Rabu, 31 Oktober 2012

Wingko Babat Chandra


Usaha dalam bisnis makanan, apalagi khas suatu daerah, memang gampang-gampang susah. Kompetisi sangat ketat dan nyaris tak ada celah untuk berkembang hingga membuat produsen semacam itu akhirnya hanya mampu bertahan hidup saja tanpa ada pertumbuhan. 

Demikian juga dengan produk makanan khas kota Semarang, namanya sudah dikenal dengan wingko babat. Masyarakat yang berkunjung ke ibukota Jateng ini pasti tidak melupakan untuk membawa dan mencoba produk berbahan baku tepung ketan dan kelapa ini sebagai buah tangan. 

Salah satu merek wingko yang mampu bertahan dan berkembang cukup menonjol adalah wingko babat Cap Kereta Api Mutiara yang diproduksi oleh Chandra. 

Dari usaha yang bisa dikatakan modal dengkul dalam perkembangnnya kini omzetnya sudah mampu mencapai lebih dari Rp500.000 per harinya, tentu didukung dengan keuletan dan pengelolannya yang baik. 

Keuletan dan ketekunan memang menjadi modal dasar yang utama bagi Chandra. Ia memulai usahanya dari nol pada 1993, meski makanan wingko babat sebelumnya sudah dikenal sekitar tahun 70--an. 

Dengan bermodalkan uang Rp 20.000, ia mencoba memasarkan dengan mengambil makanan wingko babat yang diproduksi warga sekitar stasiun kemudian dipajangnya di kios-kios pinggir jalan Pandanaran Semarang. 

Dari hasil keuntungan yang didapat disisihkan 10% untuk pengembangan usaha dan menambah modal.  Tidak mengherankan jika dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun, Chandra sudah mampu memproduksi sendiri. 

Modal yang terkumpul ia gunakan untuk membeli mesin pengolah makanan itu seharga Rp7 juta lebih dengan mempekerjakan sedikitnya lima orang karyawan. 

Semakin hari usaha wingko miliknya bertambah berkembang dan banyaknya konsumen yang menggemari rasa khas produk buatannya dengan mutu dan kualitas rasa yang terjaga. 

Agar bisa bertahan dalam persaingan Chandra mengaku kiatnya yang terpenting adalah harus bisa memberikan sentuhan pribadi pada proses pembuatan dari awal hingga akhir, dengan langsung ikut terlibat terjun menangani produk awal sampai saat finishing pengepakan. 

"Saya tanamkan kepada karyawan saya, untuk tetap menjaga kebersihan dari sebelum masuk oven, sampai proses akhir pembungkusan dan pengemasan." ujarnya. 

Meski dalam proses produksi wingko menggunakan bantuan mesin-mesin modern, tetapi dia tetap berusaha agar cita rasa wingko babat hasil produksinya memiliki cita rasa sama dan tidak berubah dengan sentuhan rasa tradisional. 

Dari pengalamannya bekerja di pabrik atau industri wingko babat yang lebih besar, Chandra sudah bisa membandingkan dengan pas rasa antara wingko babat hasil buatan mesin dan mana yang dihasilkan dari racikan-racikan buatan tangan yang dikerjakan secara tradisional. 

Menurutnya, secara umum rasa yang dihasilkan pembuatan tradisional dengan tangan lebih pas dengan lidah konsumen, karena dari segi komposisi adonan lebih sesuai. 

"Dengan resep khusus yang saya punya, rasa wingko babat produksi saya tetap lebih enak dan tahan lama. Adonan-adonan yang diolah secara tradisional dan manual dengan tangan, komposisi bahannya bisa lebih pas dan menghasilkan citarasa tinggi. Produksi saya merupakan perpaduan antara produksi secara modern tapi masih bercitarasa tradisional" tutur Chandra. 

Berkat kehati-hatiannya dalam menjaga kualitas dan mutu produk makanannya kini dia berhasil mengembangkan usahanya. 

Satu persatu proses produksi selalu dilakukan pengecekan sendiri oleh Chandra serta diawasi ketat yang dibantu istrinya. Bahkan hingga risetpun dia juga melakukan sendiri. 

"Memang merepotkan dan melelahkan tapi demi kepercayaan konsumen pada produk makanannya, pekerjaan itu semua harus dilakukan." 

Dalam risetnya Chandra selalu berusaha mengetahui keinginan dan perkembangan selera konsumen, beberapa konsumen yang diminta keterangannya, baik di Semarang maupun saat menawarkan produknya di luar kota maka saran dan kritikan dijadikan sebagai bahan masukan termasuk saran mana bagian yang harus dan perlu ditambah, dikurangi atau dipertahankan. 

Saat ini produk wingko buatannya memiliki tiga jenis rasa masing-masing rasa durian, coklat dan nangka. 

Chandra sengaja tidak menjual produknya di toko-toko besar yang banyak tersebar di kota Semarang, dengan alasan efisiensi distribusi dan kebaruan produk, serta harga eceran yang lebih terkontrol. 

Untuk menunjang pemasaran, Chandra juga mengembangkan sayap, tidak hanya menggarap pasar Semarang tapi juga Yogyakarta, Gringsing dan kota sekitar Semarang. 

Dipilihnya daerah Grinsing Kabupaten Kendal tersebut, katanya, karena merupakan daerah transit alternatif dari Semarang yang merupakan kawasan transit jalur pantai utara. 

"Sedangkan Yogyakarta dipilih karena daerah itu adalah tempat transit untuk jalur Jateng Selatan, antara kawasan barat dan timur," ujar dia.

Mengenai sistem promosi, Chandra mengaku tidak memiliki strategi khusus dan lebih mengandalkan pada promosi dari mulut ke mulut. Dari kemasan tas atau besek (keranjang bambu) dan bungkus wingko itu, dianggapnya sudah menjadi semacam trademark produknya untuk dikenal ke masyarakat. 

"Orang yang datang ke Kota Semarang membeli produk wingko babat buatan kami, pasti puas dan akan menceritakan pada orang lain di daerah asal mereka," kata Chandra. 

Hal ini terbukti dari pembeli luar kota yang kebetulan atau sengaja singgah ke kota Semarang pasti menyempatkan mampir ke kiosnya di Jalan Pandanaran atau langsung datang ke rumah

Pada waktu tengah malam pun, lanjutnya, masih saja ada konsumen yang mau membeli produknya langsung ke rumah, karena akan segera melanjutkan perjalannannya saat itu juga. 

"Bagaimanapun tetap kami layani karena konsumen adalah segalanya. Bahkan, pernah ada pembeli yang datang dari Kalimantan yang hanya mampir ke Semarang untuk membeli wingko babat produksi kami, setelah dia mendengar cerita dari seorang temannya yang kebetulan berkunjung ke sana" ujar dia. 

Kiat yang paling bagus agar pelanggan menjadi loyal, menurut Chandra adalah kebutuhan dan keinghinan pelanggan itu sedapat mungkin harus di penuhi dengan pelayanan dan kualitas yang terus ditingkatkan. 

Dari segi pemasaran ia tidak mengalami kesulitan yang berarti, untuk efisiensi ia hanya membutuhkan satu orang tenaga pemasaran, yang memang terbukti cukup andal. 

Sementara dari segi lapangan pekerjaan sebenarnya, ia juga menyerap lapangan kerja cukup banyak, terutama orang-orang tua dan pensiunan di pedesaan yang sudah tak punya pekerjaan. 

Tenaga mereka dimanfaatkan untuk membuat kemasan atau bungkusnya yang terbuat dari bahan baku kertas. 

Selain murah berkisar ongkos tenaga hanya Rp1.000 untuk setiap jadi 1000 lembar dengan bahan kertas dipasok dari perusahaan miliknya dan hasilnya lebih baik karena dilakukan secara hati-hati. Pekerjaan ini lebih sekadar untuk mengisi waktu mereka. 

"Alhamdulilah produk wingkobabat produksi kami cocok dengan lidah penikmatnya. Citarasa yang pas, satu langkah maju menentukan keberhasilan usaha saya." Ujarnya mengakhiri pembicaraan.

Sumber : ciputraentrepreneurship.com

1 komentar: