kini, terhitung ada sekitar 62 wanita yang berada di bawah naungannya.    

Mince membuka toko pertamanya di Kupang tahun 2008. Menurutnya, membeli kain tenun di NTT, terutama bagi pendatang atau turis, tidak semudah yang dibayangkan. “Kain tenun ikat pada dasarnya digunakan untuk acara-acara adat,  bukan untuk dijual. Kain-kain ini dikerjakan di rumah-rumah di desa. Kain yang dianggap sakral, mau ditawar berapa pun, tidak akan dijual,” ujarnya. 

Kini toko Mince menjadi tujuan utama para pencinta tenun yang berkunjung ke Kupang. Melihat antusiasme pasar terhadap kain tenun NTT, Mince punya misi baru, yaitu meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal bahwa tenun tidak hanya digunakan untuk upacara adat, tapi sudah menjadi fashion kebanggaan Indonesia. Bagaimana tidak, sekarang langganan tetap Mince adalah desainer-desainer ternama, seperti Ida Royani, Stephanus Hamy, dan Oscar Lawalata. “Ibu Ani Yudhoyono juga mengoleksi kain dan sering beli dari saya,” ungkapnya, bangga. 

Ketika melihat kain tenun Jula Huba ‘disulap’ para desainer itu menjadi aneka rupa high fashion, Mince mengaku terkaget-kaget. “Saya tidak pernah membayangkan tenun NTT akan dipakai di luar pulau. Berkat desainer-desainer itu, tenun NTT jadi populer dan trendi di kalangan anak muda Jakarta,” ujarnya, terharu. Melihat besarnya permintaan kain tenun yang datang dari Jakarta, tahun lalu Mince membuka 2 toko di pusat perbelanjaan Thamrin City. Sejak itu, keseharian Mince dihabiskan antara Jakarta dan Kupang. 

Dengan harga kain tenun mulai dari ratusan ribu sampai belasan juta rupiah per lembarnya, omzet Jula Huba mencapai puluhan juta per bulannya. Keberhasilannya keluar dari kondisi ekonomi yang dulu, memberi Mince perspektif hidup baru. “Ternyata, segala ketakutan saya terhadap kegagalan tidak ada yang terbukti. Ini membuat saya  makin berani melangkah dan mengambil risiko. Masih banyak mimpi yang ingin saya capai,” ujarnya.

Salah satu mimpinya adalah membuat buku tentang kain tenun NTT. Selama ini ia selalu membeli semua buku tentang tenun Indonesia yang ia temukan. Mince mengaku kecewa campur gemas, karena banyak buku yang memuat keterangan motif dan asal kain NTT yang salah. 

Menurut Mince, hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak ada instansi yang bisa mengklarifikasi data-data itu. “Jangankan orang luar, orang NTT sendiri pun belum tentu tahu semua jenis motif dari berbagai pulau di NTT,” katanya. Kedua, sering kali kain tenun dijual asal-asalan. Banyak penjual kain yang tidak tahu-menahu latar belakang motif-motif kain yang dijualnya. Jadi, mereka mengarang saja ceritanya. “Keinginan saya sederhana saja. Saya ingin kain tenun NTT dikenal dan diapresiasi dengan baik dan benar oleh orang banyak,” tutupnya. 

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar