Masyarakat awam bisa jadi tak mengenal Haji Ismet, tapi produk
buatannya barang kali saban hari ditimang-timang oleh buah hati Anda.
Ya, Ismet adalah pemilik usaha Istana Boneka Collection yang memproduksi
beragam jenis boneka.
Nama Haji Ismet cukup kondang dan diperhitungkan di industri boneka.
Dia memproduksi beragam jenis boneka dari bahan kain berbulu empuk.
Tak cuma memenuhi permintaan pasar lokal,
Ismet juga mengekspor boneka buatannya. Omzetnya kini sekitar Rp 4
miliar dalam setahun atau sekitar Rp 333 juta saban bulan. Ismet
menjual boneka buatannya tanpa merek. Para pembelilah yang kemudian
melabelinya dengan aneka merek. Namun, dengan cara ini, Ismet dan
kliennya sama-sama merasa untung.
Sejak menekuni bisnis ini, Ismet memang berprinsip tak akan
memberikan label khusus untuk bonekanya. Tujuannya agar distributor
atau agen bisa memberikan label menurut kemauan mereka sendiri. “Dengan
begitu, bisa menghidupkan usaha mikro lainnya, yaitu sebagai
distributor,” kilah bapak tiga putra ini.
Berkat semangatnya untuk berbagi inilah, Ismet kini didaulat sebagai
Bendahara Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo).
Ismet mengakui, jalannya meraih kesuksesan tidaklah mudah. Ia mesti
memulainya dari nol.
Awalnya, Ismet merupakan seorang produser kaset rekaman. Tapi,
gara-gara industri rekaman kaset lesu, Ismet pun banting setir menjadi
pengusaha boneka pada tahun 1999. “Saya terinspirasi oleh anak saya
yang sangat gemar boneka,” ujar lelaki 46 tahun ini.
Dengan modal seadanya, Ismet pun mulai memproduksi boneka. “Saat itu
modalnya sangat kecil, hasil tabungan selama bekerja di bidang
rekaman,” ujarnya seraya menolak menyebutkan angka.
Ia kemudian memasarkan boneka hasil produksinya melalui promosi dari
mulut ke mulut. Dengan memanfaatkan relasi yang dibangunnya saat
menjalani bisnis sebelumnya, Ismet memasarkan produknya hingga luar
Pulau Jawa, sebut saja Medan, Batam, dan Manado.
Dalam setahun, bisnis bonekanya berkembang pesat. Ismet pun bisa
memiliki kios di Tanah Abang untuk memasarkan produknya. Ketika itu, ia
menghasilkan ribuan boneka setiap bulan. Dapur produksi Ismet yang
terletak di Jalan Ancil, Kawasan Industri Cikarang, selalu diwarnai
aktivitas yang tinggi.
Pada saat-saat awal, omzet Ismet hanya sekitar Rp 10 juta per bulan.
Berkat ketekunannya, omzetnya terus menanjak menjadi ratusan juta per
bulan. Ini membuktikan, permintaan akan boneka tidak ada matinya.
“Omzet semakin besar seiring dengan permintaan dari luar negeri yang
terus datang,” kata Ismet yang menjual bonekanya dengan harga Rp
6.000-Rp 300.000 per unit.
Kunci keberhasilan Ismet adalah tak gampang puas dengan hasil saat
ini. Jadi, ia pun terus memperbarui model boneka dari berbagai
literatur, seperti media cetak maupun online.
Ismet, pemilik Istana Boneka Collection, berusaha memperbanyak
bentuk boneka ciptaannya agar pembeli memiliki banyak pilihan. Dia
mencontohkan boneka Pooh. Ismet membuat beberapa modifikasi bentuk dan
ukuran sehingga boneka Pooh tersedia dalam bentuk duduk dan berdiri.
“Pokoknya, pinter-pinter kita mendesain,” kata Ismet.
Dalam sebulan setidaknya Ismet menciptakan lima desain boneka baru.
Untuk itu, dia rajin berburu ide dari berbagai literatur, baik cetak
maupun online, sebagai bahan referensi.
Ismet menyadari tipe konsumen yang beragam. Ada konsumen yang memang
terpaku pada model yang sedang marak di pasaran. “Tapi, ada juga yang
mencari boneka dengan bentuk unik dan tidak pasaran,” lanjut Ismet.
Saat ini Ismet mempekerjakan sekitar 40 karyawan. Kapasitas produksi
pabrik bonekanya 500 hingga 1.000 boneka sebulan. Untuk memasarkan
boneka-boneka buatannya, Ismet menggandeng sekitar 20 agen yang ada di
luar kota Jakarta. Biasanya, pembeli datang langsung ke showroom boneka Ismet.
Oh ya, sejak dua tahun lalu, Ismet tak lagi berjualan di Tanah Abang. Masa sewa kios itu habis. Kini showroom boneka Ismet berada di Pasar Jatinegara. Ismet membeli kios itu dari hasil penjualan boneka.
Pemasaran boneka Ismet sudah merambah ke pasar luar negeri dan
bersaing dengan boneka-boneka produk China. Tapi, Ismet tak langsung
mengirimnya ke luar negeri. “Ada pelanggan tetap yang mengunjungi
Indonesia, biasanya mereka belanja dalam jumlah besar dan mereka yang
mengirim sendiri,” kata Ismet.
Beberapa pelanggannya berasal dari Afrika, Malaysia, dan Abu Dhabi.
Mereka mengenal Istana Boneka lantaran Ismet kerap mengikuti pameran
yang diselenggarakan pemerintah.
Untuk menjaga kualitas boneka, Ismet turun tangan mengontrol pabrik
bonekanya di Cikarang, Jawa Barat. Dia rutin melakukan inspeksi, paling
tidak dua hari sekali. “Kadang ada beberapa karyawan baru yang belum
terlalu mahir, jadi harus mendapat masukan dan evaluasi agar hasil
kerjanya maksimal,” tutur Ismet.
Ismet pun tak menutup kemungkinan bagi karyawannya untuk
menyumbangkan ide desain boneka. Baginya, ide merupakan kekayaan
terbesar yang dimiliki usahanya. Pada perjalanan bisnisnya, Ismet tak
hanya memasarkan boneka secara massal melalui agen. Ismet juga menerima
order boneka dengan ukuran yang kecil untuk suvenir pernikahan maupun
suvenir perusahaan.
Harga boneka mini ini antara Rp 6.000 dan Rp 15.000 per unit.
“Pesanan biasanya dari orang yang mau nikahan atau sekadar boneka
sebagai maskot perusahaan,” ujar Ismet.
Namun, Ismet pun menghadapi tantangan baru dalam memproduksi maupun
memasarkan boneka-boneka kreasinya. “Bisnis ini sempat mengalami pasang
surut yang cukup hebat,” kisahnya.
Salah satu cobaan terberat yang dirasakan Ismet adalah saat boneka
China datang menggempur pasar di dalam negeri. Dalam bentuk dan ukuran
yang sama, boneka China dijual dengan harga yang bersaing. Kualitasnya
pun tak kalah bagus. “Kita tahu, biaya produksi di Indonesia masih
lebih tinggi ketimbang biaya produksi China,” ujar Ismet sedikit
khawatir.
Untuk menyiasati hal ini, Ismet berusaha untuk mencari alternatif
bahan baku yang lebih murah. Dengan demikian, biaya produksi bisa
ditekan. Sayang, sulit menekan biaya bahan baku.
Masalahnya, harga
produk kain sintetis buatan Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan
produk impor. Walhasil, sebagian bahan baku masih harus didatangkan
dari luar.
Jelas kondisi tersebut merupakan pukulan berat bagi pengusaha mikro
seperti Ismet. “Tak hanya kerja keras yang dibutuhkan, tapi juga
dibutuhkan strategi pemasaran yang cukup baik,” ujarnya.
Nah, untuk mengatasi hambatan yang satu ini, Ismet melancarkan
strategi jemput bola. Ia pun gencar menyasar para agen. “Jemput bola
harus dilakukan untuk mendapatkan pemasukan,” jelasnya.
Cara kedua, Ismet melancarkan strategi mempertahankan pelanggannya
agar tidak ada yang beralih ke produk China. “Terutama untuk institusi
yang sering memesan boneka untuk kepentingan bisnisnya,” imbuh Ismet.
Selain tantangan tersebut, kondisi alam bisa mendatangkan persoalan
tersendiri bagi Ismet. Misalnya, saat terjadi bencana alam, kunjungan
wisatawan biasanya turun. Kondisi ini memengaruhi penjualan Ismet.
“Saat ada tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta, omzet saya sempat
turun sampai 50 persen,” kenang Ismet.
Belum sempat bangkit dari keterpurukan, bisnis Ismet kembali
dihantam badai krisis ekonomi global. Gara-gara krisis yang satu ini,
daya beli masyarakat turun drastis. Bisnis Ismet pun menjadi lesu
sampai saat ini. Menurut Ismet, saat ini masyarakat cenderung menunda
keinginan membeli boneka. Pasalnya, boneka bukan kebutuhan pokok yang
harus dibeli. “Kalau hal seperti ini, memang tak bisa dihindari,”
ujarnya.
Ismet memang tak sampai merugi akibat berbagai kendalan dan
peristiwa tadi. Namun, tak bisa dihindari, laba bersih Ismet
terpangkas. Tetapi, Ismet sudah menimbang masak-masak risiko bisnis itu.
Ia bilang, biasanya omzet yang berkurang akan tertutup saat musim
pemesanan boneka marak, yakni saat perayaan hari besar, seperti hari
raya Natal, Lebaran, atau Hari Valentine.
Sumber : karanetclub.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar