Selasa, 29 Januari 2013

Dibalik Sukses Hoka-Hoka Bento


Berawal dari sebuah gerai mungil di wilayah Kebon Kacang Raya, Jakarta, Hendra Arifin mengembangkan bisnis resto Hoka Hoka Bento. Kini, resto cepat saji yang membeli hak nama dari Jepang itu mempunyai 99 gerai dengan omzet sekitar Rp 13,85 miliar per tahun.

Hendra sebagai pemilik PT Eka Bogainti tertarik mengembangkan resto cepat saji ala Jepang karena pada 1985 konsep itu belum ada di Indonesia. Ia pun melakukan studi banding ke Jepang dan kemudian membeli izin untuk menggunakan merek dan technical assistance Hoka Hoka Bento di Indonesia.

“Saat ini, Eka Bogainti memiliki penuh hak cipta atas merek merek Hoka Hoka Bento. Sementara itu, usaha serupa dengan merek sama yang ada di Jepang sudah tidak ada lagi,” kata Hendra saat peluncuran Hokben Delivery Service 500-505 di Jakarta, Kamis (28/5).

Awalnya, Hoka Hoka Bento berbisnis makanan take away (pesan ambil/ bawa pulang). Konsep take away kemudian diubah menjadi fast food (cepat saji), mengadopsi tren cara makan yang praktis dan higienis ala Jepang. ”Layanan semacam itu menjadi solusi bagi masyarakat Indonesia yang tengah menikmati pembangunan,” ujarnya.

Saat ini, Hoka Hoka Bento ditangani generasi kedua, anak dari Hendra Arifin yakni Paulus Arifin yang menjadi direktur operasional PT Eka Bogainti.

Menurut Paulus, dampak krisis global membuat pengunjung resto sedikit berkurang sehingga ia menerapkan strategi khusus untuk menarik minat konsumen dengan berbagai menu spesial. Selain itu, efisiensi terus dilakukan tanpa harus melakukan perampingan tenaga kerja. Kini, Hoka Hoka Bento mempekerjakan sekitar 4.000 tenaga kerja.

Pengalaman saat krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga bagi Hoka Hoka Bento sehingga tetap bertumbuh rata-rata 5-7% per tahun. “Tahun 2009, kami menargetkan pertumbuhan penjualan sekitar 10%, memang agak sulit tetapi kalau berusaha keras pasti bisa,” ujarnya.

Meskipun 2009 dipenuhi ketidakpastian ekonomi, Hoka Hoka Bento berencana menambah satu gerai. “Untuk menggenapi jadi 100 gerai,” ungkap Hendra. Saat ini, 99 gerai Hoka Hoka Bento tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Jabodetabek), Bandung, Surabaya, dan Malang.

Paulus memaparkan, untuk membuka gerai baru seluas 150-200 meter persegi di mal kawasan Sudirman, Jakarta, dibutuhkan investasi hampir Rp 1 miliar. Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga melakukan revitalisasi fisik gerai serta memperkuat manajemen sumber daya manusia.

Hendra menambahkan, Hoka Hoka Bento tidak berencana berekspansi ke sistem waralaba. Upaya mempertahankan kualitas layanan menjadi salah satu alasan untuk tidak merambah ke bisnis waralaba. “Memang menggiurkan tapi kami tidak ingin serakah. Selain itu, bisnis makanan tergantung pada kualitas layanan,” katanya.

Untuk meningkatkan pelanggan, Hoka Hoka Bento mengembangkan bisnis pesan antar. Kontribusi penjualan antar-pesan kini mencapai 30-40% dari total penjualan. “Untuk layanan ini, konsumen dikenakan biaya Rp 5.000 per antar dan tidak ada batas minimum order,” kata Paulus.

Secara terpisah, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) Amir Karamoy mengimbau, Hoka Hoka Bento berekspansi ke bisnis waralaba untuk menghindari dugaan praktik mendominasi pasar. Menurut dia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya menyoroti bisnis-bisnis besar yang menggunakan sistem company own outlet.

Dengan memiliki company own outlet , kata dia, resto besar berpotensi menimbulkan praktik persaingan usaha tidak sehat. “Dia bisa saja mendikte si pemasok karena produk yang disuplai akan dijual di banyak gerai. Saya menganjurkan Hoka Hoka Bento diwaralabakan saja sekitar 40%-nya. Toh peminatnya besar dan pasti berkembang pesat,” tutur Amir kepada Investor Daily.

Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman (Gapmmi) Thomas Darmawan mengatakan, segmen pasar Hoka Hoka Bento yang menyasar keluarga kelas menengah menjadi salah satu nilai tambah. Di sisi lain, kata dia, kampanye Aku Cinta Indonesia yang juga menyasar ke makanan dinilai dapat menjadi saingan baru bagi restoran-restoran cepat saji ala makanan khas luar negeri.

Dia memperkirakan, beberapa restoran kelas atas dan menengah bakal banyak tutup pada 2009 akibat tekanan krisis ekonomi. Untuk itu, lanjut dia, sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan saran untuk menghapus pajak makanan di restoran, seperti pajak pertambahan nilai (PPN), pajak daerah, dan pajak restoran.

“Contohnya, makan shabu-shabu di Indonesia bisa lebih mahal 30-40% dibandingkan Bangkok dengan level restoran yang sekelas. Bahkan, orang kaya juga mulai berpikir makan di restoran sekarang,” kata Thomas kepada Investor Daily.

Berdasarkan survei wawancara tatap muka yang dilakukan oleh Nielsen terhadap 2.029 koresponden di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Makassar, sebanyak 894 koresponden menyatakan pernah makan di luar rumah, sedangkan sisanya belum pernah. Sebanyak 63% mengatakan lebih memilih restoran dengan menu lokal.

Sementara itu, survei on line terhadap 510 konsumen di kota yang sama menunjukkan, hingga 59% responden lebih memilih restoran dengan masakan lokal. Sementara itu, sebanyak 17% memilih masakan Tiongkok sebagai alternatif dan 12% memilih masakan Jepang. Sedangkan restoran yang menghidangkan masakan Italia (empat persen), masakan Amerika (dua persen), Perancis (satu persen), dan masakan India (satu persen).

“Hal itu menjadi berita dan peluang bagus bagi restoran lokal. Sedangkan restoran dengan merek internasional memiliki tantangan untuk masuk ke pasar dalam negeri,” kata Executive Director Consumer Research Nielsen Catherine Eddy.

Sumber : infocomcareer.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar