Merintis usaha dari bawah dan memiliki banyak anak buah telah menjadi
cita-cita Ina Wiyadini sejak muda. Dengan semangat itu juga wanita
berumur 45 tahun ini memilih menyimpan ijazahnya di dalam lemari
ketimbang melamar jadi pekerja untuk orang lain.
Ina
mengaku tidak perlu waktu lama untuk menentukan bidang usaha yang akan
digarap guna menggantungkan hidup. Hobi dan kemampuannya memasak dirasa
cukup untuk mengembangkan bisnis kue kering (cookies) yang dilakukannya
sejak 1998. Kini cookies buatannya menjadi salah satu incaran penikmat
kuliner di Kota Bandung.
Ina menuturkan, pilihan menggantungkan hidup dengan menjadi pebisnis tak hanya dipicu oleh cita-cita sejak muda. Kegagalan bisnis yang dijalankan sang suami menjadi pendorong utama. Bisnis jahe gajah yang dilakoni suaminya, Rachmat Basuki, terpuruk pada 1997. "Ini menjadi pendorong saya untuk memulai," katanya.
Bisnis pembuatan kue kering itu dimulainya dari bawah. Modal awalnya dari uang tabungan pensiun pegawai negeri sang suami, yang memilih pensiun dini dari PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 1998.
Saat memulai, menurut Ina, dirinya dan anak-anak terpaksa tidur bersama oven-oven kue karena kediamannya tak bisa menampung peralatan masak-memasak itu. Perlahan tapi pasti, kue-kue yang diproduksi Ina mulai dikenal banyak orang. "Pemasaran saat itu dari mulut ke mulut," katanya.
Ia mulai menemui persoalan saat pesanan terus meningkat. Modal dari awal yang dimiliki tak lagi mencukupi sehingga membuatnya memutar otak. Satu-satunya cara yang ada saat itu adalah mencari pinjaman dari bank. Namun itu tak mudah, selain karena tidak adanya akses, bank juga meminta agunan. "Akhirnya, atas seizin ayah, saya memutuskan menggadaikan rumah satu-satu sebagai agunan ke bank," kata Ina. Awalnya, sang ayah tidak setuju dan lebih menyarankan Ina mencari sumber dana lain.
Kemudian Ina datang ke bank dan mengurus prosedur penerimaan kredit. Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ. Pihak bank tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan dana pengembangan bisnis yang diperlukan. Dari sekitar Rp 200 juta yang dibutuhkan, bank hanya memberi Rp 75 Juta. "Tapi dukungan datang dari seluruh keluarga dengan memberikan pinjaman modal, terutama ibu dan saudara-saudara," ujarnya.
Setelah mendapat modal untuk menambah peralatan dan bahan baku, akhirnya bisnis yang dilakoninya lambat-laun merangkak naik dan bisa meraih sukses seperti sekarang. Ina memberi label Ina Cookies untuk produk kue keringnya.
Saat ini produksi dipusatkan di rumah yang berlantai enam di Jalan Bojong Koneng Atas 8, Cikutra, Bandung. Selain sebagai tempat produksi, rumah tersebut sebagai tempat pemasaran kue kering yang sudah mencapai 80 rasa. "Mungkin ini sudah rezeki, walaupun tadinya hanya berupa bilik," katanya.
Sang suami, yang lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, pun tak tinggal diam. Dia memberikan dukungan dalam mengembangkan bisnis kue kering ini. Arahan ini menjadi penting karena Rachmat memiliki bekal pengalaman saat menjalankan bisnis jahe gajah di Cirebon. "Suami yang mendesain bentuk kemasan unik dengan berbagai bentuk masjid dan mobil," katanya sambil tersenyum.
Ina Cookies saat ini mempunyai sekitar 400 karyawan dengan produksi per hari mencapai 4.000 stoples. Kebutuhan tepung terigu mencapai 30 ton. Pada 2007, empat kontainer kue kering buatannya sudah diekspor ke Malaysia dan Singapura. Selain itu, Ina Cookies telah masuk pasar di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Toh, dengan produksi yang lumayan besar seperti itu, "Sampai saat ini pun kami belum bisa memenuhi permintaan yang terus mengalir," katanya.
Guna membuat produknya semakin dekat dengan konsumen, Ina membuat brand image sendiri. Selain jenis kue-kue yang sudah dikenal, seperti nastar, kastengels, choco, atau chips, Ina Cookies menciptakan resep kue sendiri dengan nama sendiri.
Ina pun memilih awalan "Putri" untuk nama setiap kue hasil kreasinya. Dari sekitar 85 resep kuenya, nama kue yang berawalan Putri masih sekitar 40-an. Ina bercita-cita nama kue berawalan putri ini bisa mencapai 100 resep.
Dalam penamaan pun tidak sembarangan, setiap nama ada cerita. Misalnya nama putri pertamanya, Adrin, jadi nama kue Putri Adrin. Kue Putri Voula diambil dari nama putri keduanya, Voula. Sedangkan nama putra ketiganya, Fakhri, dijadikan nama kue Putra Fakhri.
Upaya lain yang dilakukan Ina adalah mendaftarkan hak paten nama-nama kue keringnya. Dia juga tak lupa setiap tahun mengurusi label halal serta Izin dari Dinas Kesehatan. Ina memasang tekad untuk terus mengembangkan bisnis kue kering ini. Dalam pemasaran produknya, menurut Ina, dirinya sangat bergantung pada jaringan agen-agen di sejumlah daerah. Paling tidak saat ini ada sekitar 113 agen yang terdaftar, tapi para agen itu membentuk subagen sendiri. Sistem penjualan kepada agen adalah beli putus.
Untuk menjaga para agennya itu, Ina juga memiliki trik khusus. Dia membuat konsep hadiah umrah bagi para agen yang tingkat penjualannya sangat tinggi dalam rentang waktu satu tahun. "Insya Allah, dua agen tahun ini akan berangkat umrah," katanya.
Ina menuturkan, pilihan menggantungkan hidup dengan menjadi pebisnis tak hanya dipicu oleh cita-cita sejak muda. Kegagalan bisnis yang dijalankan sang suami menjadi pendorong utama. Bisnis jahe gajah yang dilakoni suaminya, Rachmat Basuki, terpuruk pada 1997. "Ini menjadi pendorong saya untuk memulai," katanya.
Bisnis pembuatan kue kering itu dimulainya dari bawah. Modal awalnya dari uang tabungan pensiun pegawai negeri sang suami, yang memilih pensiun dini dari PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 1998.
Saat memulai, menurut Ina, dirinya dan anak-anak terpaksa tidur bersama oven-oven kue karena kediamannya tak bisa menampung peralatan masak-memasak itu. Perlahan tapi pasti, kue-kue yang diproduksi Ina mulai dikenal banyak orang. "Pemasaran saat itu dari mulut ke mulut," katanya.
Ia mulai menemui persoalan saat pesanan terus meningkat. Modal dari awal yang dimiliki tak lagi mencukupi sehingga membuatnya memutar otak. Satu-satunya cara yang ada saat itu adalah mencari pinjaman dari bank. Namun itu tak mudah, selain karena tidak adanya akses, bank juga meminta agunan. "Akhirnya, atas seizin ayah, saya memutuskan menggadaikan rumah satu-satu sebagai agunan ke bank," kata Ina. Awalnya, sang ayah tidak setuju dan lebih menyarankan Ina mencari sumber dana lain.
Kemudian Ina datang ke bank dan mengurus prosedur penerimaan kredit. Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ. Pihak bank tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan dana pengembangan bisnis yang diperlukan. Dari sekitar Rp 200 juta yang dibutuhkan, bank hanya memberi Rp 75 Juta. "Tapi dukungan datang dari seluruh keluarga dengan memberikan pinjaman modal, terutama ibu dan saudara-saudara," ujarnya.
Setelah mendapat modal untuk menambah peralatan dan bahan baku, akhirnya bisnis yang dilakoninya lambat-laun merangkak naik dan bisa meraih sukses seperti sekarang. Ina memberi label Ina Cookies untuk produk kue keringnya.
Saat ini produksi dipusatkan di rumah yang berlantai enam di Jalan Bojong Koneng Atas 8, Cikutra, Bandung. Selain sebagai tempat produksi, rumah tersebut sebagai tempat pemasaran kue kering yang sudah mencapai 80 rasa. "Mungkin ini sudah rezeki, walaupun tadinya hanya berupa bilik," katanya.
Sang suami, yang lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, pun tak tinggal diam. Dia memberikan dukungan dalam mengembangkan bisnis kue kering ini. Arahan ini menjadi penting karena Rachmat memiliki bekal pengalaman saat menjalankan bisnis jahe gajah di Cirebon. "Suami yang mendesain bentuk kemasan unik dengan berbagai bentuk masjid dan mobil," katanya sambil tersenyum.
Ina Cookies saat ini mempunyai sekitar 400 karyawan dengan produksi per hari mencapai 4.000 stoples. Kebutuhan tepung terigu mencapai 30 ton. Pada 2007, empat kontainer kue kering buatannya sudah diekspor ke Malaysia dan Singapura. Selain itu, Ina Cookies telah masuk pasar di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Toh, dengan produksi yang lumayan besar seperti itu, "Sampai saat ini pun kami belum bisa memenuhi permintaan yang terus mengalir," katanya.
Guna membuat produknya semakin dekat dengan konsumen, Ina membuat brand image sendiri. Selain jenis kue-kue yang sudah dikenal, seperti nastar, kastengels, choco, atau chips, Ina Cookies menciptakan resep kue sendiri dengan nama sendiri.
Ina pun memilih awalan "Putri" untuk nama setiap kue hasil kreasinya. Dari sekitar 85 resep kuenya, nama kue yang berawalan Putri masih sekitar 40-an. Ina bercita-cita nama kue berawalan putri ini bisa mencapai 100 resep.
Dalam penamaan pun tidak sembarangan, setiap nama ada cerita. Misalnya nama putri pertamanya, Adrin, jadi nama kue Putri Adrin. Kue Putri Voula diambil dari nama putri keduanya, Voula. Sedangkan nama putra ketiganya, Fakhri, dijadikan nama kue Putra Fakhri.
Upaya lain yang dilakukan Ina adalah mendaftarkan hak paten nama-nama kue keringnya. Dia juga tak lupa setiap tahun mengurusi label halal serta Izin dari Dinas Kesehatan. Ina memasang tekad untuk terus mengembangkan bisnis kue kering ini. Dalam pemasaran produknya, menurut Ina, dirinya sangat bergantung pada jaringan agen-agen di sejumlah daerah. Paling tidak saat ini ada sekitar 113 agen yang terdaftar, tapi para agen itu membentuk subagen sendiri. Sistem penjualan kepada agen adalah beli putus.
Untuk menjaga para agennya itu, Ina juga memiliki trik khusus. Dia membuat konsep hadiah umrah bagi para agen yang tingkat penjualannya sangat tinggi dalam rentang waktu satu tahun. "Insya Allah, dua agen tahun ini akan berangkat umrah," katanya.
Sumber : ciputraentrepreneurship.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar