Impian Puspo Wardoyo membuat “jarak” antara Solo-Medan lebih dekat
dibanding Solo-Semarang terwujud sudah. Jarak di sini lebih tepat
diartikan waktu tempuh dibanding pengertian fisik yang dihitung
berdasarkan satuan kilometer antara dua titik kota. Impian itu sendiri
terinpirasi oleh cerita seorang pedagang bakso yang sukses mengarungi
hidup di Medan.
Ketika pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis usaha
warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri
sipil, suatu saat pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat
Puspo. Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat
bagus. Pedagang bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa
meraup keuntungan bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000.
Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo
ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan.
“Dengan uang, jarak antara Solo-Medan lebih dekat dibanding
Solo-Semarang, ” kata Puspoyo menirukan ucapan temannya tadi. Wajar saja
jika dengan pesawat terbang waktu tempuh antara Medan-Solo dengan
berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Sementara dengan naik bis jarak antara Solo-Semarang ditempuh sekitar
empat jam.
Cerita sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo. “Saya
bertekad bulat akan merantau ke Medan, ” pikirnya. Untuk mewujudkan
keinginannya itu, apa boleh buat, warung makan yang termasuk perintis
warung lesehan di kota pusat kebudayaan Jawa itu pun ia jual kepada
temannya. Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk
membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa Jakarta? “Karena dengan uang yang
saya miliki, bekal saya belum cukup untuk merantau ke Medan, ” katanya.
Ketika tengah merantau di ibu kota itu, suatu hari Puspo membaca
lowongan pekerjaan sebagai guru di sebuah perguruan bernama DR Wahidin
di Bagan Siapiapi, Sumatera Utara. Apa boleh buat, demi mewujudkan
cita-citanya, ia berusaha mengumpulkan modal dengan kembali menjadi
guru. Bedanya, kali ini ia tidak lagi menjadi pegawai negeri seperti
sebelumnya ketika menjadi staf pengajar mata pelajaran Pendidikan Seni
di SMA Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang. “Target saya cuma dua tahun
menjadi guru lagi,” katanya. Di sinilah anak pasangan Sugiman-Suki ini
ketemu dengan isteri pertamanya Rini Purwanti yang sama-sama menjadi
tenaga pengajar di sekolah tersebut.
Dua tahun menjadi guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp
2.400.000. Dengan uang inilah keinginannya menaklukkan kota Medan tak
terbendung lagi. Uang tabungan itu sebagian ia gunakan untuk menyewa
rumah dan membeli sebuah motor Vespa butut. Masih ada sisa Rp 700. 000
yang kemudian ia manfaatkan sebagai modal membangun warung kaki Iima di
bilangan Polonia Medan. Disini ia menyewa lahan 4×4 meter persegi
seharga Rp 1.000 per hari. Siapa sangka jika dari sebuah warung kecil
ini kemudian melahirkan sebuah usaha jaringan rumah makan yang cukup
kondang di seantero Medan. Impian untuk menaklukkan “jarak” Solo-Medan
lebih dekat dibanding Solo-Semarang pun menjadi kenyataan.
Bukan itu saja, penilaian atas prestasi bisnis yang dirintis Puspo
lebih jauh melewati impian yang ia tinggalkan sebelumnnya. Dari ibu kota
Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo (Wong Solo)
melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin
berkibar-kibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta setelah sebelumnva
“mengapung” dari daerah pinggiran.
Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan
menanamkan tonggak-tonggak bisnisnya di pusat kota metropolis ini.
Ekspansinya pun semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota
besar di Indonesia. Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman
berbagai kalangan dari pejabat pemerintah, para pelaku bisnis hingga
para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta selalu sesak
pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan
Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung saat
berbuka puasa.
Skala usaha Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa
lalu yang dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per
tahun yang triliunan rupiah. “usaha saya memang belum kelas triliunan
seperti para konglomerat yang kaya utang itu,” paparnya. Kendati masih
tergolong usaha menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid dan tak
punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang.
Untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri
ini telah melewati rute perjalanan yang berlika-liku lengkap dengan
segala tantangannya. Ada masa ketika di waktu-waktu awal merintis usaha
di Medan ia nyaris patah semangat gara-gara selama berhari-hari tak
pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau tiga ekor ayam bakar plus
nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah pula
seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan
karena jalanan licin sehabis hujan. “Apa boleh buat, saya terpaksa
pulang dan memasak lagi”. katanya.
Istrinya yang tak sabar melihat lambannya usaha Puspo bahkan sempat
memberi tahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam
bakar lagi. “Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat ?” katanya
menirukan ucapan sang mertua. Tantangan terbesar mungkin saat ia
menghadapi kenyatan satu cabang Wong Solo miliknya yang baru dibangun
langsung dibongkar oleh Pemda medan. Pasalnya cabang ini dibangun tanpa
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dinilai mengganggu kenyamanan warga.
Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak
menyangka jika usaha warung ayam bakar “Wong Solo” akan berkembang
seperi sekarang. Maklum, rumah makan yang dibukanya hanyalah sebuah
warung berukuran sekitar 3×4 meter di dekat bandara Polonia, Medan.
Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang
dibagi-bagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500
plus sepiring nasi. Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari.
Namun sekarang, 13 tahun kemudian, dia memiliki lebih dari 16 cabang
tersebar di Medan, Banda Aceh, Padang, Solo, Denpasar, Pekanbaru,
Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta.
Meskipun masih mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin
beragam hingga 100 jenis. Mulai dari berbagai jenis makanan yang
berbahan baku ayam sampai bebek, berbagai jenis ikan dan sea food,
sayur-sayuran, sambal, sampai tempe dan tahu. Tersedia pula berbagai
jenis minuman ringan dan aneka juice. Salah satunya juice khas “Wong
Solo” adalah Poligami Juice.
Dia mengatakan, ”Prinsip bisnis kami sesuai dengan ajaran Al Qur’an
bahwa suatu pekerjaan haruslah dapat menyelamatkan diri dari siksa api
neraka”. Sudah terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari
keuntungannya untuk amal. Dia percaya, Tuhan akan memperkaya orang yang
banyak beramal. Dengan tetap menghidupkan roh agama dalam bisnisnya,
wardoyo tak segan-segan mengangkat “penasehat spiritual” Prof. Dr
Syahrin Harahap, MA, Guru Besar IAIN Sumatra Utara. Maka jangan heran
bila Anda kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan
karyawannya sedang berkerumun di saat menjelang atau usai jam kerja.
Mereka sedang melaksanakan ibadah “kultum” atau kuliah tujuh menit.
Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal.
Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang “Wong
Solo”, makin ramai saja orang yang makan ke warungnya. Pernah suatu hari
dia kewalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di saat tiga ekor ayam
jualannya habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan
Wardoyo mau mencari ayam baru ke pasar. Dia pun memenuhi permintaan
pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi
pelanggan lain yang juga bersedia menunggu Wardoyo mencari ayam ke
pasar. “Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar
untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan,” kata Wardoyo
mengenang.
Bersamaan dengan bertambahnya pelanggan, dua tahun kemudian Wardoyo
memperluas warungnya hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo
nampak tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang cenderung
“nyeleneh”. Dalam bentuk bangunan, misalnya, Wardoyo tak segan-segan
mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang arsitek guna
mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.
Perpaduan seni dan entrepreneurship Wardoyo juga tertuang dalam
pendekatan terhadap konsumen. ”Saya berusaha menghafal nama-nama semua
pelanggan saya. Sehingga sewaktu mereka datang saya harus menyambut
mereka dengan menyebut namanya,” papar Wardoyo. Inilah yang disebutnya
sebagai “menjadikan pelanggan sebagai saudara”.
Seiring dengan berkembangnya “Wong Solo”, puspo wardoyo membuka
kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai
tambah Wong Solo melalui sistem waralaba. Perjanjian pemilikan waralaba
ini diberikan kepada perorangan atau yang diberi kuasa, dan atau badan
hukum dengan masa pengoperasian selama 10 tahun.
Hak tersebut mencakup penggunaan merek dagang “Wong Solo”, desain dan
dekorasi rumah makan. Merek dan peralatan, tata letak, resep dan jenis
makanan, sistem kontrol inventori, metode operasional, pembukuan dan
akuntansi, serta pemasaran dan hak untuk menempati dan mengisi rumah
makan “Wong Solo”.
Untuk waralaba tersebut, Wardoyo telah membuat standarisasi dalam hal
rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba “Wong Solo” di
Jakarta, dipastikan sama rasa dan penataan gerainya dengan “Wong Solo”
Medan atau di tempat lain. Adapun kewajiban finansial pewaralaba adalah,
pertama, membayar uang pendaftaran awal sebesar Rp 500.000. Kedua,
membayar biaya pelayanan (royalty/service fee) bulanan berdasarkan
persentase tertentu dari penjualan kotor sebesar 12 persen yang dapat
dinegosiasikan. Sementara harga sebuah waralaba yang dijual “Wong Solo”
terbagi beberapa tipe. Untuk tipe A Rp 700 juta, tipe B Rp 525 juta,
tipe C Rp 350 juta, tipe D Rp 225 juta. Dana tersebut digunakan untuk
membangun restoran, peralatan, praoperasi, waralaba fee selama 5 tahun,
dan hak waralaba selama 10 tahun.
Setelah sukses membesarkan “Wong Solo”, apa harapan Puspo Wardoyo
selanjutnya ? dengan sungguh-sungguh dia menyahut, ”Ingin terus bekerja
keras, kaya raya, banyak istri, dan masuk surga.”
Sumber : wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar